Hera benar-benar terpuruk semenjak kepergian mamanya. Dia menjadi seseorang yang pendiam, bahkan sampai berbulan-bulan. Mila yang melihatnya ikut cemas dengan keadaan Hera. Mila lah yang biasanya mengingatkan Hera untuk makan. Bahkan Mila memutuskan untuk menginap di rumah Hera ketika Hera susah makan. Begitupun juga dengan Nando, dia prihatin melihat perubahan Hera yang begitu drastis.
4 bulan kemudian....
Hari ini adalah hari ujian kenaikan kelas sebelum libur panjang. Hera sudah mulai kembali seperti semula. Dia sudah mulai merelakan mamanya. Walaupun kadang dia masih suka nangis sendiri ketika malam. Tapi setidaknya keadaanya sudah lebih baik dari sebelumnya.
"Eh, kak Hera... Pagi-pagi cantik banget sih". Ucap Nando menggoda seperti biasanya.
Hera menatapnya dengan tatapan sinis. Masih sama seperti dulu.
"Nan, ga ada pujian lain apa? Pujian Lo udah pasaran banget". Ucap Mila pada Nando.
"Masak gue bilang kalau kak Hera jelek?". Tanya nando, membuat Hera marah dan menginjak kaki Nando dengan sengaja. "Adudududuh". Teriak Nando kesakitan.
Mila tertawa terbahak-bahak melihat Nando. Kasian banget tuh anak.
Ujian berjalan dengan lancar. Semuanya berjalan begitu cepat. Namun, ada beberapa hal yang tak berubah alias sama. Misalnya si Aril dan penggemar Nando lainnya yang masih berusaha keras agar bisa lebih dekat dengan Nando. Nando juga tak menolak ketika mendapat keuntungan dari mereka, contohnya bekal. Selama sekolah dia ga pernah kekurangan makanan. Ada saja yang membawakannya bekal. Tak tanggung-tanggung, sehari dia bisa dapat 3 sampai 5 kotak bekal. Belum lagi yang membelikan minum.
"Bisa-bisa buka catering Lo Ndo". Ucap Vero.
"Mangkanya, kalau ganteng jangan punya pacar. Terima aja semuanya. Tapi kalau diajak pacaran cari alesan yang tepat. Biar dapet untung bro". Ucap Nando enteng mengajari Vero.
"Yah, Lo.... Ganteng-ganteng jomblo". Ucap Vero membuat Nando tertawa.
"Biarin, penting untung. Nyari laba".
"Mentang-mentang anak IPS, ngomongin laba rugi".
--
Suara dentingan jarum jam terdengar jelas. Tak ada suara lain. Hening, dua orang yang berada di dalam kamar itu tengah asyik dengan handphone di genggamannya. Mengingat besok sudah libur panjang, semua buku disimpan baik-baik sedangakn laptop berisi film-film dan handphone menjadi idola sementara.
"Her Hera... Liat deh". Suara Mila yang cempreng memecah keheningan.
"Apa sih?". Tanya Hera sambil mendekatkan kepalanya ke layar handphone milik Mila.
"Si Aril ga punya malu atau gimana ya? Dia ngepost fotonya sama si Nando berdua. Gila nih adek kelas. Bisa jadi bulan-bulanan anak kls 11 yang suka sama Nando nih. Bakal seru nih". Ucap Mila panjang lebar tanpa memalingkan pandangannya dari layar handphone nya.
"Biarin aja... Lagian si Nando juga kecentilan. Semua diembat".
"Nando kecentilan apa Lo nya yang cemburu nih?". Tanya Mila, yang sebenarnya sih menyindir.
"Cemburu dari Hongkong?".
Pintu kamar Hera terbuka. Dari balik pintu muncul bi Mina, pembantu Hera.
"Ada apa bi?". Tanya Mila yang melihat bi Mina yang datang dengan wajah ketakutan.
"Ada maling non". Jawab bi Mina membuat Hera dan Mila terkejut.
"Maling?". Ucap Hera dan Mila bersamaan.
"Ada orang di depan rumah. Tapi Ndak ngetik pintu. Jangan-jangan dia maling non". Jelas bi mina membuat Hera dan Mila ikut ketakutan.
"Tuh maling kok tau ya kalau di rumah ini cuma kita bertiga. Mang Karyo sama papa kan lagi ga di rumah. Gimana nih? Papa nggak mungkin pulang. Papa ada di Surabaya. Sedangkan mang Karyo pulang kampung". Ucap Hera dengan nada takut.
"Kita hadapi bertiga... Mau gimana lagi?". Jawab Mila pasrah.
"Yaudah... Sebelum itu, kita cari senjata masing-masing. Terserah deh apapun". Ucap Hera membuat bi Mina dan Mila segera pergi mencari benda yang sekiranya bisa dijadikan senjata.
Dengan langkah mengendap-endap, mereka bertiga berjalan mendekati pintu. Hera yang berada di barisan paling depan. Dengan membawa pemukul baseball, dia bersiap untuk memukul ketika pintu telah terbuka.
"Tunggu sebentar". Ucap Hera menghentikan langkahnya. "Kalian bawa apa?". Tanya Hera sambil menoleh ke belakang melihat bi Mina dan Mila berbaris di belakangnya.
"Saya bawa ceplesan nyamuk non". Jawab bi Mina dengan tegas bak seorang prajurit siap tempur.
"Gue bawa centong nasi". Jawab Hera ragu dengan diakhiri ekspresi nyengir membuat Hera dan bi Mina menepuk jidat.
"Ga ada yang lain apa?". Tanya Hera.
"Ga ada. Masa gue bawa pisau? Ntar kalau tuh penjahat pinter kita yang ketusuk malahan. Ada lagi tabung LPG... Masa gue bawa itu? Berat tau". Ucap Mila ngeles.
"Yaudah deh". Ucap Hera kemudian kembali bersiap membuka pintu.
Perlahan, pintu terbuka. Dengan cepat mereka bertiga memukuli orang itu.
"Aduh aduh". Ucap orang itu.
"Rasain Lo!!! Masih mau maling di rumah gue??". Bentak Hera dengan nada puas sambil tak berhenti memukuli orang itu.
"Sakit oy!!! Gue Nando". Ucap orang itu membuat Mila, bi Mina dan Hera berhenti memukulinya.
Dengan wajah lebam-lebam, Nando mendongakkan kepalanya. Hera menyengir setelah mengetahui kalau dia Nando.
"Lo sih ngapain ke rumah orang malem-malem. Ga ketuk pintu, ga pakek permisi. Ya ga salah kalau bi Mina nganggep Lo maling". Omel Hera sambil membersihkan luka Nando.
"Gue tadi mau ngetik pintu, tapi takut kalau yang bukain pintu papa Lo. Jadi gue nggak jadi ngetuk. Niatnya mau telpon Lo, tapi gak Lo angkat. Eh pas pintu kebuka gue udah dipukulin berjamaah". Jelas Nando.
Hera tertawa mendengar penjelasan Nando. "Malang banget nasib Lo". Ucap Hera di tengah tawanya.
Nando memanyunkan bibirnya. Melirik kesal ke arah Hera. "Udah tuh... Biar diobatin sama Mila". Ucap Hera selesai membersihkan luka Nando.
Sebelum Nando pergi ke rumah Hera, dia bertengkar hebat dengan bundanya. Nando masih terus terbayang ucapan ayahnya saat dia koma. Ayahnya mengatakan kalau dia sedih melihat bundanya.
"Bun, bunda mau ke mana malam-malam begini?". Tanya Nando yang duduk di kursi ruang tamu sambil melihat ke arah bundanya yang hendak membuka pintu.
"Bunda mau kerja". Jawab bunda Nando tanpa menoleh ke arah Nando.
"Kerja?". Tanya Nando meremehkan sambil berjalan mendekati bundanya.
"Jaga sikap kamu Nando, bunda nggak suka". Kata bunda Nando sambil menoleh ke arah Nando dan tidak jadi membuka pintu.
"Buda juga jangan bekerja jadi simpanan om-om. Nando nggak suka". Jawab Nando memutar balikkan ucapan bundanya.
"Kamu itu ya!!!". Bentak bunda Nando sambil mendaratkan sebuah tamparan ke pipi kiri Nando. Begitu keras membuat pipi Nando memerah.
"Tampar aja Nando. Nando nggak akan berhenti buat terus ngelarang bunda kerja begini. Ayah sedih di sana Bun... Ayah sedih liat bunda kayak gini. Bunda berhenti kerja. Biar Nando yang kerja". Ucap Nando dengan nada tinggi. Dia tak mempedulikan pipi kirinya yang panas terkena tamparan bundanya.
"Tugas kamu itu cuma sekolah yang pinter. Ga usah ngatur hidup bunda. Bunda gini juga buat biayain kamu. Kalau kamu nggak suka silahkan pergi dari sini, pergi dari kehidupan bunda". Ucap bundanya sambil membuka pintu kemudian berjalan keluar.
Ucapan bunda Nando membuat Nando begitu sakit hati. Dengan suasana hati yang sedang marah, Nando mengemasi semua barang-barangnya. Tanpa sepengetahuan bundanya, Nando pergi dari rumah. Tak ada tempat yang dia tuju. Kemudian terlintas di pikirannya rumah Hera. Mungkin dia bisa menceritakan semuanya pada Hera. Dia yang terakhir kali mau mendengar cerita tentang bundanya.
"Udah tuh Nan". Ucap Mila pada Nando yang dari tadi melamun.
Nando memikirkan bagaimana dia menceritakan semuanya kepada Hera. Melihat kondisi rumah Hera yang tak ada cowoknya, membuat Nando mengurungkan niatnya untuk menginap di sana.
Tepat pukul 11 malam, Nando berpamitan pulang. Padahal dia tak tau mau pulang ke mana. Nando melewati jalan raya yang lengang. Membiarkan wajahnya diterpa angin malam, melewati jalanan kota yang penuh gemerlap lampu. Hingga ia berhenti di suatu tempat. Memandang ke arah langit. Dia benar-benar tidak tau mau ke mana. Dia tak punya saudara di kota ini.
"Bang..." Panggil seorang laki-laki dari arah belakang.
Nando menolehkan kepalanya. Menatap orang itu. Pakaiannya lusuh. Di tangan kanannya memegang sebuah obeng usang berkarat.
"Iya bang. Ada apa?". Jawab Nando.
"Lo nyasar?". Ucap orang itu ketika melihat Nando membawa tas ranselnya.
"Nggak". Jawab Nando.
Orang itu tersenyum. Dia sudah paham betul wajah-wajah seperti Nando. Dia pasti diusir atau kalau tidak, kabur. Orang itu mengajak Nando ke sebuah pedagang kopi keliling yang biasanya mangkal di jalan trotoar tak jauh dari tempat Nando berhenti. Orang itu mengenalkan dirinya. Namanya Andre, tapi orang-orang sekitar biasa memanggilnya Oyek. Awalnya Nando agak takut. Mengira kalau dia begal. Abisnya dia membawa sebuah obeng usang.
"Lo pasti butuh kerja kan Nan?" Tanya Oyek pada Nando.
"Iya, gue mau kerja apa aja. Yang penting halal". Jawab Nando, kemudian menyeruput secangkir kopi.
"Lo bisa kerja di bengkel gue. Ya walaupun bengkelnya ga besar. Setidaknya Lo bisa makan".
Tawaran Oyek diterima Nando. Nando tak mengatakan kalau sebenarnya dia masih sekolah. Tapi gapapa lah, kan libur panjang udah dimulai.
Tepat pukul 2 pagi, Nando dan Oyek sampai di rumah Oyek. Rumah sederhana di tengah-tengah perkampungan kumuh padat penduduk. Tak jauh dari rumah Oyek ada tempat pembuangan sampah yang baunya menusuk hidung. Bahkan ketika Nando tertidur dia masih bisa mencium bau tersebut dengan jelas. Sungguh tempat tak layak huni. Jauh dari rumah Nando yang nyaman.
Mentari sudah terbit, sinarnya membangunkan Nando yang tertidur beralaskan tikar tipis di atas kursi kayu yang sudah keropos dimakan rayap. Suara bising alat berat di tempat pembuangan sampah dan juga suara truk pengangkut sampah yang ditambah dengan suara anak-anak kecil yang bermain, membuat Nando terbangun. Padahal biasanya dia masih tertidur pulas jam segini.
"Eh Nan.. udah bangun?". Ucap Oyek sambil menyiapkan dua piring sebagai alas makan nasi bungkus.
Nando menguap. Kemudian terduduk di kursi kayu dekat meja makan. "Lo kok udah bangun". Tanya Nando.
"Gue udah bangun dari jam 4. Terus sholat subuh". Jawab Oyek membuat Nando terdiam.
Nando bahkan tak pernah sholat semenjak ayahnya pergi. Nando lupa akan Tuhan. Sedangkan Oyek, ditengah kondisi rumahnya yang tak nyaman dijadikan tempat ibadah, dia masih sempat sholat. Nando menundukkan kepalanya. Menatap ke bawah. Menyesali perbuatannya selama ini. Minum, judi, main perempuan. Sangat jauh dari kata hamba yang baik.
"Kalau Lo mau sholat subuh sekarang udah lewat Nan". Canda Oyek berniat mengubah suasana hati Nando. "Tapi Lo bisa sholat dhuhur nanti. Biar gue ingetin. Abis ini Lo makan nasi ini. Terus mandi. Kita harus segera bertugas". Ucap Oyek diakhiri tawa. Nando menanggapinya dengan senyuman.
Bagaimana Oyek bisa hidup di kondisi seperti ini. Untuk makan saja Nando harus memaksakan menelan makanannya. Selain rasa nasi yang agak sedikit basi, bau tempat penampungan sampah yang menyengat, membuat Nando ingin muntah dan kehilangan selera makan.
Sesampainya di bengkel Oyek, Nando memarkirkan motornya di depan bengkel. Berjalan menuju ke bengkel. Bukan bengkel besar yang dia temui. Hanya bengkel dengan perlengkapan seadanya. Pelanggannya juga tak begitu banyak. Mereka lebih sering duduk santai menanti pelanggan atau melayani orang yang sekedar mampir untuk mencari peralatan motor.
KAMU SEDANG MEMBACA
tentang kita
Romance"dengarkan aku, walaupun kita tidak menjadi sepasang kekasih. Namun, aku pernah menganggapmu sebagai kekasihku dan aku pernah mencintaimu seperti mereka mencintai kekasihnya"