Suara riuh tawa sekaligus tepuk tangan dari anak kelas 12 membuat anak kelas 10 dan 11 merasa iri. Anak kelas 12 begitu gembira setelah mendengar pengumuman pulang pagi, dikarenakan adanya persiapan UNBK yang akan diselenggarakan dua hari lagi.
"Mil, ikut gue ke kantor bokap ya?". Ajak Hera pada Mila yang berjalan beriringan bersamanya menuju parkiran.
"Boleh, tapi pulangnya anter gue ya?". Jawab Mila diakhiri anggukan mantap dari Hera.
Beberapa saat kemudian, mereka melaju di jalanan. Hera memang baru saja memiliki SIM, tapi dia sudah dipercayai papanya untuk membawa mobil pribadi dari kelas 10. Namun, untuk masalah kehebatannya dalam berkendara sudah tidak diragukan lagi.
Sebuah gedung pencakar langit yang berdiri megah di tengah kota menjadi tujuan Hera. Papa Hera adalah seorang pengusaha di bidang furniture. Usaha ini sudah ditekuni dari jaman nenek buyut Hera. Papa Hera adalah generasi keempat dari awal berdirinya perusahaan ini.
"Papa". Sapa Hera dengan nada riang seperti biasanya.
"Lho kok udah pulang? Bolos lagi?". Tanya papa Hera yang melihat Hera masih jam sepuluh pagi sudah datang ke kantornya.
"Papa buruk sangka mulu deh kerjaannya. Hera kan udah mau UNBK pa, jadi diberi waktu refreshing". Jelas Hera.
"Tau nih om, kalau urusan bolos paling hafal deh". Lanjut Mila sambil duduk di sofa dekat meja kerja papa Hera.
Papa Hera tertawa. Tapi, ekspresinya seketika berubah. Ada hal yang sebenarnya sudah dari dulu ingin ia sampaikan pada Hera. Namun, ia masih belum tega. Bahkan sampai sekarang.
"Papa kenapa sih?". Tanya Hera yang melihat ekspresi wajah papanya.
"Sebenarnya ada yang pengen papa bicarakan. Menyangkut masa depan kamu"
"Apa sih pa, bilang aja ke Hera". Ucap Hera sambil duduk di kursi sebelah papanya duduk.
"Papa punya niatan untuk mendaftarkan kamu di salah satu universitas di Jerman. Universitas yang memang terkenal dalam dunia bisnis. Papa pengen kamu yang meneruskan perjalanan perusahaan ini. Jadi, kamu harus punya pemikiran yang lebih dari yang lain, agar perusahaan ini dapat berkembang dan tidak kalah dengan perusahaan lain". Jelas papa Hera, membuat Hera dan Mila ternganga.
"Jauh banget om, di Indonesia ga ada?". Tanya Mila masih dengan ekspresi kaget.
"Kalau Hera kuliah di Jerman, terus papa sama siapa?".
Papa Hera tersenyum mendengar pertanyaan Hera yang seperti anak kecil. "Kamu itu.... Di sini banyak orang yang jagain papa. Kalau kamu kuliah di Indonesia, sama aja dong kayak papa. Nggak ada kemajuan. Setidaknya, kamu bisa buat klien jadi takjub dan tergiur dengan predikat kamu yang lulus dari universitas terkemuka di bidang bisnis". Jelas papa Hera, membuat Hera merasa tak punya pilihan lain selain menyetujui permintaan papanya.
"Biar Hera pikir dulu ya pa". Jawab Hera.
Papa Hera mengangguk. Papa Hera merasa lega telah mengatakan niatannya. Walaupun belum tentu Hera akan setuju dengan ide papanya ini.
Jarum jam terus berputar seirama dengan waktu yang terhitung mundur di layar komputer. Sudah hampir dua jam Hera menatap layar komputer di hadapannya. Dengan hati-hati dia membaca berulang kali soal-soal yang tertera di layar komputer. Walaupun matanya sesekali tertuju pada waktu yang tinggal lima menit, dia tetap mengulang kembali semua pertanyaan dan memilih jawaban yang terbaik menurutnya.
Bel tanda berakhirnya ujian telah berbunyi. Sebenarnya bel itu berbunyi tepat saat waktu menunjukkan kurang tiga menit, sebagai jaga-jaga kalau nanti ada eror atau kendala lain. Dengan penuh harapan, Hera mengeklik tombol selesai pada layar. Dia berharap semoga hasilnya mendukungnya untuk kuliah dimana pun.
Hari demi hari berlalu, UNBK terakhir telah usai dilaksanakan. Kali ini, Hera berubah pikiran. Dia benar-benar berharap kalau papanya mau menerima usulannya. Dia ingin sekali kuliah di Indonesia bukan di Jerman. Selain karena dia bisa bertemu dengan papanya setiap hari, dia juga mulai serius dengan Nando, walau pun belum ada status pacaran di antara mereka.
"Nan, gue bingung banget". Ucap Hera sambil memeluk lututnya, kedinginan.
"Bingung kenapa? Ada apa sih kak? Kok dari sebelum UNBK kakak kayak mikirin apa gitu. Liat deh, tuh muka jadi tambah kurus. Pipi kamu juga jadi ga bisa dicubit kayak dulu". Ucap Nando diakhiri dengan ekspresi gemas ingin mencubit pipi Hera seperti biasanya.
"Tau ah, gue bingung mau kuliah di mana". Jawab Hera yang kemudian menghembuskan napas panjang.
Nando tersenyum, kemudian mendekap kepala hera. "Ga usah bingung, santai aja... Semua udah ada yang ngatur". Jawab Nando santai, kemudian menghisap rokok di tangannya. Kebiasaan Nando yang satu ini memang sangat sulit untuk dihilangkan.
"Ih, bau rokok". Ucap Hera sambil berusaha lepas dari dekapan Nando.
"Keren dong"
"Keren apanya? Ngerokok Mulu, ga takut mati?". Tanya Hera kesal.
"Tenang aja, kalau mati bisa dihidupin lagi kan". Jawab Nando membuat Hera heran. "Kan ada korek". Lanjut Nando sambil tertawa.
"Hmmm". Hera mencubit perut nando di balik kemeja putih tipisnya.
"Aduh sakit". Ucap Nando sambil berusaha menggenggam tangan Nando agar tidak mencubitnya.
"Oh iya, gue ditawarin jadi pacar orang nih. Diterima atau ditolak ya?". Nando yang mendengar ucapan Hera menganga terkejut. Kalau Hera menerimanya gagal dong rencananya untuk menjadikan Hera pacarnya ketika wisuda nanti.
"Jangan. Tolak aja. Selingkuhan itu dosa loh". Ekspresi Nando terlihat sangat panik ketika mengucapkan kalimat itu. Hera tertawa melihat ekspresi Nando. "Emang siapa kak?". Tanya Nando.
"Ada deh".
"Saya gigit nih kalau ga mau ngaku". Ancam Nando membuat Hera tertawa lebih kencang.
"Iya-iya, Bayu. Tapi Lo tau sendiri kan, Bayu mah gitu orangnya. Cuma becanda".
"Yes". Ucap Nando spontan bahagia.
"Kenapa?".
"Nggak kok nggak".
Malam itu, mereka berdua menghabiskan waktu bersama di bawah pengawasan bulan dan bintang. Tertawa bersama, walaupun sebenarnya Hera masih menyembunyikan keberangkatannya ke Jerman untuk kuliah. Hera sengaja menyuruh Mila dan papanya agar tidak mengatakan hal ini pada Nando. Mereka harus memberikan kesempatan pada Hera agar bisa mengatakannya sendiri bagaimanapun caranya.
Angin malam yang dingin tak bisa membuat kehangatan diantara mereka hilang. Canda tawa itu membuat suasana di sana menjadi lebih hangat. Padahal mereka tengah duduk di atas genting kamar Hera. Tentu saja tanpa sepengetahuan papa Hera.
Suara kicauan burung yang tengah bertengger di atas pohon Pinus dekat kamar Hera membuat Hera terbangun dari tidurnya. Sebenarnya dia sudah bangun saat sholat subuh tadi pagi. Tapi badannya terasa begitu lelah, memaksanya untuk terlelap kembali setelah sholat subuh. Lagian hari ini dia free, sekolah juga sudah tak mengharuskan untuk masuk. Papanya juga tak lagi ada di rumah. Jadi dia bebas tidur lagi. Tak ada yang mengganggunya, kecuali suara kicauan burung dan sekarang ditambah lagi dengan suara ponselnya yang berdering.
"Halo?". Ucap Hera dengan suara yang berat, menahan kantuknya.
"Her, ada yang mau gue omongin". Jawab Mila yang tengah menelpon Hera.
"Apaan sih Mil?".
"Gue ga bisa bilang lewat telpon. Gue di depan rumah Lo. Bukain pintunya". Ucap Mila dengan nada terburu-buru.
"Iya-iya, gue bangun". Jawab Hera sambil beranjak dari zona nyamannya.
"Her, si Nando". Ucap Mila setelah Hera membukakan pintu.
"Kenapa?". Tanya Hera.
"Liat deh". Ucap Mila sambil menyerahkan ponselnya.
Hera terkejut melihat gambar postingan Nando yang ada di layar handphone milik Mila.
Ruang kelas Nando amat sangat riuh. Kelas Nando memang terkenal kelas paling nakal. Penghuninya sangat susah diatur. Namun, bagi guru-guru itu sudah biasa. Kalau ada Vero dan Nando, pasti onar tuh kelas kayak pasar. Hanya pada guru sosiologi mereka bisa jadi jinak. Soalnya guru sosiologi itu kejamnya minta ampun.
"Ndo, Lo kalah lagi tuh main reminya. Sekarang jalani hukuman Lo". Ucap Vero sambil tertawa puas.
Nando menatap ke arah Vero memelas. Karena kalah main Remi, dia harus kena hukuman. Itu memang sudah jadi kebiasaan kelas ini. Walaupun sudah di sita berkali-kali kartu reminya, mereka masih saja melakukan kebiasaan yang seakan-akan sudah menjadi tradisi ini. Bahkan mereka pernah kena hukum untuk membaca istighfar di masjid sebanyak 500 kali. Tapi masih saja belum kapok. Mungkin hanya teguran dari Tuhan yang bisa menghentikan mereka.
"Bro, ayok jalani tuh hukuman". Ucap teman Nando yang lainnya.
Dengan berat hati, Nando harus melahap jeruk nipis dan garam yang ada di depannya. Itulah hukumannya. Yang kalah bukan harus menyerahkan uang, namun harus melahap potongan jeruk nipis yang sudah dicampur garam. Jeruk nipis itu tidak boleh dimuntahkan sampai dia menang.
"Nan, Lo kok posting foto bareng cewek ini? Mesra banget lagi. Ceweknya cakep lagi, boleh nih buat gue". Ucap Vero yang melihat postingan Instagram Nando.
"Cewek apaan, kuota aja gue ga punya". Jawab Nando tidak percaya.
"Ah, Lo yang bener? Ga usah takut ngakuin gitu. Ga bakal gue rebut kok". Ucap Vero kemudian memperlihatkan foto itu.
Sebuah foto yang memperlihatkan Nando yang tengah tersenyum lebar sambil mendekap pundak Aisyah dan yang mengagetkan adalah caption yang tertulis di bawahnya. 'beloved'.
"Gue nggak pernah posting foto ini". Gumam Nando membuat Vero juga kaget, kok bisa.
Ruang kamar Hera hening. Mila masih memperhatikan raut wajah Hera yang kesal. Kalau tau gini Mila lebih baik diam saja dan tidak memberitahu Hera.
"Her, mungkin Nando salah ngirim". Ucap Mila. Namun, Hera masih tetap terdiam. Dia hanya melirik sejenak ke arah Mila yang duduk di sampingnya. "Her, positif thinking aja". Lanjut Mila sambil menggenggam tangan Hera.
"Gimana bisa positif thinking? Jadi ini alesan kenapa dia masih belom juga nyatain perasaannya ke gue? Gue bodoh banget sih, nunggu orang yang jelas-jelas ga nyimpen rasa ke gue". Hera menangis.
"Her, jangan nangis dong. Itu kan cuma postingan". Mila mengusap pundak Hera.
"Mil, logis deh". Bentak Hera. "Coba Lo pikir logis. Mana mungkin sih dia nge posting foto bareng, ditambah lagi dengan caption gitu kalau nggak ada apa-apa. Lo juga mikir dong, Aisyah itu bukan tipe cewek yang gampangan. Mana mungkin Nando nge posting dengan caption itu kalau diantara mereka nggak ada apa-apa. Kalau kayak gini, gue bakal beneran pergi ke Jerman". Ucap Hera dengan nada yang semakin lama semakin melemah.
"Jangan pergi ke Jerman. Gue sama siapa?". Ucap Mila memelas.
"Lo kan masih ada Bayu. Lo tega liat gue gini? Lo kan tau Mil seberapa besar harapan gue buat bisa bareng Nando? Tapi malah gini. Lo juga tau kan, gue nggak kan pernah lupa untuk satu kesalahan saja? Dan untuk maafin Nando, gue kira gue butuh waktu".
"Tapi her, jangan ambil keputusan saat Lo lagi marah dong. Lo nanti nyesel"
"Gue bakal berusaha buat ga nyesel dengan keputusan gue. Lagian, ini juga karena permintaan papa"
Ruang kelas Nando seketika senyap. Hanya suara bangku yang tidak sengaja tertabrak murid yang terburu-buru duduk ketika melihat guru sosiologi mereka yang killer.
"Ndo, Lo ga hapus tuh postingan?". Bisik Vero saat guru sosiologi mereka menerangkan.
Nando menggelengkan kepalanya. "Lo ga liat tuh Bu Narti lagi nerangin? Bisa diambil ntar hp gue". Bisik Nando.
"Kalian kok malah ngerumpi?". Tanya Bu Narti yang melihat Nando dan Vero saling bisik. Padahal mereka berdua sudah sangat berhati-hati. Nih orang sakti juga bisa tau ada yang saling bisik, padahal ga liat.
"Ndak kok Bu, tadi bulpen saya hilang. Eh taunya dibawa Vero Bu". Nando memang pakarnya alasan.
"Bener Vero?"
"Bener Bu. Si nando, bulpen dua ribuan aja dicari Bu". Jawab Vero, membuat seisi kelas yang mendengarnya menahan tawa.
"Lo kalo nyari alesan jangan malu-maluin gue Napa?". Ucap Nando sambil menyikut perut Vero.
"Yang penting selamat Ndan". Jawab Vero.
KAMU SEDANG MEMBACA
tentang kita
Romance"dengarkan aku, walaupun kita tidak menjadi sepasang kekasih. Namun, aku pernah menganggapmu sebagai kekasihku dan aku pernah mencintaimu seperti mereka mencintai kekasihnya"