eps 17

428 18 0
                                    

Sebuah rumah dengan gaya rumah minimalis yang berada di antara jajaran perumahan menjadi tujuan Nando. Sebenarnya dia agak ragu untuk kembali pulang. Dia takut kalau bundanya masih marah padanya. Namun, karena kesanggupannya untuk memenuhi permintaan Hera, dia mengumpulkan segenap niatnya untuk melangkahkan kakinya menuju pintu rumahnya. Nando menarik napas, memejamkan matanya sejenak, kemudian mengetuk pintu yang ada di hadapannya. Tak ada jawaban untuk ketukan pertama. Nando mengulang kembali untuk mengetuk pintu. Seorang wanita menjawab dari dalam rumahnya.
"Iya, tunggu sebentar". Ucap wanita itu sambil membuka kunci pintu. "Nando". Ucap wanita itu yang tak lain adalah Tante Mira, dia terkejut melihat anak laki-lakinya berdiri di hadapannya untuk pulang. Tanpa banyak bicara, Tante Mira memeluk Nando. Nando membalas pelukannya. Tante Mira menangis haru dalam pelukan Nando, bahkan beliau meminta maaf pada Nando karena telah mengusirnya. Nando yang ikut terharu tak kuasa menahan tangisnya.

Malam semakin larut. Hera terus memperhatikan layar ponselnya yang sesekali menyala karena ada notif masuk. Hera segera melihat dari siapa notif itu. Tapi, dia mematikan kembali layar ponselnya ketika mengetahui kalau notif itu bukan dari Nando melainkan dari Bayu atau yang lainnya.
Tadi sore, Hera sudah menelfon Nando. Tapi Nando tak mengangkat telfonnya. Padahal, Nando sendiri yang meminta untuk diberi kabar ketika Hera sudah ada di rumah. Hera memutar bola matanya sambil menghembuskan napas kesal. Menghempaskan tubuhnya ke atas kasur. Ingin sekali dia menelfon Nando lagi. Tapi dia harus jawab apa ketika Nando nanti menyangka dirinya merindukan Nando, mangkanya dia menahan untuk tidak menelfon Nando lagi.
"Aaaa". Teriak Hera sambil mengacak-acak rambutnya, kesal dengan semuanya.
Di sisi lain, Nando baru saja membuka ponselnya. Melihat ada panggilan tak terjawab dari Hera. Dia tersenyum, teringat dengan wajah Hera yang cantik di mimpinya. "Hera sedang apa ya?". Batin Nando sambil tersenyum. "Pasti dia sedang bingung mau memberikan kabar padaku. Tapi aku malah tak menjawab panggilannya". Lanjut Nando sambil menatap ke arah langit. Dia sedang berada di balkon, ditemani kucing milik bundanya.
Nando melihat ke arah ponselnya, hendak menelpon Hera. Namun ia urungkan niatnya itu. "Pasti Hera bakal telpon lagi kalau dia memang suka padaku". Batin Nando sambil tersenyum, pipinya memerah. Tambah ganteng aja....
"Telpon gak ya?". Batin Hera sambil melirik ke arah ponselnya yang tergeletak di sebelahnya berbaring. "Tapi, gengsi dong kalau gue yang telpon dulu. Tapi kenapa kok rasanya gue pengen banget ketemu Nando ya? Aaaaa jangan gila lah Her"
"Pasti dalam hitungan ketiga dia bakal telpon". Tebak Nando dalam hati. "Satu... Dua... Tiga...".
Benar tebak Nando, ketika Nando selesai mengucapkan angka tiga, panggilan masuk dari Hera muncul di layar ponselnya. Hal itu membuat wajah Nando semakin merona dari sebelumnya. Bahkan dia melompat kegirangan di balkon, membuat bundanya yang mengintipnya menahan tawa.
"Halo". Ucap Nando setelah mengangkat telpon.
"Assalamualaikum". Sahut Hera sambil tertawa.
"Waalaikumsalam sayang". Jawab Nando membuat pipi Hera memerah. Andai saja mereka tidak berbicara lewat telepon, pasti Hera sudah menahan malu.
"Panggilan Lo pasaran banget. Udah banyak banget yang Lo panggil gitu"
"Buat sekarang, cuma kamu yang aku panggil gitu"
"Sejak kapan panggilannya pakek aku kamu?"
"Sejak tadi"
Tak ada jawaban dari Hera. Dia menyingkirkan ponselnya, menutupi wajahnya dengan bantal, menahan rasa greget.
"Yank?". Panggil Nando.
"Hmmm, jangan panggil gitu. Gue jadi gimana gitu"
"Ya udah, tadi gimana kak pulangnya? Aman?".
"Aman kok... Yaudah ya, udah malem"
"Ok, night... Mimpiin aku ya?". Ucap Nando membuat Hera tersipu. Tanpa jawaban, Hera menutup ponselnya. Kemudian menyembunyikan wajahnya di balik bantal.
"Yessss". Ucap Nando sambil menggenggamkan tangannya. Merasa sangat bahagia.
Rembulan malam ini menjadi saksi dua insan yang tengah gila karena cinta. Tapi egois diantara mereka masih membara. Mereka masih egois untuk mengakui kalau mereka saling mencintai.

tentang kitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang