Nando menengok kan kepalanya. Menatap bingung ke arah Deta. Deta menundukkan kepalanya sambil berjalan mendekati Nando.
"Kamu kenapa?". Tanya Nando sambil menatap Deta yang berdiri di sampingnya.
"Aku bingung sama papa, papa bilang aku harus bisa belajar mandiri. Tapi saat aku sudah punya pekerjaan menjadi seorang foto model, papa marah dan menyuruhku meninggalkan pekerjaan itu. Papa pikir cari kerja gampang". Deta mengomel.
"Hmmmm". Nando menghembuskan napas kesal. "Saya kira apaaan, ya kamu jelasin ke papa kamu, kalau jadi foto model sudah pilihan kamu"
"Papa nggak suka soalnya papa takut aku ikut pergaulan bebas yang sudah sering dialami para model".
"Bilang aja kalau fotografernya saya. Pasti papa kamu ga jadi ngelarang. Biar saya yang ingetin kalau kamu tergoda dengan pergaulan bebas. Anggap saja saya pawang kamu"
"Emang saya ular, pakek pawang segala".
Nando tertawa. "Mungkin aja dong, wanita ular". Nando menggerakkan tangannya menyerupai ular untuk menggoda Deta.
"Saya gigit nih". Ancam Deta membuat Nando berhenti tertawa dan menggelengkan kepalanya.
Suara hening malam membuat Hera tertidur nyenyak. Dia sudah sangat lelah, itulah alasan lain mengapa dia tertidur nyenyak. Selama di Jerman, dia terus menyibukkan diri dengan keseharian yang amat sangat padat jadwalnya. Dia juga sering pergi ke tempat yang bisa disebut panti asuhan. Dia sangat suka bermain dengan anak-anak di sana. Merekalah yang membuat Hera lupa sejenak dengan kerinduannya pada Nando.
Belum lama Hera tertidur nyenyak, suara pukulan palu pada dinding kamarnya membuatnya terbangun. Maklum saja, apartemen ini bukan apartemen bintang lima yang kedap suara. Masih ada beberapa suara yang terdengar tetangga, namun tidak semua suara biasa terdengar tetangga.
"Ampun deh, siapa sih malam-malam begini pukul-pukul tembok". Hera benar-benar terganggu, dia segera berjalan keluar hendak menegur tetangganya.
Masih dengan suasana hati emosi, Hera mengetuk pintu tetangganya dengan keras. Hera akan mberi umpatan yang banyak untuknya.
Perlahan pintu terbuka, Hera masih sangat marah. Sambil menahan kantuk, Hera mengepalkan tangannya, menahan emosi.
Setelah pintu terbuka, Hera terbelalak melihat Nando berdiri di depannya. Masih dengan wajah yang sama. Padahal sudah hampir dua tahun tidak bertemu.
Nando menatap heran ke arah Hera. Nando benar-benar tidak mengenal Hera. Hera memang sudah berubah. Dia menjadi wanita sungguhan setelah sebelumnya hanyalah anak SMA yang tidak begitu memikirkan dandanannya.
"Ada apa?". Tanya Nando sambil melambaikan tangannya di depan pandangan Hera, karena Hera diam terbelalak.
"Nando?". Ucap Hera pada Nando.
"Iya, anda kok kenal saya?". Tanya Nando, Nando benar-benar tak mengenalnya.
"Hah?!". Ucap Hera terkejut mendengar pertanyaan Nando. Itu benar-benar terdengar aneh di telinga Hera.
Nando mengangkat kedua alisnya, ikut terheran.
"Oh..". Hera bingung karena hampir lupa apa yang membuatnya mendatangi tetangganya ini. "Lo nggak tau sopan atau gimana sih? Ini udah malem tau, ngapain masih berisik. Lo ganggu tidur gue aja". Hera mengeluarkan semua kejengkelannya yang sebelumnya tertunda karena mengetahui kalau tetangganya adalah Nando.
"Masih jam 10 kok. Lagian, gue cuma benerin foto di kamar saya. Fotonya hampir aja jatoh kalau Ndak suka ya tutup telinga aja". Nando ikutan jengkel.
Hera menghembuskan napas kesal. Nando masih sama dengan Nando yang dulu. Menjengkelkan. "Eh, coba ngerti dong. Ini jam 10. Itu termasuk jam istirahat bagi gue. Benerin besok kenapa sih?". Nada Hera mulai meninggi.
"Mbak, gue itu cuma benerin foto. Lagian cuma bentar. Kalau saya berisiknya lama, baru saya minta maaf. Nih liat nih. Saya benerin foto ini". Jelas Nando diakhiri memperlihatkan foto yang dibawanya.
Hera terdiam melihat foto yang diperlihatkan Nando. Itu foto dirinya dengan Nando saat masih di Indonesia, saat dimana mereka masih baik-baik saja. Saat sebelum Hera memutuskan untuk pergi ke Jerman. Di foto itu, mereka tampak sangat bahagia. Nando memakai setelan berwarna hitam, tengah memegang kepala Hera yang tertutupi jaketnya. Sepatu putih yang dipakai Hera adalah sepatu pemberian Nando saat itu. Hera dipaksa Nando untuk langsung memakainya saat itu juga. Benar-benar pemaksaan.
"Mbak!!... Oy!!". Teriak Nando mengejutkan Hera.
"Eh". Hera tersadar dari lamunannya.
"Yeee nglamun". Ucap Nando.
"Tau ah, sekali lagi gue denger Lo berisik lagi. Gue pukul palu pala lo!". Ancam Hera yang kemudian meninggalkan Nando yang melihat Hera dengan tatapan heran.
"Nando beneran lupa sama gue atau... gue yang berubah? Masa sih gue berubah? Tambah cantik? Ah nggak kok. Tapi kok dia lupa sama gue? Nando Nando, padahal cuma 2 taun kita nggak ketemu. Masa sih lupa. Gue aja masih ingat betul wajah Lo. Bahkan bau parfum Lo gue masih ingat dengan baik dan saat gue ingat, gue masih bisa mencium baunya dimana pun gue berada". Batin Hera sambil berjalan menuju kamarnya.
Matahari pagi menyilaukan mata Hera. Dia benar-benar malas untuk bangun sepagi ini. Tapi, Dante sudah datang ke apartemennya dan membuka jendela kamarnya. Mau tidak mau Hera harus terbangun.
"Dante, bisa ga sih Lo ga gangguin gue tidur". Rengek Hera sambil menarik kembali selimutnya. Dia benar-benar malas untuk beranjak dari alam mimpinya.
"Please deh Hera. Hari ini adalah hari Minggu. Ya memang sih ga ada kelas hari ini, tapi setidaknya bangun dan ikut aku berlari pagi. Came on.... Jangan tidur terus di atas kasur". Ucap Dante yang memang sudah siap dengan pakaian olahraganya.
Hera tak menggubris ucapan Dante. Dia masih memejamkan matanya dan tubuhnya masih terbungkus selimut yang memang sebelumnya sudah ditarik Dante tapi berhasil diambil Hera kembali meskipun dengan mata tertutup karena malas bangun.
Dante menarik napas kesal sambil memutar bola matanya. "Huf". Tanpa berpikir panjang, Dante menarik kaki kanan Hera.
"Danteeeeee!!!!". Teriak Hera kesal sambil berpegangan erat pada bantal gulingnya.
Dante tertawa melihat tingkah Hera yang seperti anak kecil itu. Hera memang tidak berubah. Hanya penampilannya saja yang terlihat lebih dewasa dibandingkan dengan pertama kali dia datang ke Jerman. Namun, soal sifat dan sikapnya masih sama.
Hera terpaksa Bangun dari tempat tidurnya yang nyaman menggoda itu. Dengan langkah malas dia menuju kamar mandi, menuruti keinginan Dante untuk lari pagi.
"Her, kamu tunggu sini ya? Jangan kemana-mana. Aku beli minum dulu". Ucap Dante pada Hera yang tengah duduk di kursi taman.
Hera menganggukkan kepalanya. Dia menuruti permintaan Dante untuk hari ini sebagai tanda terima kasihnya atas jasa Dante tadi malam. Dia meminta Dante untuk membawakan berkas yang ketinggalan di kampusnya. Dengan suka rela Dante mengambilkannya untuk Hera. Padahal kampus pasti sudah ditutup tengah malam begitu. Namun, usaha Dante menembus para penjaga berjalan mulus.
Hera melihat sekelilingnya. Banyak sekali pasangan muda yang tengah lari pagi. Rata-rata diantara mereka memang wajah-wajah bule. Tapi ada beberapa yang berwajah Indonesia. Hera terus mengamati sekelilingnya. Mulai dari para manusia yang tengah berlari atau hanya sekedar berjalan santai hingga tanaman yang rindang. Semasa dia kecil, yang dia tau di Jerman hanyalah sebuah pemukiman yang terletak di atas sungai. Begitu indah. Namun, ternyata di Jerman juga ada taman yang indah, penuh warna warni bunga. Taman di sana sangat terawat. Tidak ada yang berani memetik bunga sembarang, karena di taman ini sudah dijelaskan bahwa memetik bunga sembarangan akan dikenakan denda. Tak tanggung-tanggung dendanya, sehingga membuat orang yang ingin melanggarnya harus berpikir dua kali.
Setelah mengamati pemandangan sekitar, mata Hera tertuju pada seorang laki-laki yang tengah berdiri hendak menyebrang jalan. Laki-laki itu berdiri tegap, masih sama seperti dulu. Hidung mancung, ekspresi santai, dengan kedua tangan dimasukkan ke dalam sakunya. Begitu santai, seakan-akan tak pernah ada ekspresi lain dari wajahnya.
"Nando". Hera mengucapkan nama itu tanpa rasa sadar, begitu saja terlontar.
Hera melihat ke arah Dante yang masih mengantri untuk mendapatkan dua minuman capuccino. Tanpa banyak pertimbangan, Hera berdiri dan berjalan ke arah Nando. Dia mau memastikan apakah Nando benar-benar lupa padanya. Atau hanya karena kemarin pertemuan mereka hanya sekejap.
Hera berlari mendekat ke arah Nando. Dia menyebrangi jalan dengan tergesa-gesa. Tanpa ia sadari, dari arah kanan sebuah truk pengangkut air isi ulang melaju. Hera yang salah, dia tidak memperhatikan kanan kiri sebelum menyebrang. Bahkan saat lampu masih hijau dia menyebrang denga berlari kecil.
Nando terbelalak melihat wanita di depannya tertabrak. Memang tidak begitu keras. Tapi, truk itu membuat Hera jatuh dengan benturan keras di kepala, menyebabkan kepala Hera terluka parah. Dari telinganya keluar banyak darah.
Nando mendekat hendak menolongnya. Dalam hitungan detik saja sudah banyak orang berkerumun. Namun, tak ada satu pun yang berani menyentuhnya. Mereka takut kalau terjadi apa-apa. Beberapa diantara mereka memanggil ambulance agar korban segera tertolong.
Dante terkejut melihat kursi taman yang seharusnya diduduki Hera kosong. Dia celingukan melihat kesana-kemari mencari keberadaan Hera. Hati Dante tersentak melihat kerumunan orang yang berada tak jauh dari tempatnya berdiri. Dua gelas capuccino ditangannya terjatuh ke rumput taman. Berceceran seperti darah dari telinga Hera.
"Dimana tasnya, kita bisa tau identitasnya dari kartu kependudukannya". Ucap Nando mencari tau siapa yang menjadi korban.
Wajah Hera sudah dipenuhi dengan darah. Darah dari telinganya tak kunjung berhenti. Nando tak begitu mengamati siapa dia.
Dante seketika membeku melihat kondisi Hera.wajah Hera dipenuhi darah. Wajahnya terluka parah. Dia menyesal, seharusnya dia tak memaksa Hera untuk lari pagi kalau dia tahu begini jadinya.
Beberapa menit kemudian ambulance datang dengan sirine khasnya.
Dante ikut masuk ke dalam mobil ambulance. Nando yang membawakan dompet Hera juga ikut masuk. Belum sempat Nando membuka dompet Hera untuk mencari tahu siapa dia, perawat yang keluar dari ambulance memintanya untuk ikut masuk ke mobil.
Setibanya di rumah sakit, para perawat segera membawa Hera menuju ke ruang gawat darurat. Nando dan Dante ikut mengantar. Mereka berlari melewati lorong-lorong rumah sakit. Keadaan begitu panik.
Dante begitu menyesal. Hal itu terlihat dari raut wajahnya. Dia terduduk lemas di lantai. Menunduk menatap darah yang menempel di kaos putihnya. Darah Hera yang mengenai kaosnya ketika dia membantu mengangkat tubuh Hera masuk ke ambulance.
Nando berjalan mendekati Dante. Menepuk pundak Dante. Itu kebiasaan Hera yang diajarkan padanya untuk menenangkan seseorang.
"Sabar dan berdoa semoga tidak terjadi apa-apa padanya". Ucap Nando membuat Dante mendongakkan kepalanya menatap Nando yang berdiri di hadapannya.
Dante berdiri dan menganggukkan kepalanya.
"Dia kekasihmu?". Tanya Nando mencoba mencairkan suasana yang terlalu formal diantara mereka.
Dante tersenyum miring. Senyum yang dipaksakan. "Bukan". Jawab Dante Yeng kemudian menyisir rambutnya dengan jarinya, terlihat begitu frustasi.
Nando mengangguk-anggukan kepalanya. Dia kebingungan mau berkata apa lagi.
"Keluarga pasien?". Tanya seorang suster yang muncul dari balik pintu.
"Saya temannya sus". Jawab Dante.
"Mohon segera menghubungi keluarga pasien, pasien membutuhkan donor darah secepatnya karena pasien kehilangan begitu banyak darah dan waktu kita tidak lama". Ucap suster itu membuat Dante makin frustasi.
Dante membenturkan kepalanya pelan pada tembok tak jauh di sampingnya. Dia benar-benar tak bisa berfikir dalam kondisi seperti ini. Dia tak mungkin menunggu papa Hera sampai. Jerman dan Jakarta bukan Bogor Bekasi.
"Saya boleh coba donorkan darah saya?". Tanya Nando membuat Dante menengok ke arahnya.
"Darah dia itu langka. Sangat sulit untuk mencarinya". Dante kembali menghadap ke tembok, menyisir rambutnya dengan jarinya kesal.
"Kan belum dicoba". Lanjut Nando.
Tak ada pilihan lain. Dante kemudian menemui dokter yang menangani Hera dan menjelaskan keinginan Nando. Tes kecocokan dilakukan.
Dante dan Nando menungggu hasil tes dengan wajah yang frustasi. Bahkan Dante tak bisa duduk tenang. Dia terus mondar mandir hingga membuat orang di sekitarnya menggeleng-gelengkan kepalanya.
KAMU SEDANG MEMBACA
tentang kita
Romance"dengarkan aku, walaupun kita tidak menjadi sepasang kekasih. Namun, aku pernah menganggapmu sebagai kekasihku dan aku pernah mencintaimu seperti mereka mencintai kekasihnya"