Suara riuh tepuk tangan mengiringi langkah Hera menuju panggung yang telah disediakan untuk prosesi pelepasan siswa kelas 12. Sesekali Hera menengok kan kepalanya mencari kehadiran Nando. Entah kenapa, dia masih saja perduli dengan kehadiran Nando di acara pelepasan siswa kelas 12 ini. Padahal dia sudah tidak pernah berbicara lagi dengan Nando setelah postingan foto itu. Bukan hanya karena Hera yang memang sudah tidak wajib datang ke sekolah seusai UNBK, tapi juga karena Nando yang sibuk menghadapi lomba fotografer untuk mewakili sekolahnya di tingkat provinsi.
Hera menundukkan kepalanya, sedangkan kepala sekolahnya mengalungkan Gordon wisuda sebagai tanda kelulusannya. Dengan senyuman mantap, Hera menatap wajah kepala sekolahnya. Kepala sekolah Hera menepuk pundak Hera sambil mengatakan kalau kesuksesan akan diraihnya.
Selesai acara inti, Hera duduk bersama bi Mina. Sengaja yang datang bi Mina, sebab papanya masih berada di Jerman karena penerbangan di Jerman sedang ditunda mengingat badai salju yang tidak memungkinkan untuk melakukan penerbangan. Jadi, terpaksa bi Mina yang mewakili. Tapi, Hera tak merasa sedih. Bagi Hera, bi Mina juga keluarga Hera bahkan sudah seperti ibu bagi Hera.
"Congratulation Her, tapi gue sedih". Ucap Mila sambi memeluh Hera dengan erat.
"Kenapa harus sedih?". Tanya Hera sambil menatap wajah sahabatnya ini.
"Dengan Lo lulus, Lo bakal ninggalin gue dan pergi ke Jerman. Gue nggak bakal punya sahabat gila kayak Lo lagi dong".
"Yeeee, Bayu tuh gila"
"Tapi dia nggak segila Lo"
"Segila itu kah gue?". Ucap Hera dengan nada polos.
Mila tertawa, dia memang ga bakal ketemu sahabat segila Hera. Begitupun dengan Hera, dia ga bakal ketemu sahabat segila Mila.
"Selamat ya kak". Ucap Nando mengagetkan Hera.
Hera hanya menganggukkan kepalanya. Kalau nggak ada rindu, kalau ada dicuekin. Hera masih menyimpan kekecewaannya terhadap Nando. Entah, sulit baginya melupakan rasa perih itu.
"Nanti malam temuin saya ya kak. Ada yang mau saya omongin. Nanti saya kasih tau tempatnya". Ucap Nando yang dibalas anggukan Hera.
Satu demi satu tamu undangan pulang. Padahal acara belum selesai. Abisnya acaranya kelamaan. Membuat tamu undangan bosan. Lagi pula acara inti sudah selesai dari tadi.
"Non, pulang yuk". Ucap bi Mina mulai bosan.
"Yah bibi, Snack nya udah habis ngajak pulang". Hera menahan tawa.
"Ayok non, capek nih di sini duduk Mulu".
"Yaudah ayo"
Sesampainya di rumah, Hera membuka pintu rumahnya. Hera terheran ketika mengetahui kalau pintu rumahnya tidak terkunci. Padahal dia sudah memastikan sebelum berangkat tadi pintunya sudah terkunci rapat.
Dengan langkah sedikit ragu, dia mencari saklar lampu.
"Surprise". Ucap papa Hera dan seorang cowok di sampingnya, bersamaan.
Hera tersenyum lebar, ternyata papanya sudah pulang. Ditambah lagi cowok itu yang tak lain adalah Dyan, mantan kekasih Hera dulu.
"Papa kok pakek bawa nih anak sih?". Tanya Hera sambil menatap ke arah Dyan.
"Tuh anak katanya kangen Indonesia. Dia kelamaan di Jerman jadi kasian papa liatnya". Papa Hera tertawa diikuti dengan tawa Hera.
"Ih.. om ga bantuin saya malah jelekin saya". Dyan memanyunkan bibirnya.
Dyan kembali hadir di kehidupan Hera. Entah sudah berapa lama dia pergi tanpa kabar, sampai akhirnya Hera mau mengikhlaskan semuanya dan berteman baik dengan Dyan.
"Hera, papa mau ngomong". Ucap papa Hera sambil menghampiri Hera yang duduk di sofa ruang tamu.
Hera mendongakkan kepalanya melihat ke arah papanya. Kemudian papanya duduk di sebelah Hera. Hera menyandarkan kepalanya di bahu papanya. Papanya mengelus lembut rambut Hera.
"Anak papa udah gede". Papa Hera tersenyum, ada kesedihan di balik matanya. "Kamu harus bisa jaga diri di sana. Jerman bukan negara kecil. Jerman punya seribu satu tantangan buat kamu, dan kalau kamu nggak bisa menaklukkan tantangan itu... Kamu pasti tahu apa yang akan terjadi". Hera menatap wajah papanya, wajah seorang superhero baginya. Ada keteduhan dan kenyamanan di wajah papanya. "Kamu nggak punya siapa-siapa di sana. Papa takut kalau nanti kegagalan datang padamu. Papa takut kamu terlena dengan hingar bingar kehidupan di Jerman yang bisa membuatmu jatuh dan jadi bahan cemoohan orang".
"Papa, papa harus yakin sama kemampuan anak papa ini. Hera bisa kok jaga diri. Hera bisa belajar jadi anak yang mandiri. Hera juga ga bakal lupa kalau di Indonesia ada orang yang menanti kepulangan Hera dengan kesuksesan di tangan". Hera tersenyum optimis.
"Wah, ada yang lagi serius nih. Saya boleh tanya gak?". Ucap Dyan yang datang tiba-tiba sambil membawa dua kotak yang masing-masing berisi gula dan garam.
"Lo itu ganggu aja deh. Lebih baik papa tinggalin aja dia di Jerman atau kalau nggak jatuhin aja dari pesawat saat dia otw ke sini". Ucap Hera kesal.
"Yeeeee, mati dong gue". Dyan mengerutkan keningnya.
"Udah-udah.... Jangan berantem mulu". Ucap papa Hera memisahkan. "Kamu mau tanya apa?". Lanjut papa Hera.
"Saya mau tanya ini salt yang mana trus sugar mana?".
"Ini Indonesia, silahkan pakai bahasa Indonesia". Ucap Hera sinis.
"Apa sih, Lo sinis banget".
"Kan, berantem lagi... Kamu tanya Bu Mina Yan". Papa Hera segera pergi ke kamarnya daripada pusing melihat Dyan dan Hera berantem mulu.
Hera duduk di dekat jendela kamarnya. Merenungkan sesuatu. Dia masih berpikir apakah benar dia akan pergi ke Jerman. Lalu, itu artinya dia akan jauh dari Nando.
Dering dari ponselnya menyadarkan Hera dari renungannya. Dia segera mengangkat telfon yang ternyata itu dari Mila.
"Her, Lo kok nggak baca pesan dari Nando sih?". Tanya Mila dengan sinis.
"Pesan dari Nando?". Hera bertanya balik dengan polos.
"Iya, kasian nih Nando. Lo kan udah nyanggupin kalau Lo bakal Dateng ke tempat yang udah disepakati Nando. Dia udah nunggu 2 jam tau. Untung gue ketemu dia pas gue lagi jalan bareng Bayu".
"Nando masih ada di sana?"
"Masih".
Hera segera menuju ke alamat yang sudah diberikan Nando lewat pesan singkat. Tanpa banyak dandan, Hera hanya mengambil jaketnya.
"Pa, Hera pergi dulu ya?". Pamit Hera sambil berlari ke arah mobilnya yang terparkir didepan rumah.
Tanpa menunggu persetujuan papanya, Hera segera pergi. Hera melaju dengan kencang ke tempat Nando menunggu.
"Nan". Ucap Hera melihat Nando yang terduduk di kursi taman sambil menundukkan kepalanya.
"Eh, duduk sini". Ucap Nando dengan senyuman getir.
"Maaf ya, gue nggak baca pesan singkat dari Lo. Maaf banget ya Nan". Hera merasa sangat bersalah.
"Udah, abaikan aja. Lagian menunggu udah jadi kebiasaan gue"
"Bisa aja Lo"
"Beneran, bahkan udah mau gue jadiin hobi nih". Nando dan Hera tertawa bersama. Nando memang jagonya mengubah suasana canggung menjadi lebih hangat.
"Nan, liat deh". Hera menunjuk ke arah langit yang dipenuhi bintang.
"Apa?". Ucap Nando sambil melihat apa yang ditunjuk Hera.
"Papa pernah bilang ke gue. Kalau kita sedang rindu seseorang yang jauh dari kita, kita liat bulan di langit. Orang yang kita rindu juga pasti lagi lakuin itu. Paling nggak dia ada di bawah bulan yang sama dengan bulan yang kita liat".
"Kakak aneh-aneh deh, lagian siapa yang bakal gue rindukan? Kan orangnya ada di sini". Ucap Nando.
"Lo mah gitu Nan, kali aja kan dia bakal jauh. Takdir Tuhan ga ada yang tau". Bantah Hera
Nando tertawa. Suasana hening sejenak. Hera asyik memandangi langit. Sedangkan Nando bingung bagaimana mengungkapkannya.
"Kak, gue minta maaf ya soal postingan itu"
"Udahlah, lagian kenapa minta maaf ke gue. Gue bukan nyokap Lo"
"Iya sih". Nando benar-benar kehabisan kata-kata. Padahal dia biasanya ngoceh Mulu kayak burung beo. "Kak, kakak mau nggak jadi...". Kalimat Nando benar-benar terputus ketika Hera menatap ke wajahnya.
"Eh Nan, Lo habis SMA mau kuliah di mana?". Ucap Hera mengalihkan pembicaraan. Hera sebenarnya sudah menunggu lama kalimat itu, tapi dia ga mungkin menerimanya. Dia sudah menyanggupi permintaan papanya untuk fokus kuliah.
"Emm, mau kuliah sekitar sini aja deh kak"
"Ooh"
"Kak". Ucap Nando sambil menggenggam kedua tangan Hera dan menatap mata Hera dalam-dalam.
Hera terpaku. Dia tak bisa melakukan apa-apa. Bahkan untuk berpikir bagaimana caranya mengalihkan pembicaraan Nando saja otaknya buntu.
KAMU SEDANG MEMBACA
tentang kita
Romance"dengarkan aku, walaupun kita tidak menjadi sepasang kekasih. Namun, aku pernah menganggapmu sebagai kekasihku dan aku pernah mencintaimu seperti mereka mencintai kekasihnya"