"Kakak mau kan jadi...". Kalimat Nando lagi-lagi terputus.
Belum selesai Nando mengucapkan kalimatnya, suara klakson mobil membuyarkan suasana romantis itu.
"Ra". Teriak cowok yang tak lain adalah Dyan, turun dari mobil menghampiri Hera.
Nando dan Hera terdiam. Nando bertanya-tanya siapa dia.
Tanpa banyak bicara, Dyan menarik tangan Hera.
"Nan, gue pergi dulu ya. Maaf nggak bisa lama". Teriak Hera sambil terus berjalan karena tangganya yang digenggam Dyan.
Nando hanya terdiam menatap punggung Hera dan Dyan yang semakin menjauh.
"Lo apaan sih, main tarik aja. Lo kira gue kambing?". Ucap Hera ketika sudah sampai di samping mobilnya.
"Ini udah malam, dan Lo cewek. Papa Lo khawatir, jadi gue susulin Lo. Gue muter-muter tau nyariin Lo. Untung gue nggak nyasar".
Hera tertawa mendengar penjelasan Dyan. "Bagus dong kalau Lo nyasar". Ucap Hera membuat Dyan memanyunkan bibirnya untuk yang kesekian kalinya.
Suara resleting koper memecah keheningan. Sebelumnya, Hera tengah melamun. Hatinya masih berat untuk berangkat ke Jerman. Namun, logikanya egois memaksanya pergi ke Jerman.
"Hera, kalau kamu nggak jadi pergi nggak papa kok. Kamu bisa kuliah di Indonesia bukan?". Ucap papanya lembut.
"Nggak pa, kapan lagi Hera menuhin keinginan papa. Hera bakal pergi ke Jerman kok pa. Hera juga bakal pulang secepatnya dengan gelar sarjana di tangan pa". Ucap Hera sambil tersenyum. Sebenarnya, topeng mana yang ia kenakan untuk menutupi kesedihannya.
"Udah lah om, Hera kan udah gede juga. Biar dia ngerasain gimana rasanya hidup di Jerman. Lagian ada saya om". Ucap Dyan meyakinkan papa Hera.
Papa Hera menganggukkan kepalanya sambil berusaha tersenyum untuk melepas kepergian anak tersayangnya itu.
Tepat pukul dua siang, Hera pergi menuju bandara diantar oleh papanya. Dia akan pergi bersama Dyan. Keberangkatan Hera ke Jerman sudah hampir tiba. Mila tersenyum ke arah Hera. Ada sedih dibalik senyum Mila. Hera mengusap pundak Mila pelan, seakan mengatakan kalau dia akan segera kembali.
"Jaga dirimu baik-baik sayang". Ucap papa Hera ketika memeluk Hera. Ini pertama kalinya Hera jauh dari papanya dalam waktu yang lama.
Hera mengangguk. Kemudian berbalik mengikuti langkah Dyan .
"Kak". Teriakan itu membuat Hera menghentikan langkahnya. Hera menengok, kemudian membalikkan badannya melihat siapa yang berteriak. Nando berlari dengan tergesa-gesa. "Kak, kenapa kakak nggak bilang ke saya kalau kakak mau pergi ke Jerman? Emangnya apa salah saya sampai-sampai kakak tega nyembunyiin ini dari saya?". Tanya Nando dengan wajah sedih.
Hera terdiam tak bisa menjawab. Bahkan untuk melihat wajah Nando saja dia tak sanggup. Dia tak mau Nando melihat matanya yang sudah memerah menahan air mata.
"Kak, Nando mohon... Kakak jangan pergi ya?". Ucap Nando lirih.
Hera masih tetap tertunduk. Tak ada jawaban. Hera tak mampu menggerakkan bibirnya.
Nando meraih kedua tangan Hera. Menggenggamnya erat. "Nando mohon kak". Ucap Nando sambil berlutut di hadapan Hera. Melihat wajah Hera yang tertutupi rambutnya.
"Maaf". Ucap Hera. Kini air matanya jatuh. Sia-sia dia menahannya mati-matian.
"Kalau gitu, dengerin saya kak... Dengerin saya sebelum kakak pergi... Saya suka sama kakak, saya serius dengan ini, saya nggak main-main seperti biasanya, terserah kakak mau nolak saya atau gimana, yang penting saya lega kak sudah ungkapin apa yang saya rasakan". Nando memandang dalam-dalam mata Hera yang memerah.
Hera menelan ludah. Dia bingung mau jawab apa. Dia menarik tangan Nando agar Nando berdiri dan tidak berlutut di depannya. "Ada yang lebih baik dari saya. Sadarlah, ini bukan cinta. Ini cuma sekedar suka. Kita masih labil. Jadi, tolong... Biarin aku pergi, biarin aku meraih cita-citaku. Kamu juga... Kamu harus meraih cita-citamu". Hera tersenyum getir. "Kamu masih ingat bukan? Saya pernah bilang, kalau kita bisa liat bulan yang sama dengan bulan yan di lihat oleh seseorang yang kita rindukan. Jadi, kamu bisa titip rindu ke bulan. Mungkin aja bulan berbaik hati mau menyampaika rindumu". Hera melepas genggaman tangan Nando.
"Nando bakal tetep sayang sama kakak. Nando bakal buktiin kalau Nando nggak main-main". Ucap Nando.
Kalimat Nando adalah kalimat terakhir yang selalu diingat Hera. Andai Nando tau, Hera mati-matian berusaha menyingkap rasa sayangnya pada Nando. Dia mati-matian mengusir bayangan Nando yang seakan menghantuinya, membuatnya ditikam rasa sakit dan sesak di dada. Menangis di jendela kamarnya sambil menatap langit. Bercerita pada bulan tentang isi hatinya. Diusap lembut angin malam yang dingin. Andai saja Nando tau hal itu. Hal yang dialami Hera sebelum akhirnya memutuskan untuk benar-benar pergi ke Jerman.
Dalam perjalanan, kalimat-kalimat yang diucapkan Nando terus saja terngiang seperti suara nyamuk yang mengganggunya. Kenangan-kenangannya bersama Nando yang hampir dua tahun, terlihat begitu jelas bagai sebuah film dokumenter. Terus saja berputar memenuhi otaknya. Namun, hatinya yang rapuh terus menguatkannya. "Kamu pasti bisa melewati semuanya. Tenang saja, waktu akan menjadi obat paling ampuh". Batinnya.
Dyan yang duduk di samping Hera memilih diam. Dia tak berani mengganggu Hera yang terlihat tengah kacau. Dari pada gangguin macan tidur.
Semenjak kepergian Hera, Nando berubah. Dia bukan lagi Nando yang banyak omong, banyak tingkah dan banyak gombalan. Nando menjadi pendiam, menjadi seseorang yang dingin. Namun, itu semua tak merubah banyaknya fans Nando. Mereka malah semakin suka dengan Nando yang sekarang. Nando yang dingin.
"Ndo, ntar sore ada kumpul dewan kerja ambalan. Lo nggak ikut?". Tanya Vero.
Mereka masih aktif sebagai anggota Pramuka sampai sekarang. Nando bahkan menjadi pemangku adat periode tahun lalu. Sekarang dia menjadi alumni, bisa juga dikatakan sebagai super senior. Tapi di Pramuka kan nggak ada yang namanya senior, adanya hanya kakak dan adik.
"Nggak ah, ngapain juga. Kita kan udah alumni". Jawab Nando sambil mengemasi barang-barangnya yang berserakan di atas meja.
"Yaaah, padahal ntar bakal dikenalin ke adek kelas pengurus dewan kerja ambalan yang baru". Ucap Vero mencoba agar Nando tertarik untuk ikut.
"Nggak". Jawab Nando singkat, kemudian melangkah keluar kelas sambil menjinjing tasnya.
"Tuh anak padahal dulu kalau urusan cewek nomer satu. Sekarang kok jadi patah hati gitu ya". Batin Vero sambi menggeleng-gelengkan kepalanya menatap punggung Nando yang melangkah menjauh.
Nando mengeluarkan motor sportnya dari parkiran.
"Nan, gue boleh nebeng Lo pulang nggak? Soalnya sopir gue nggak bisa jemput nih". Ucap Aril mulai modus lagi.
"Ver, si Aril minta Tebengan tuh". Ucap Nando pada Vero yang juga mengeluarkan motornya dari parkiran.
"Gue kan minta anterin Lo Nan". Ucap Aril dengan wajah kaget.
"Tuh si Vero juga sama aja". Ucap Nando yang kemudian melakukan motornya.
Aril memanyunkan bibirnya sambil melihat Nando yang melaju cepat.
KAMU SEDANG MEMBACA
tentang kita
Romance"dengarkan aku, walaupun kita tidak menjadi sepasang kekasih. Namun, aku pernah menganggapmu sebagai kekasihku dan aku pernah mencintaimu seperti mereka mencintai kekasihnya"