eps 22

410 12 0
                                    

Hari berganti bulan. Nando sudah lulus SMA. Keinginannya untuk pergi ke Jerman terwujud. Atas usahanya, dia memenangkan lomba itu. Dia benar-benar akan berangkat ke Jerman dengan beasiswa yang dia terima. Tapi, Nando harus bekerja sama dengan perusahaan yang memberikan beasiswa padanya. Dia harus mau menjadi fotografer di sela waktu kuliahnya di Jerman. Selain itu, dia juga harus terus mengukir prestasinya di bidang fotografi agar beasiswa terus berlanjut sampai dia wisuda nanti. Dengan hati yang mantap, dia menyetujui semua itu. Bundanya juga tidak bisa melarang Nando. Hari ini, Nando akan berangkat ke Jerman.
"Nan, gue kasih kontaknya Hera ya? Kali aja itu mempermudah Lo di sana nanti". Ucap Mila menawarkan.
Nando tak menjawab. Sekarang alasan dia pergi ke Jerman bukan karena Hera lagi, melainkan juga karena ia ingin merintis karirnya mulai sekarang. Sudah cukup baginya untuk main-main. Kini dirinya sudah dewasa.
"Kamu terima saja tawaran Mila, kali aja itu berguna buat kamu nanti di sana". Ucap bunda Nando sambil mengusap pundak Nando.
Nando mengangguk. Dia menerima selembar kertas bertuliskan nomor telepon Hera. Dia menyimpannya di saku celananya.
Tepat pukul sepuluh malam, Nando tiba di bandara Berlin Jerman. Nando menarik kopernya, kemudian keluar dari bandara. Dia memandang sekelilingnya. Tak jauh berbeda dengan Jakarta. Suasana kota dengan gemerlap lampu jalan serta lampu kendaraan yang melintas memberi kesan pertamanya.
Satu jam kemudian, Nando sudah tiba di apartemennya. Nando segera membersihkan diri dan kemudian tidur.
Nando sengaja tak mengizinkan satupun orang yang mengetahui kepergiannya ke Jerman memberitahukannya pada Hera. Dia tak mau Hera terganggu dengan kehadirannya setelah setahun lebih tak ada kabar.
"Ayah". Panggil Nando setelah memastikan kalau yang tengah berdiri di hadapannya adalah ayahnya.
Ayahnya tersenyum. Pakaian serba putih yang dikenakannya menyilaukan mata. Begitu bercahaya. "Cari dia nak. Jadikan dia wanita kedua yang kau sayangi setelah bundamu. Ketahuilah, seorang lelaki akan tunduk pada 3 orang di dunianya. Bundanya, ayahnya dan dia". Ucap ayahnya sambil mengusap kepala Nando dengan lembut.
"Dia siapa yah?". Tanya Nando polos. Nando benar-benar tidak tau dia itu siapa.
Ayahnya tersenyum, kemudian perlahan menghilang di antara kabut putih yang memenuhi ruangan itu.
"Yah!!". Teriak Nando seraya terbangun dari tidurnya. "Ternyata cuma mimpi". Ucap Nando setelah memastikan bahwa dirinya baru bangun dari tempat tidur.
Nando melirik ke arah jam di atas meja dekat tempat tidurnya. Jam sembilan siang. Dengan cepat Nando berlari menuju kamar mandi. Hari ini ada kelas di kuliahnya. Dia sudah terlambat.
Selesai mandi, Nando segera mengambil tas punggung kecil yang biasa dia pakai kemanapun. Nando tidak menaiki motor sport seperti saat dia masih SMA dulu. Sekarang, dia naik sepeda lipat saat pergi kemana-mana.
Tak butuh waktu lama baginya untuk sampai di kampus. Cuma butuh waktu lima belas menit dia sudah sampai. Empat bulan di Jerman membuatnya sudah hafal dengan jalan-jalan tikus anti macet serta bebas hambatan.
"Morning". Sapa Nadetta, teman sekaligus model yang bekerja di satu agensi dengan Nando.
Nadetta atau yang biasa dipanggil Nando Deta karena namanya yang susah dilafalkan bagi Nando, adalah seorang gadis cantik asli Jerman. Wajahnya hampir lebih mirip seperti turunan Cina dari pada turunan Jerman, tingginya hampir menyamai tinggi Nando. Pantas saja dia menjadi model di usianya yang terbilang masih muda. Deta lebih suka menggunakan bahasa Indonesia dengan selingan bahasa Inggris ketika berbicara dengan Nando. Deta tidak suka mendengar ucapan Nando yang belepotan ketika mengucapkan bahasa Jerman.
"Udah siang". Jawab Nando sambil terus menuntun sepedanya ke parkiran.
"Yaaaa, kamunya yang kesiangan. Udah jam setengah sepuluh baru ke kampus. Kena hukum baru mampus kamu". Ucap Deta yang menggunakan bahasa Indonesia dengan fasih. Dia memang orang Jerman asli, tapi dia sering datang ke Indonesia untuk menjenguk perkebunan kelapa sawit milik papanya. Papanya adalah pemilik salah satu perkebunan kelapa sawit terbesar di Kalimantan.
"nicht möglich"(tidak mungkin). Ucap Nando masih belepotan menggunakan bahasa Jerman.
Deta tertawa mendengar kalimat yang diucap Nando. "Kamu jangan sok-sokan ngomong bahasa Jerman. Malah lucu banget tau". Ucap Deta membuat Nando memanyunkan bibirnya.
"Nggak ngajarin malah ngetawain". Ucap Nando masih dengan bibirnya yang manyun.
"Iya-iya, nanti aku ajarin". Jawab Deta sambil memeluk pundak Nando.
Malam ini cuaca langit cerah. Bintang dan bulan terlihat dengan jelas. Nando menatap ke langit dari jendela kamarnya. Kaki Nando tergerak untuk berjalan ke balkon yang menyatu dengan kamarnya.
Nando menatap bulan dengan tatapan yang dalam. Nando teringat akan ucapan Hera. Sampai saat ini, Nando masih merindukan sosoknya. Nando rindu tertawa bersamanya. Nando rindu bertingkah konyol hanya untuk mendengarkan suara tawanya. Nando benar-benar rindu hal itu. Sudah setahun dia tidak bertemu dengan Hera. Tapi wajah Hera yang tersenyum, suara tawa Hera, dan ucapan-ucapan Hera yang sering memarahi Nando karena Nando juniornya yang paling nakal dan susah diatur, masih terbayang dan terdengar jelas.
Bulan seakan tersenyum pada Nando. Senyumannya seakan memberikan Nando ketenangan. Menyabarkan Nando akan kerinduannya pada Hera. Nando memejamkan matanya.
"Bulan, maukah kamu menyampaikan rinduku padanya. Dia yang ku sayangi entah sedang ada di mana dan bersama siapa. Apa yang dia lakukan sekarang saja aku tidak tahu. Apakah dia punya penggantiku aku juga tidak tau. Tapi yang pasti aku masih sayang padanya, sampai detik ini aku masih merindukannya. Andai kamu mau berbaik hati menyampaikan rindu ini padanya, tolong sampaikan aku masih menginginkan sosoknya". Batin Nando yang diakhiri dengan senyuman menenangkan, namun sebenarnya sangat menyayat hatinya.
Di sisi lain, Hera tengah duduk di balkon apartemennya. Menatap ke bulan yang bersinar terang malam ini. Tiba-tiba, dia mengingat Nando. Dia berfikir apa yang tengah dilakukannya. Apakah dia masih percaya akan ucapannya untuk melihat bulan ketika rindu pada orang yang dia sayangi.
Hera berjalan ke ujung balkon. Menatap bulan dengan wajah sedih. Sebenarnya dia merindukan Nando. Tapi dia lebih memilih untuk tidak perduli dengan hal itu. Dia menyibukkan dirinya selama ini agar tidak ada waktu untuk merindukan Nando.
Tanpa mereka sadari, kamar apartemen mereka bersebelahan. Bahkan mereka tengah menatap bulan di sisi yang sama. Bulan seakan tersenyum dan ingin mengatakan yang sebenarnya. Namun, bulan tak punya mulut untuk bicara. Biarlah rencana Tuhan yang berjalan sesuai kehendaknya.
"Hera". Panggil Dante.
"Nando". Panggil Deta.
Panggilan itu bersamaan. Kini di antara mereka telah hadir para tokoh baru yang dikirim Tuhan. Mungkin mereka dikirim untuk menyatukannya. Ataupun sebaliknya.

tentang kitaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang