diriku sebenarnya

0 0 0
                                    

Menurut ku, dia perempuan baik, cantik, ramah, sopan, lucu lagi. Bertemu dengannya seolah membuat kehidupanku menjadi lebih baik. Mmm bahkan sempurna. Senyumannya mengapa selalu mengayun indah dibenakku?

“Kak Zidan, nanti sore kesini lagi kan?” suara anak kecil membuyarkan lamunanku, aku menengok kebawah ternyata itu, Ikbal. Anak muridku.

Anak murid? Mungkin kalian bertanya tanya apakah aku seorang guru? Guru yang biasanya membawa buku buku tebal, yang biasa membawa daftar absensi siswa? Guru yang biasa membawa laptop.
Aku katakan jika pemikiran kalian tidak ada yang tepat.

“Iya. Nanti kakak kesini lagi sambil bawa makan”. Aku tersenyum kearahnya setelah itu berjalan keluar dari sebuah bangunan yang lumayan kumuh.

Sudah tergambar jelas bukan kehidupanku seperti apa? Hari hariku bagiamana? Dan aku seorang guru untuk siapa? Namun aku melakukannya InsyaaAllah Lillahi taala.

Jauh sebelum aku mengenal Zulfa, aku adalah seorang guru untuk anak anak jalanan. Sisi kemanusiaanku terketuk ketika aku mendapati anak jalanan memulung sebuah pensil di gerbang sekolah negeri.

Aneh memang, banyak orang yang bergelimang harta namun menyia-nyiakan pendidikan. Contohnya seperti, aku. Ah apa? Begini, aku adalah anak dari ayah seorang pembisnis dan anak dari ibu seorang desainer.

Hidupku waktu dulu sangat mewah, keinginanku dalam hitungan menit dapat terwujud. Namun jika hidup mewah tanpa ada asupan kasih sayang dari orang tua bagaimana? Orang tua ku meninggalkan ku bersama pembantu ku. Mereka, orang tua paruh waktu yang mementingkan pekerjaan dibanding aku.

Masa TK ku begitu malang, dimana para anak membawa raport bersama orang tua dan aku hanya bersama supir pribadi ku. Kejam kah orang tuaku?

Alasan yang klasik bagiku untuk menghiraukan pendidikanku, harusnya aku tahun ini lulus wisuda. Namun akankah saat wisuda nanti harus pembantu dan supir ku yang datang?

Miris memang...

“Den, nanti sore mau datang utusan papa kesini”. Ucap Bi Sulis ketika mendapati aku baru datang

“Terus Bi? Dia yang datang dan kita harus ngadain pesta tumpeng gitu?”.

“Ngga sih. Bibi takut Den Zidan mau dibawa ke Turki”.

Aku mengurungkan niat untuk suapan nasi yang keempat

“Kalau pun itu kemauannya, saya gak mau ikut”.

“Iya den”.

Membawaku ke Turki? Kalau pun aku kesana untuk melanjutkan usaha papa pasti aku tidak ada gunanya karena aku belum mempunyai gelar S1 di Negeri ini.

“Bi, nanti tolong bungkusin yah, nasi plus lauk pauk nya buat sebelas orang”. Ucapku

“Oh buat anak anak itu ya Den?”

“Iya Bi” .

***********

“Mas?”

“Hm?” sahutnya sambil terus fokus menyetir

“Mau nikah tahun ini ya?” Tanya ku

“Kalau ada rezeki”.

“Udah bilang sama bapa?” Tanya ku lagi

“Belom”. Pasti Mas Soni berkata dalam hati, mau bilang ke bapa gimana? Bapanya juga tiap hari di balai desa.

“Cantik ya kak Sarah itu. Pintar banget milih cewek”.

“Cantikan dia dibanding kamu. Makanya Mas milih dia”.

“Apa sih Mas!”

“Sensi amat sih dek”.

“Mas tuh yang ngehina adik sendiri. Emangnya Mas Soni ganteng apa”.

“Jangan berkata rendah kamu dek”.

Aku tertawa keras hingga semua pengendara motor yang lain pun ikut menengok kearah ku

“Itu kaya Zidan dek”

Aku berhenti tertawa

“Mana Mas?”

Aku memperjelas mataku, hingga kami semakin dekat dengan Zidan yang berdiri di samping jalan.

“Zidan!?” Panggil ku.

Zidan menoleh

“Zulfa?”

“Eh udah udah” kata Mas Soni, jeda beberapa detik “ Mau kemana Dan?” tanya Mas Soni

“Mau pulang”.

“Rumahmu dimana?” tanya mas Soni

“Disana”.

Aku dan Mas Soni bingung, dia menunjuk kearah yang tidak meyakinkan

“Oh. Yaudah kami pamit dulu, Assalamualaikum”.

Mas Soni kembali melajukan motor setelah mendapat jawaban salam dari Zidan.

“Kamu suka ya sama dia?”

“Mas jangan seenaknya deh”.

“Dia ganteng, pasti kamu suka”

“Dan lebih ganteng dari Mas” aku tertawa kembali

“Dan kamu mencintainya” kini Mas Soni yang tertawa.

Laa TahzanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang