sorot mata yang dirindukan

0 0 0
                                    

Jangan tanya bagaimana kondisi hatiku, ketika sorot mata itu kembali ku temui

Irama musik religi menggema di penjuru ruangan,
Ruangan yang tadinya lapangan untuk bermain bulutangkis, seolah disulap menjadi bak istana raja dan ratu.

Ineke dan Alif tidak henti-hentinya bersenda gurau membahas waktu dulu, dimana Alif yang meronta ingin menjadi anak Ineke disaat Utsman ayahnya pergi keluar negeri untuk sebuah pekerjaan.

Dan Zulfa, gadis itu hanya cemberut menyaksikan Ibunya dan Alif saling melemparkan tawa, dan dirinya seolah datang sendiri ke kondangan.

“Minggir...Minggir”.

Segerombol pemuda berbaju seragam mulai menyerbu ruangan, bahkan Zulfa pun harus berjalan ke pinggir. Hampir saja ia terkilir jika Alif tidak menahannya dari belakang.

“Hati hati dek”.

“I..iya mas”.

Setelah mereka bersalaman dengan kedua pengantin serta berfoto bersama, akhirnya Zulfa bisa makan sekarang, makan gratis kan.

Suasana ruangan mendadak ramai, Zulfa tergesa gesa untuk segera mencari tempat duduk keburu gak kebagian. Dia juga menepuk jidatnya beberapa kali karena lupa membawa air mineral kemasan, sementara ia duduk paling depan dekat panggung, jauh sekali dengan meja hidangan.

Seorang lelaki yang Zulfa yakini sebagai emci itu mulai menyapa para tamu undangan, dan beberapa kali ia melawak namun tidak ada yang tertawa.
Sesekali Zulfa mengulum senyum.

“Aduh garing banget ya, Pak Harto jangan kapok ya, hehehe”. Ucap sang Emci

“Mau dengerin lagu gak Bu?”. Tanya sang Emci

“Mau atuh gimana sih dia”. Ucap seorang ibu di samping ku

“Yaudah kita sambut ini dia Ikhwanul muslimin”.

Seketika kerupuk yang sempat Zulfa lahap jadi tersendat di tenggorokannya, parahnya lagi tidak ada air yang bisa menjadi penawarnya

Pikiran Zulfa saat ini mencelos,bagaimana Hadroh Hilmi bisa manggung disini? Ah dia malu sekali, apalagi dia duduk paling depan.

“Neng, Minum dulu atuh”. Ibu di sampingnya menawarkan minumannya

Zulfa segera menerimanya dan meminum hingga tandas. Akhirnya nafas Zulfa terkendali namun tidak dengan hatinya

Setelah Zulfa mengucapkan terimakasih, mimik wajahnya harus ia kontraskan agar tidak terlihat kaget, dia harus bersikap cuek ketika tim Hadroh itu mulai menaiki panggung

Panggung yang tidak terlalu tinggi, sungguh indah rencanaMu. Pikir Zulfa

Deng ....

Benda itu berbunyi, benda bulat kecil itu seolah menjadi Gong bagi jantung Zulfa untuk berdetak semakin keras.

Mereka mulai menaiki panggung, ke tujuh orang pria itu memakai pakaian yang seragam, namun untuk vokalis sedikit dibedakan, tentu saja fokus Zulfa hanya pada Sang vokalis.

Shollu Ala Nabi......”.

Hati Zulfa melayang, bahkan matanya tak berkedip, pendengarannya seolah terbius oleh suara Hilmi,
Merdu sekali.

Ya Hananan..Ya Hananan...”.

Jangan tunjukkan senyum mu Zulfa! Jangan terbawa suasana!.

Namun Zulfa seolah mewanti-wanti itu pada bayangannya saja. Dan dirinya tetap saja memandangi sang vokalis hingga tak sengaja memberikan senyuman saat pandangan mereka bertemu.

“Astaghfirullah...” Zulfa bergeming.

Dia salah. Dia sangat salah. Dia sudah berjanji akan berubah, mengapa sangat ceroboh. Seharusnya dia tidak terbawa suasana, seharusnya dia bersikap cuek.

Mungkin Hilmi semakin membencinya..

“Dek”.

“Mas Alif?”

Zulfa kaget setelah mendapati Alif telah berada disampingnya, kemana ibu ibu tadi?

“Mas ngapain kesini?”.

Zulfa mengapa kamu bertanya seperti itu? Inikan tempat umum!. Pikir Zulfa

“Mau nonton, memangnya gak boleh”.

“Boleh. Mana ibu, Mas?”.

“Lagi ngobrol sama temannya, biasanya ibu ibu itu suka rumpi gitu, jadi saya kesini deh”.

“Mau liat juga?”. Tanya Zulfa

“Iya dong dek, masa mau ikutan nyanyi”.

Zulfa terkekeh geli

“Kamu main ninggalin aja dek. Kan Saya sama Ibu jadi bingung, duduknya di barisan paling depan lagi”. Berundung Alif

“Lama sih Mas. Nungguin Ibu ngobrol itu kayak nunggu balesan dari dia” mata Zulfa menoleh pada Sang Vokalis hingga akhirnya Alif pun ikut menoleh

“Dia?”. Alif merasa bingung

Sontak Zulfa merasa keceplosan, dirinya kini sedang berfikir keras untuk merangkai kata agar Alif tidak menebak nebak.

“hahahha biasa itumah cuman bahasa anak gaul gitu”.

“Bener apa ngga?”. Tanya Alif

Zulfa menggeleng, setelah itu mereka berdua kembali menikmati musik islami itu.

Laa TahzanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang