Up to you!

0 0 0
                                    

Terik matahari begitu menyengat kulit, ditambah debu polusi begitu pekat di siang hari ini.
Hari yang indah, Alhamdulillah Ala Kulli Hal.

Sepertinya menjadi adik dari Soni Setiawan adalah takdir yang harus kujalani dengan kesabaran.
Aku selalu berfikir adakah Kakak sepertinya? Apa hanya dia spesies saudara kandung yang mempunyai tingkat kejengkelan tinggi.

Kalau bukan janji Allah yang mengatakan jika orang sabar disayang Allah, mungkin aku akan ngamuk didepan abangku sendiri. Aku ditinggal pergi di tengah jalan, apakah membuatnya bahagia? Alasannya sih simpel

“Mas Soni gak pulang kerumah, mau lanjut ke kampus. Kamu naik bis aja dari sini”.

Namun sebenarnya, Aku tau jika dia berbohong.
Di rumah Mia, Mas Soni lagi telponan entah sama siapa. Intinya sih Mas Soni mau ketemuan katanya di cafe. Entah sifatnya itu turunan dari siapa. Dari bapa? Ngga juga. Bapa paling murka kalau ada anaknya berbohong. Dari ibu? Ngga juga..

Intinya aku gak sengaja nguping pembicaraannya di telpon. Maaf yak!

“Pa, uangnya pa”. Seorang bocah lelaki mulai meminta uang setelah mengamen di mini konsernya tadi.

Bapa itu mulai memasukkan uang receh kedalam sebuah topi.  Selanjutnya, bocah lelaki itu mulai menghampiriku.

“Kak, uangnya kak”. Ucapnya

“Kakak mau dengerin solawatan dong dari kamu” kataku,

Jangan ada yang berfikir jika aku memintanya untuk solawat, aku sedang flashback ke Hilmi, gak ya.
Walau Hilmi seorang vokalis Hadroh, tapi gak ada niat untuk memikirkan lelaki itu lagi.

Itu hanya keinginanku saja. Kan sedang booming tuh solawat yang lagi ngetrend. Apalagi kalau yang dibawain sama Nisa Sabyan.

“Maaf kak Ikbal gak bisa”. Ungkap bocah lelaki itu yang katanya bernama Ikbal

“Its Oke. Nih uangnya”

Otomatis aku beri dia beberapa uang lembar karena aku gak punya uang receh

“Makasih kak”. Bukannya senang wajahnya kok keliatan sedih banget?

Perkataanku ada yang salah kah?

Sejenak aku mengistirahatkan pikiranku. Mengapa melepaskan ini terasa sulit? Segala sesuatu yang terkait dengan Hilmi sebisa mungkin aku hindari.

Bahkan tak sengaja bertemu dengannya di sekolah saja seolah aku kehabisan pasokan oksigen.
Aku menghela nafas, membuang segala beban yang berada di pikiranku.

“Bang ini dimana ya?” aku bertanya pada kenek bis yang tengah menagih ongkos

“Di Malang, mba”.

Mampus

“Bang, rumah saya kelewat jauh”.

∆∆∆∆∆∆

Hilmi menutup pintu mobil dengan keras, dia berlari kecil hingga menggapai knop pintu.
Namun seorang wanita segera mencegahnya ketika hendak membuka pintu

“Hilmi, listen to me!”.

Mata Hilmi menoleh, namun segera ia alihkan kembali, mengingat wanita ini adalah perusak kebahagiaan keluarganya

“Kau sebegitu bencinya pada Tante? Ingat Hilmi, ayah mu memberi amanat pada Tante untuk menjaga mu”. Ucap wanita itu lembut,

“Dimana ibu ku? Dimana?” Tanya Hilmi dengan keras

Wanita dengan rambut sepundak itu mendadak kaku, melihat anak angkatnya berteriak keras padanya

“Berapa kali aku bilang, ibu mu telah meninggal”

“Dan sudah berapa kali aku bertanya pada mu! Dimana kuburan ibu ku!?”

Wanita itu kaku, hingga kebencian Hilmi pada wanita ini semakin menjadi jadi.

“Pergi kau dari sini. Wanita pengganggu!”. Hardik Hilmi

“Siapa yang telah mengajarkan pada mu untuk tidak menghormati orang yang lebih tua”.

“Bukan urusan mu!”.

Hilmi segera memutar kenop pintu, dan menutup pintu dengan keras.

Wanita itu mematung, hingga seorang pria keluar dari mobil yang mereka tumpangi.

“Permisi Bu Farida, ada telpon dari Tuan Faisal”.

“Tidak usah diangkat, aku sudah menyerah kali ini”. Tukas wanita bernama Farida ini.

Kali ini kesabarannya sudah habis setelah berusaha menghadapi kedua anak lelaki keras kepala itu.

Laa TahzanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang