Missing

0 0 0
                                    

Satu tahun berlalu, para siswa kelas Tiga SMA Al Ihsan sedang berdebar menunggu surat keputusan kelulusan mereka, termasuk Zulfa.

Zulfa tidak bisa diam di samping Ineke.
Sampai Ineke sudah memberi pengertian jika semuanya akan baik baik saja.

Namun Zulfa seolah tak percaya, dia takut mengecewakan semua orang dirumah.

“Ibu percaya sama kamu”. Ucap Ineke.

Endah selaku wali kelas Zulfa, telah memasuki ruangan, jantung Zulfa seolah menjadi arena berpacu kuda.

Satu jam Kepala sekolah dari SMA Al Ihsan menyampaikan kesan dan pesannya terhadap calon alumni, kesedihan nampak tersirat diwajahnya.

Sampai akhirnya waktu dimana para siswa membuka sendiri surat keputusan tersebut.
“Coba buka”. Ucap Ineke

Setelah membaca basmalah, Zulfa membuka surat itu perlahan dan matanya berbinar ketika dia telah mengetahui bahwa ia lulus dengan predikat tertinggi.

“Wah MasyaALLOH”. Ucap Zulfa antusias

“Ibukan sudah bilang”. Kata Ineke.

Ineke memeluk anak gadisnya, dia bangga, bangga sekali.

****

“Nilai yang jelek!”.

Farida sepertinya tidak pantang menyerah, kegigihannya untuk mendekati anak anak dari Faisal mungkin sudah menjadi targetnya untuk mendapatkan semuanya.

“Bagaimana kau bisa kesini? Jelas jelas aku tak suka!”. Seru Hilmi

“Tante kan sudah bilang, ayah mu menitipkan diri mu pada tante”. Ucap Farida sedikit lembut

“Memangnya aku ini barang! Aku bisa hidup sendiri tanpa dirimu!”.

Hilmi berlari menuju parkiran, menghidupkan motornya kemudian melenggang menuju gerbang sekolah, namun Farida menghadangnya.

“Kau mau mati?!”. Teriak Hilmi

“Perbaiki nilai mu!”. Seru Farida sembari mengangkat keatas sebuah surat kelulusan.

“Jangan mempermalukan diriku!”.

“Turun Hilmi! Perbaiki nilai mu! Sekarang kamu pergi menghadap wali kelas mu!”. Farida mematikan mesin motor. Hilmi geram.

Mau apa wanita ini? Pikir Hilmi

“Kenapa kau selalu mengikuti ku?”. Hilmi ingin sekali bertanya tentang ini pada Farida dari kemarin.

“Sudah tante bilang kan kalau ayah mu—”. Ucap Farida terpotong

“Kau bohong! Kau hanya ingin harta. Kau menikah dengan ayahku hanya ingin harta!”.

Farida tersenyum kecut, bisa saja anak kecil ini.

“Hilmi, sudahlah. Percaya sekali saja pada tante”.

“Minggirlah! Jangan pernah temui aku lagi!”. Ucap Hilmi, dia menyalakan motor kembali dan melenggang menuju jalanan

Kedua anak itu benar benar benci pada diriku, Maafkan aku Mas Faisal..

******

Sejak wanita itu selalu menyusahkan hari hariku,diri ini jadi enggan keluar untuk sekadar menikmati angin luar. Aku lebih memilih menyibukkan waktuku di rumah dengan membaca buku atau sekadar menghafal Al-Qur'an.

Nilai Ujian nasional ku mungkin bisa dikatakan jelek, tapi aku bersyukur sekolah meluluskan ku tanpa bersyarat.

Sebelumnya dari kelas 10 aku selalu masuk kedalam sepuluh besar atau bahkan lima besar, namun semenjak aku tau tentang perasaan tabu bernama cinta nilai nilai ku menjadi turun.

Dulu juga, banyak undangan pernikahan atau sunatan yang meminta ku bersama grup Hadroh ku untuk mengisi acara, dan kamipun menerimanya, namun sekarang satu undangan pun aku hiraukan.

Hidup perlu berubah...

“Bro!”.

Tanpa sempat aku usir, Luthfi sudah masuk kerumahku, dimana Bi Lastri?

“Kau ada disini?”. Tanya ku

“Alah biasa aja kali. Lo kayak ke siapa aja”. Luthfi berjalan menuju meja makan, matanya dari tadi sudah mengarah ke sana

“Sayang banget makanan sebanyak ini gak dimakan, biar Gue aja ya yang makan”. Matanya berkedip kedip,

Tanpa mendengar jawabanku, sepiring nasi bersama lauk pauk nya sudah Luthfi makan dengan lahap

“Mi, Lo gak mau gitu sekali kali manggung lagi?”.

Pertanyaan Luthfi sukses membuatku termenung, sejenak ada baiknya aku kembali menjadi vokal. Namun, bagaimana jika wanita itu menemuiku lagi.

“Lo gini karena lo patah hatikan?”.

Sukses! Pertanyaan keduanya membuat ku tersentak, apa maksudnya menyangkut pautkan segala sesuatu dengan masalah patah hati

“Gila aja! Ente kira ane patah hati segitunya”.

“Habisnya sih! Anak anak pada rindu solawatan bareng, latihan bareng, dan Lo susah banget diajak temu”.

“Latihan tanpa ane bisa kali, dan kalian bisa nyari vokalis baru”.

“Omongan Lo itu harus disaring dulu, Mi. Lo pikir mudah nyari vokalis yang semerdu Lo”.

Aku tertawa, baru kali ini aku tertawa lepas tanpa beban.

“Bilang aja kalian rindukan”. Ucapku ditengah tertawa

Luthfi menenggak air putih setelah itu dia kembali berbicara

“Terserah Lo deh! Awas ya kalau besok Lo gak dateng!”.

Alis ku beradu? Memangnya besok ada apa?
Luthfi berjalan dengan santainya, tanpa berterima kasih? Atau berpamitan gitu? Apa dia cuman numpang makan?

“Memangnya besok ada apa?”. Seru ku berteriak

“Ada yang ngundang kita biasa acara penganten! Lo jadi vokalis pastinya!”.

Hatiku berkecamuk antara tidak atau iya. Namun, jika terus terusan dirumah, bosankan? Sekali kali kesedihan ini harus ada penawarnya.

Ah tunggu. Kesedihan? Ada hubungannya dengan patah hatikah? Jelas saja aku tengah merindukan perempuan itu sekarang.

Laa TahzanTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang