Chapter 2

82.2K 6.7K 1.8K
                                    

Yakin masih bayangin Yoonji itu suga pakai wig? 😂🌚🌝

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Yakin masih bayangin Yoonji itu suga pakai wig? 😂🌚🌝







Memang, bekerja itu melelahkan. Apapun jenis pekerjaannya, pasti membutuhkan pengorbanan dan bulir keringat juga. Sekaya apapun manusia di dunia ini, semua bersinergi dengan sebuah usaha.

Tak jauh berbeda dengan Shin Yoonji yang sudah tenggelam di balik celemek kedai kopi sebagai penerima pesanan atau penjaga kasir. Banyak yang bilang ini adalah pekerjaan sejuta umat, yang sering di pandang sebelah mata. Padahal seandainya pundi-pundi itu di kelola dengan baik, tidak kalah dengan pekerjaan negeri honorer. Terkadang, lebih baik malah dan itu tidak terlalu buruk untuk menghidupi dirinya bersama Shin Hyunki.

Ah, untuk Hyunki, Yoonji memang tidak pernah sekalipun ingin membawa serta inisal J itu guna tersemat pada nama keluarga putranya. Cukup marga dari keluarganya saja, sisi Ibu.

"Yoon, bisa kau tolong aku untuk menerima pesanan meja nomor sepuluh?" Pribadi bertubuh sedikit gembil dengan rambut hitam klimis itu antusias menyodorkan papan menu berserta bolpoinnya, "Ada panggilan alam yang harus aku penuhi," imbuhnya dengan wajah menahan sesuatu.

Itu Changsub. Rekan kerja Yoonji selama kurang lebih satu tahun terakhir. Iya, ini adalah pekerjaan Yoonji yang keempat, pun paling lama setelah waktu terkikis. Tanpa muluk-muluk, ketiga tempat sebelumnya memecat Yoonji begitu saja lantaran Ibu satu anak ini sering terlambat. Menyusui atau menenangkan Hyunki sebagai alasan, atau memang itulah kenyataannya.

Yoonji mengangguk, "Hanya meja nomor sepuluh?" tanyanya setelah memeluk papan coklat selebar dada.

Lantas di balas sautan antusias sebelum pribadi bercelemek hitam itu menghalau terburu ke arah pantry.

Memang sedikit berat meninggalkan distrik pembayaran karena tanggung jawabnya lebih besar dari apapun. Tetapi untuk lima sampai sepuluh menit sepertinya tak masalah, karena dia sedikit menoleh tadi. Pengunjung meja nomor sepuluh hanya satu orang, itu akan cepat.

Maka setelah melewati beberapa meja dan satu pot bunga ukuran sedang di tengah ruang, Yoonji sampai pada meja pemberhentian.

"Ada yang bisa saya bantu dengan pesanan anda?" tanya Yoonji bersamaan menjentikkan belakang bolpoin pada papan kayu tipis itu.

"Aku pesan kau untuk pulang, setidaknya dua kali dalam satu tahun kalau tidak keberatan."

Yoonji seolah tersambar petir pun memaku seketika, kala maniknya menatap pribadi dalam setelan santai yang tengah duduk.

"Op-Oppa?!" Yoonji tertohok, "Ap-apa yan-"

"Oh, kukira kau melupakanku juga."

Satu-satunya saudara laki-laki yang ia miliki, Shin Yungi sedang menatap dirinya dalam sorot dingin. Sedingin ranting pohon yang menggigil di tengah badai musim beku. Jantung Yoonji sudah jatuh bebas kedalam perut. Tulang kakinya serasa berubah menjadi jelly, lemas tiada terkira. Bahkan jemari tangannya bergetar dalam rematan kejut.

Lacuna ✔️Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang