Bagian 15

222 11 1
                                    

Davin memasuki rumah sakit, bodohnya ia tak tau dimana ruang rawat Vanna.

Ia memutari rumah sakit.

Goblok bat si lu Vin, kenapa ga nanya suster didepan tadi aje, buang buang waktu. Ucapnya pada diri sendiri.

Namun niat untuk berbalik dan menanyakan kepada suster terhenti saat ia melihat Dokter yang ditemuinya saat menjenguk Vanna, masuk ke sebuah ruang rawat.

Gua ikutin aja tuh dokter ya, kalau bukan ruangannya berarti gua ga hoki. Bodo amat dengan orang orang yang bergidik ngeri karena Davin berbicara sendiri.

Davin memasuki ruangan tanpa mengetuk pintu.

"Lain kali ketuk pintu, dasar anak muda," ucap Daffa.

"Bener ruang Vanna kan dok?" ucapnya tanpa menghiraukan teguran dari Dokter Daffa.

Daffa tidak menjawab, dan kembali memeriksa keadaan Vanna.

"Aduh sayang kamu kenapa kayak gini lagi si," ucap Davin yang menghampiri Vanna yang masih terbujur lemah di atas ranjang.

Vanna hanya melihat Davin datar.

Dasar orang gila. Batin Vanna.

Tiba-tiba pintu pun terbuka, menampilkan sosok gadis cantik cerminan dari seseorang yang terbukur lemah dengan es tehnya di tangan.

"Hah?KAK DAVIN?" Ucapnya.

"Ngapain kak?"

"Katanyaa mau berobat hati,"

Davin tak bisa berucap lagi.

"Mau nengok Vanna, An,"

Anna hanya membulatkan mulutnya, lalu duduk di sofa, sambil melihat dokter Daffa yang memeriksa sang kaka.

"Anna, dokter tinggal dulu ya,"

Anna hanya mengangguk pelan, moodnya berubah 180° setelah ia tau Davin ke rumah sakit untuk menengok kaka kembarannya, sakit, pasti.

kita  sama sama berjuang namun sayangnya aku berjuang untukmu, kau berjuang untuk kaka kembarku sendiri, batin Anna.

Seharusnya hanya ada aku,
Seharusnya  ia berjuang untuku,
Seharusnya ia menyayanyiku
Seharusnya kata seharusnya itu tak pernah tercipta
Dan seharusnya aku tak pernah menggunakan kata "seharusnya" dalam memperjuangkanmu.

Anna tersenyum tipis melihat pemandangan di hadapannya, bukan pemandangan mesra dari sepasang kekasih, namun pemandangan perjuangan dari seorang laki laki yang ia sayangi begitu cepat, ke perempuan yang tak lain dan tak bukan adalah saudaranya kembarnya sendiri.

"Ngapain disini?" Ucap Vanna lemah.

"Jenguk kamu,"

"Saya ga perlu dijenguk kamu,"

"Pergi,"

"Tapi kan..."

"Saya mohon,"

Davin tersenyum hangat kepada Vanna, lalu mengangguk, baginya melihat Vanna saja sudah menyenangkan.

"Saya pergi ya, cepat sembuh,"

Davin meninggalkan ruangan dengan hati yang kecewa, niat untuk menjenguk dan menghibur pujaan hatinya tidak diterima baik oleh sang pujaan hati.

"Ga kamu samperin?" tanya Vanna yang masih parau kepada adiknya yang menjadi penonton.

Anna menggeleng.

"Kak? Buka hati," ucap Anna lalu meninggalkan Vanna.

Maaf Anna, kaka ga mau kamu terus sakit hati karena kaka, kamu ga bisa ngerasain kasiah sayang seorang mamah karena kaka, kaka ga mau kamu ga bisa juga ngerasain kasih sayang orang yang kamu sayang karena kaka, karena dia lebih memilih kaka. Di panti asuhan kaka banyak belajar an, bahkan walaupun hanya sedikit kaka bisa merasakan kehadiram sosok mamah dalam hidup kaka, kaka ga nyesel tinggal di panti asuhan, daripada harus tinggal bersama nenek, batin Vanna.

***

Sudah 2 hari Vanna berada di rumah sakit ini, bosan pasti, tapi mau gimana lagi, Daffa sebagai dokter yang merawatnya belum mengizinkan Vanna untuk kembali ke rumah dan di dirawat di rumah saja.

"Selamat sore Van," sapa Daffa yang masuk ke ruangan Vanna dengan membawa alat kedokterannya.

"Dok saya udah gapapa,"

"Biar saya yang rawat hingga kamu bener bener pulih,"

"Tapi kan dok,"

"Saya ga nerima penolakan,"

Vanna menghela napasnya kasar, Vanna ga pernah suka di rumah sakit, waktu pertama kali dirawat saja Vanna melarikan diri, dan membuat panik Ibu panti yang saat itu menjaga Vanna.

"Mau lanjut cerita hidup saya?" ucap Daffa yang membuyarkan lamunan gadis manis bermuka datar. Vanna hanya mengangguk.

"Setelah ibu meninggal, telat di hari kelulusan itu saya mendapatkan beasiswa ke salah satu SMA favorit dan unggulan di daerah saya, saya sempat menolak karena pada waktu itu saya benar benar frustasi, patah, gagal, dan kalah, jika ibu tidak meninggalkan saya dan adik adik saya selamanya, saya tak akan pusing pusing dengan beasiswa itu, pasti saya ambil tanpa memikirkan kembali,"

Vanna melihat Daffa yang sudah dengan ekspresi menyedihkan.

"Kalau saya lanjut sekolah, siapa yang membiayai sekolah adik adik saya, akhirnya saya memutuskan untuk mengambil beasiswa saya, saya sekolah sambil bekerja, kadang saya membuat kue, kadang saya bekerja di warung makan atau toko sembako, cita cita saya adalah dokter dari dulu, walaupun untuk mewujudkannya benar benar diambang keraguan, karena saya adalah orang yang tidak mampu,"

Terlihat jelas ekspresi Daffa saat ini.

"Tapi ada salah satu guru yang benar benar membangkitkan semangat dalam mencapai cita cita saya, katanya begini "Yang tidak mampu itu adalah biaya kamu, tapi otak kamu sangat mampu, percayalah dengan otak kamu yang mampu biaya tak jadi masalah," dari situ saya kembali bersemangat, adik adik saya pun juga semangat sekolah, hingga saya lulus SMA dengan nilai yang sempurna, dan mendapat surat kabar jika saya diterima di Oxford di fakultas kedokteran, saya langsung sujud syukur dan mendatangi makam kedua orang tua saya,"

Vanna benar benar tertegun mendengarnya, tertegun hebat dengan pria di sampingnya ini yang lagi bercerita perjalanan hidupnya.

"Saya menjalani itu semua tanpa kedua orang tua saya, bahkan sanak saudara pun tak membantu karena posisi saya dan keluarga sangat jauh, dan setelah saya melewati itu semua, saya benar benar merasa menang, tapi saya tak pernah meninggi karena setelah saya merasa meninggi saya tau saya akan kalah dengan kesombongan,"

Benar memang, saat kita berada diposisi yang sangat tinggi, kita memang tidak boleh merasa sombong sedikitpun karena itu akan membuat kita kalah.

"Ternyata hidup saya masih lebih beruntung dari dokter Daffa,"

Daffa meraih jari jari Vanna.

"Jari jari yang indah ini, tak seharusnya menjadi senjata untuk kamu melukai diri,"

"Vanna ga tau dok, itu semua di luar kendali Vanna, ada selalu yang memasuki Vanna hingga saya mau melakukan itu lagi dan lagi, rasanya setelah melakukan itu Vanna benar benar ngerasa lega dok, Vanna ga mampu buat menyakiti orang lain, bahkan orang yang sering menyakiti Vanna,"

Vanna menangis tersedu.

Daffa yakin masalah Vanna juga begitu besar hingga Vanna benar benar merasa kalah pada dirinya.

Daffa mendekati Vanna perlahan, lalu menariknya ke dalam pelukannya, mengelus rambut indahnya, tak peduli pada cairan yang ada di hidungnya yang membasahi jas kerjanya.

"Nangis aja Van, jika itu lebih baik daripada harus melukai diri kamu,"
.
.
.

Bersambung.

Minal aidzin walfa'izin yaa🙏🙏
Like&comment❤

Terima kasih sudah membaca cerita abal abal ini❤❤❤❤

Twin But DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang