Bagian 17

198 11 2
                                    

Anna mendudukan dirinya di bangku taman rumah sakit, mungkin baginya kedatangan Vanna dihidupnya sangat membuat ia keberatan, dirinya dan papahnya dibuat repot karena Vanna yang bolak balik masuk rumah sakit, dan yang lebih membuat Anna kesal, laki laki yang Anna suka, telah menyukai Vanna, jika ingin egois Anna ingin berbicara kepada papahnya untuk mengembalikan Vanna ke neneknya saja, biarlah Vanna dirawat oleh neneknya, namun ia tak sejahat dan tak seegois itu, Vanna adalah kakaknya, anak dari papah dan mamahnya yang telah tiada. 

"Andai saja, waktu pas ngelahirin aku, mamah milih untuk tidak melahirkan kak Vanna, pasti saat ini mamah masih berada bersama aku sama papah, dan kak Davin gak akan suka sama kak Vanna," ucapnya diakhiri helaan nafas kasar.

gaada yang lebih sakit dari menyukai orang yang sedang menyukai saudara kembar sendiri.

Anna masih bergeming dalam pikirannya sendiri, tidak menghiraukan ia sedang berada dimana, ia masih terlalu asik berperang denga pikirannya sendiri, hingga tidak menyadari bahwa ada yang menghampirinya. 

"Anna..."

"An..."

seseorang yang menghampirinya terpaksa harus menepuk pundak Anna. 

"iya?" jawabnya yang membuyarkan lamunannya.

"Kakak kamu nyariin kamu, kamu malah disini," ucap seorang pria yang mengenakan jas kedokterannya, siapa lagi kalau bukan orang yang merawat Vanna, tak lain dan tak bukan orang itu adalah Daffa. 

"Hehehe, maaf dok, Anna mau nenangin diri dulu tadi," ucapnya sambil memamerkan gigi rapihnya. 

"Saya tebak, gara gara Davin jenguk Vanna?" 

"Dokter bisa sok tau juga ya?"

"Loh emang bener kan?"

"Saya kangen mamah dok, makanya mau sendiri dulu,"

"Tapi saya gak yakin kalau kamu termasuk orang yang menyalahkan Vanna atas meninggalnya ibu kalian,"

Anna bungkam atas hal yang baru saja diucapkan oleh Dokter Daffa, tak tau harus menjawab apa, disatu sisi Anna menyalahkan Vanna atas meninggalnya ibu mereka, namun disisi lain ia mempercayai takdir yang telah digariskan oleh yang Kuasa, terhadap ibu mereka. 

"Kamu harus lebih mempercayai takdir An, ini semua bukan salah Vanna, kalau boleh ia memilih, ia juga ingin bersama ibunya, merasakan kasih sayang seorang ibu juga. Kamu juga gak pernah tau kan? apa yang selama ini terjadi sama Vanna, sampai ia bisa sedepresi itu sama hidupnya," 

'drett...dret...dret'

Ponsel Daffa berbunyi dan mengharuskan ia untuk kembali ke rumah sakit, dan meninggalkan Anna dengan semua pikirannya di taman rumah sakit.  

"Setelah berperang sama pikiranmu, segerelah masuk dan menemui kakakmu kembali," 

Anna hanya mengangguk menjawab ucapan Dokter Daffa. 

Anna memikirkan omongan Dokter Daffa, benar Anna dan Papah tidak pernah tau, apa yang telah terjadi selama ini kepada Vanna hinga Vanna mengalami depresi yang sangat berat. 

Anna frustasi dengan semua hal yang didalam otaknya. 

"Ah udahlah biar waktu yang menjawab, dan takdir yang menentukan,"

Anna memutuskan untuk kembali ke kamar rawat Vanna, disana sudah ada papahnya ternyata yang sedang membaca koran. 

"Darimana dek?" tanya Kevin. 

"Taman rumah sakit pah,"

"Kamu belum makan kan? makan dulu gih, tadi papah bawain makanan dari rumah, sengaja Papah bawain," ucap Kevin dengan mata yang tidak beralih dari koran. 

Twin But DifferentTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang