Solo-Ve-2

813 78 11
                                    

Sepertinya tidak perlu dipastikan lagi, jika tipe wanita idaman setiap laki-laki adalah cantik.

"Enggak malu-maluin kalau diajak ke kondangan."

Begitu sih ... ujar mereka.

Pun Aufa. Dia bukan laki-laki sakti yang tidak peduli pada kemasan selama hati wanitanya baik. Omong kosong, dia sama saja.

Namun, ada satu yang membedakan Aufa dengan yang lain.

Aufa adalah lelaki pasif tanpa inisiatif.

Selama 28 tahun hidupnya, tidak sekali pun Aufa pernah menyatakan cinta lebih dulu.

Menurut Aufa tidak ada yang tahu pasti tentang perasaan seseorang, dan dia tidak mau bertaruh, kemudian berakhir dengan kekecewaan.

Sulit bagi Aufa untuk menyatakan perasaannya lebih dulu. Tidak peduli seberapa dalam rasa suka itu, Aufa hanya akan diam dalam tenangnya.

Karena Aufa terlalu takut untuk kecewa.

Sebut Aufa pengecut, pecundang, dan celaan lain yang semakna. Dia tidak akan peduli.

Karena itu, Aufa merasa sangat beruntung saat Dinda mendekat kemudian mengutarakan maksudnya dengan begitu gamblang.

Aufa suka.

Dinda cantik.

Dinda cewek supel, periang, dan ekspresif, yang selalu dengan mudah menunjukan isi hatinya. Bagi Aufa, Dinda lebih dari cukup untuk melengkapi hidupnya.

Ima dan Agus--kedua orang tua Aufa--sepakat dengannya. Asal Aufa suka, mereka juga pasti cocok.

Namun, masalah mulai muncul setelah tiga tahun lamanya Aufa dan Dinda merangkai hubungan. Ternyata bukan Farida saja yang menuntut kepastian, Ima dan Agus pun mendambanya.

Ima kurang suka melihat Aufa yang terlalu sering membonceng Dinda padahal mereka belum ada ikatan. Makin lama pacaran, makin banyak dosanya, begitu kata Ima.

Jadi, setiap kali ada kesempatan, Ima akan mengingatkan Aufa untuk lebih tegas dalam mengarahkan hubungannya dengan Dinda.

"Nanti kalau Mbak Dinda-nya malah kabur gimana, Buk? Kesannya kok kayak maksa?"

Begitu Aufa menjawab argumen panjang Ima. Jujur dan apa adanya. Aufa memang takut hal demikian terjadi pada hubungan mereka. Dia tidak mau terkesan memburu-buru Dinda untuk segera menikah dengannya. Untung-untung kalau Dinda setuju, kalau Dinda merasa terpaksa bisa-bisa hubungan mereka berakhir buntung.

Dan Aufa, tidak punya niatan untuk menunggu wanita lain menyatakan perasaan padanya. Membuang-buang waktu.

"Tegas itu enggak selalu keras, Fa! Sebelum ngomong, ya ... disusun dulu kalimatnya! Biar kesannya enggak kaya maksa!"

"Iya ... iya, Buk."

"Makanya, jadi laki-laki itu yang tegas! Jangan nurut aja sama perempuan."

"Terimalah anak Ibuk apa adanya, biar bisa lebih bersyukur, Buk! Coba Ibuk dikasih anak macam playboy, baru buka mulut udah bisa hamilin anak gadis orang. Gimana coba?"

"Astaghfirulloh ...."

Usaha-usaha Ima dan Agus untuk mengingatkan Aufa selalu berakhir dengan candaan. Ima gemas sendiri jadinya.

Niat mereka baik, dan Aufa tahu itu.

Masalahnya adalah ... tidak mudah bagi Aufa untuk sekadar melontarkan kalimat manis seperti ....

"Mbak, nikah yuk?"

Atau yang lebih kekinian, semisal ....

"Will you marry me?"

Aufa yakin, dia tidak akan sanggup.

***

Sama seperti kali ini, dan momen lain ketika Aufa berdua dengan Dinda. Saat itulah, dengan penuh harap, Aufa menunggu Dinda untuk menyinggung tentang pernikahan terlebih dulu.

Hanya menunggu, mengarahkan obrolan mereka ke sana pun Aufa tidak mampu. Lebih aman menunggu katanya.

Aufa tidak tahu saja, jika ternyata Dinda juga memikirkan hal yang sama.

Sedikit saja Aufa memainkan peran dan menggulir obrolan mereka ke arah yg lebih serius, sudah bisa dipastikan jika Dinda akan dengan senang hati menumpahkan semua maksud yang masih dia simpan.

Dan mereka akan berakhir di pelaminan secepatnya.

Sayangnya siang itu, Aufa tidak melakukannya. Dia lebih memilih diam, tersenyum sesekali, sambil mendengarkan Dinda bercerita tentang anak muridnya yang unik-unik.

Hingga kebersamaan mereka siang itu harus terenggut masa. Aufa mengantar Dinda sampai di depan pintu pagar rumahnya. Dia menerima uluran helm yang tadi Dinda kenakan, sambil tersenyum lembut bertanya, "Besok Mbak Dinda libur kan? Mau jalan, apa mau di rumah aja?"

Dinda terlihat berpikir sejenak. Di dalam tas punggungnya sekarang ada setumpuk lembar jawaban siswa yang harus dia koreksi, belum lagi olahan nilai bahasa jawa dari tiga bulan yang lalu. Sebenarnya Dinda inginnya jalan-jalan, tapi dia tidak boleh lepas tanggung jawab.

"Mbak mikirnya lama, harus bikin nilai ya?"

"Lho kok, Mas tahu?"

Aufa tersenyum kecil, kemudian mengusap kepala Dinda yang tertutup rapat oleh kerudung coklat. Sudah hampir tiga tahun lamanya mereka bersama, bukan perkara besar bagi Aufa untuk membaca gelagat Dinda.

"Mbak ngerjain nilai aja dulu, mainnya kapan-kapan lagi."

"Trus, Mas besok mau ngapain kalo enggak sama Mbak?"

"Tidur," jawab Aufa ringan, tawanya mengundang gerutuan kecil dari Dinda yang mengeluh tentang banyaknya koreksian yang harus dia kerjakan.

"Mas Aufa ... mampir dulu sini! Ada yang mau Ibuk omongin."

Hingga panggilan Farida terdengar oleh keduanya. Tawa Aufa reda, gerutuan Dinda terpaksa dia akhiri. Berganti dengan  debaran jantung yang sulit mereka kendalikan.

Kira-kira apa yang ingin Farida utarakan?

07.06.19
Habi🐘

Pesan Ayah Untuk Mbak Dinda

"Cari yang lehernya panjang, Mbak."

"Yang gimana, Yah?"

"Kalau pakai helm masih kelihatan leher belakangnya, kan ada tuh kalo pake helm jadi kaya gak punya leher."

"Owh iya iya ... Dinda tahu. Kalo cowo yang lehernya panjang, baik ya Yah?"

"Panjang pikir, Mbak. Enggak grusah-grusuh."

"Siap, Yah. Dinda ingat-ingat."










SOLO-VE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang