SoLo-ve 18

536 79 24
                                    

Senin siang panas luar biasa. Lebih dari dua bulan lamanya Solo tidak diguyur hujan. Debu di mana-mana, diterbangkan angin dari atas lembaran daun-daun sawo manila. Sementara Shindu berteduh di bawahnya. Bergerak gelisah, sesekali bersin padahal sudah menggunakan masker rangkap.

"Mas, nunggu di mobil aja."

"Nanti Mbak Dindanya enggak bisa lihat Shin, Pak Joko."

Itu ketiga kalinya Joko meminta Shindu untuk menunggu Dinda di dalam mobil. Shindu saja yang keras kepala. Nekad menunggu Dinda di bawah pohon sawo manila yang ditanam berbaris rapi di halaman SMP Al Hikmah, di mana Dinda mengajar.

Hari ini Dinda janji akan menemani Shindu mencari kado untuk ulang tahun Pandu dua minggu lagi. Setelah malam itu, Shindu selalu mencari-cari alasan untuk bisa bertemu dengan Dinda. Sementara Aufa, perlahan Shindu lupakan.

Setelah menimbang banyak alasan untuk bisa mengajak Dinda jalan-jalan, akhirnya Shindu putuskan meminta Dinda menemaninya mencari kado ulang tahun Pandu. Dan Shindu beruntung, karena Dinda langsung mengiyakan ajakannya.

Shindu senang bukan kepalang.

Saking semangatnya, selepas pulang sekolah, Shindu langsung menjemput Dinda. Pulang sebentar untuk mengganti baju saja, Shindu tidak mau. Padahal sebelumnya Dinda sudah bilang bahwa dia akan terlambat pulang, karena harus menghadiri rapat akhir bulan terlebih dahulu.

Shindu benar-benar sudah terjebak dalam permainan kerinduan.

Setelah menunggu hampir lima belas menit lamanya, akhirnya Shindu bisa melihat Dinda yang berjalan tergesa meninggalkan teman-temannya di area parkir guru.

"Lama ya nunggunya?"

Dari balik maskernya, Shindu tersenyum. Kemudian menggeleng. Melepas sunglasses untuk digantung di saku kemeja seragam.

"Mbak tadi kan minta kamu pulang dulu buat ganti seragam, kok belum ganti Shin?"

Mereka berdua meninggalkan halaman SMP Al Hikmah. Shindu yang berjalan di depan Dinda berhenti, dia berbalik, kemudian dengan tongkatnya meminta Dinda untuk berdiri di samping kirinya.

Dinda menurut. Lamat-lamat dia memerhatikan kruk lengan Shindu, warnanya berbeda dengan yang kemarin Dinda lihat. Yang ini kelihatan lebih kuat, dengan warna biru laut kombinasi silver yang mengkilat.

"Nanti sekalian beli baju ganti, Mbak."

Sabar Dinda ....

***

Karena selama perjalanan, Shindu masih belum tahu apa yang akan dia beli untuk Pandu, jadi Dinda mengajaknya ke Solo Paragon. Lengkap dalam satu atap.

Pikir Dinda, di sana nanti Shindu bisa mencari sambil menimbang barang apa yang cocok untuk dijadikan kado bagi Pandu.

"Masih bingung mau beli apa?"

"Kalau sepatu gimana, Mbak?"

"Mas Pandu udah mau lulus kan? Kamu bisa beliin sepatu formal, Shin."

"Kita ke sport station aja dulu, Mbak. Siapa tahu ada yang bagus."

Dinda mengangguk saja, melihat Shindu, dia jadi teringat Aufa. Lain Aufa yang hanya akan menuruti semua saran Dinda, Shindu tahu apa yang benar-benar dia inginkan. Dia hanya akan menerima saran yang sesuai dengannya, dan tanpa segan menolak saran yang lain.

Termasuk saran dari Dinda.

"Kamu tadi siang udah makan belum, Shin? Mbak udah makan tapi kok lapar lagi ya, Shin?"

Shindu tersenyum kecil. Dinda ternyata lebih lucu dari yang Shindu imajikan.

"Makan dulu yuk, Mbak. Shin juga lapar."

Dinda berseru senang, mereka berjalan menuju food factory. Padahal Shindu ingin makan sesuatu yang manis di Baskin&Robbins.

"Makan apa, Mbak, di sini?"

"Ayam geprek aja, Shin."

Shindu baru pertama kali dengar. Teman-temannya belum pernah mengajaknya makan ayam geprek. Membayangkan bentuk dan rasanya saja Shindu kewalahan.

Hingga Dinda mengajaknya duduk tepat di depan tenant dengan nama Ayam Geprek Keprabon. Shindu bisa melihat gambar menunya, tapi saat Dinda menanyakan apa yang ingin Shindu makan, dia masih bingung. Mana yang bisa dia makan, mana yang sesuai dengan lidahnya, Shindu tidak tahu.

"Samain Mbak Dinda aja deh."

"Oke."

Tidak lama Dinda kembali. Sambil menunggu makan siang mereka datang, banyak yang bisa diobrolkan. Mulai dari pelajaran basa jawa Shindu, murid-murid Dinda di SMP, sepatu yang Shindu ingin beli untuk Pandu, dan banyak topik lain yang selalu bisa membuat Shindu tersenyum bahagia di hadapan Dinda.

"Permisi, Mbak. Silakan, PHK 3 dua nggeh, Mbak?"

"Nggeh, Bu. Matur suwun."

Shindu perhatikan setiap patah kata dan tindak Dinda. Ternyata Dinda sangat ramah, dia juga sopan, Shindu suka.

"Matur suwun Mbak Dinda. Kulo mimik nggeh."

"Ih pinter."

Mendengar Shindu berbasa jawa, Dinda tersenyum senang, seperti malam itu sambil memuji Shindu, tangan kanannya terulur mengusap kepala Shindu dengan lembut.

Shindu menyukai sentuhan tangan Dinda di rambutnya. Hingga Shindu dengar suara seorang perempuan memanggil nama Dinda.

"Dinda!!"

Perempuan itu seumuran Dinda. Kurus, sedikit lebih tinggi dari Dinda, dan berkerudung. Di belakangnya ada seorang laki-laki yang menggendong anak perempuan berbaju merah muda. Sepertinya, suami dan anaknya.

"Zani?"

"Kamu kemana aja?"

Shindu tidak beranjak dari tempatnya duduk. Sabar menanti dua sahabat yang tengah meluruhkan rindu satu sama lain.

Sampai ....

"Eh kamu sekarang sama brondong, Din? Yang PNS dulu kamu kemanain?"





28.08.19
Habi 🐘

A.n

Mbak-mbak yang tinggal di Wonosobo, boleh ikut meramaikan

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Mbak-mbak yang tinggal di Wonosobo, boleh ikut meramaikan. 😊👆

Karena, Fajar si hitam kusam dekil temannya Shindu yang suka makan itu, bakal jadi salah satu penabuh gamelan dari SMK 8 Surakarta 😍

Karena, Fajar si hitam kusam dekil temannya Shindu yang suka makan itu, bakal jadi salah satu penabuh gamelan dari SMK 8 Surakarta 😍

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Dapat salam dari Fajar, calon dalang besar masa depan. 😍

"Budaya adalah kisah tanpa akhir ...."



SOLO-VE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang