SoLo-ve 22

570 104 36
                                    

Pandu sampai rumah sekitar tengah malam. Dengan kunci cadangan, dia membuka pintu utama perlahan. Takut Shindu atau Siti terbangun oleh keributan yang dia timbulkan.

Ini adalah kepulangan Pandu yang pertama sejak keberangkatannya ke Banyuwangi sebulan yang lalu. Besok Sabtu, dan Minggu adalah hari lahirnya.

Shindu sudah berulang kali mengingatkan Pandu untuk pulang sebelum hari Minggu, namun Pandu selalu mengalihkan topik, enggan berjanji karena takut tidak bisa menepati. Cukup sekali, Pandu tidak bisa lagi menjanjikan hal lain pada Shindu. Karena Pandu tahu betul setiap reaksi anak itu saat ada orang yang tidak menepati janjinya.

Malapetaka!

Bukannya tidak ingin pulang. Bukannya Pandu tidak rindu. Namun banyak yang harus Pandu kerjakan selama KKN. Di sela-sela kesibukannya Pandu benar-benar berusaha untuk meluangkan waktu demi bisa pulang Solo dan bertemu keluarga.

Dan setelah perjuangan panjang, lembur ini, itu. Akhirnya, akhir minggu ini, Pandu berhasil memenuhi permintaan Shindu.

Begitu menginjakan kakinya di rumah, kamar yang pertama kali Pandu tuju adalah milik Shindu. Tapi Shindu tidak ada di dalamnya.

Keluar dari kamar Shindu, sayup-sayup Pandu dengar suara dari ruang keluarga. Lampu di sana masih menyala terang. Makin dekat, Pandu bisa mendengar suara Shindu. Anak itu bergumam dengan bahasa mandarin yang Pandu tidak tahu artinya. Dia duduk bersila di depan layar televisi dengan menggenggam arcade stick di kedua tangannya.

Hampir tengah malam, bukannya tidur, Shindu malah bermain PS4. Tangan kirinya saja masih tertancap infus, apa-apaan anak itu!

"Tahu begini, Mas enggak pulang."

Shindu kaget, jari-jari panjang yang semula lincah memainkan arcade stick-nya membeku. Ada Pandu di hadapannya, memergokinya.

"Mas Pandu? Shindu kangennn .... "

Pandu bungkam, abai pada sapaan Shindu yang terkesan ingin mengalihkan permasalahan. Dia memilih mengambil langkah lebar menuju kamarnya. Padahal Shindu, dengan langkah tertatih mengekor.  Menggunakan tiang infus sebagai tumpuan, hingga tanpa sadar ada darah yang naik melalui selangnya.

"Mas!" panggil Shindu, tepat saat pintu kamar Pandu tertutup rapat.

Pandu marah dan Shindu tahu apa kesalahannya. Tapi mau bagaimana lagi? Sejak melihat mata besar Dinda yang berkaca-kaca sore tadi, Shindu tidak bisa tidur. Karena setiap kali matanya terpejam, muncul wajah Dinda yang memerah, dan sorot mata yang dipenuhi rasa bersalah.

Shindu benar-benar tidak ingin melihatnya.

Tidak ada Shintia yang bisa Shindu ajak mengobrol. Mommy-nya itu pergi ke Jakarta untuk urusan bisnis sejak pagi, mungkin baru akan pulang dua sampai tiga hari kemudian.

Namun, melampiaskannya dengan bermain PS4 sampai larut malam juga bukan pilihan yang bijak. Awalnya Shindu berharap setelah lelah bermain dia akan lebih mudah terlelap.

Sialnya Shindu. Usahanya malah berakhir dengan kemarahan Pandu.

"Mas, Shindu masuk ya?" Shindu mengetuk, kemudian membuka pintu kamar Pandu. Dia masuk perlahan, kemudian duduk di tepi ranjang. Sementara kakaknya itu masih mengeluarkan isi tasnya. Sibuk memilah baju kotor, keluar-masuk kamar mandi, entah untuk apa, tanpa sekali pun mengacuhkan Shindu.

"Shin minta maaf, Mas."

Pandu berhenti, dia berdiri sedikit jauh dari Shindu, dengan mata tajamnya yang langsung mengarah pada adiknya itu.

"Kamu gak ada salah sama Mas. Kamu salah sama tubuh kamu sendiri, Shin!"

Celaka. Pandu benar-benar marah kali ini. Dari setiap kata dan intonasi datarnya, Shindu tahu.

"Shin tadi ...."

"Mas capek, Shin. Pengen cepet tidur, besok pagi mas balik Banyuwangi."

Pandu mendahului Shindu yang ingin menjelaskan alasan di balik tingkahnya malam ini. Ujaran setengah mengancam dari Pandu tanpa sadar membawa efek buruk yang tidak terduga bagi Shindu.

Shindu selalu lemah dengan kondisi ditinggalkan. Apa pun alasannya. Sulit bagi Shindu untuķ menerimanya.

Anak itu bungkam. Nampak bingung dengan situasinya sekarang. Matanya berkedip linglung. Kakinya bergerak sendiri, tertatih meninggalkan kamar Pandu tanpa sepatah kata pun.

Alih-alih ke kamarnya, Shindu memilih kembali bersila di depan televisi. Layarnya masih menampilkan permainan Teken dalam keadaan terjeda.

Shindu bingung. Otaknya bekerja keras mencari alasan kenapa Pandu ingin meninggalkannya lagi. Bahkan kenyataan bahwa Pandu tengah menempuh KKN-nya, tidak mudah diterima oleh Shindu.

Dengan tatapan kosong, Pandu melihat pada dadanya, meraba keloid operasinya dulu.

"Ah ... Shin sakit," gumamnya.

Sekon kemudian, pandangan kosong Shindu beralih pada kaki kirinya.

"Cacat juga."

Dan saat Shindu menemukan jarum infus yang tertancap pada punggung tangannya. Shindu menarik kateter infusnya perlahan, tanpa melepas terlebih dulu balutan infus dan plesternya. Akibatnya darah mulai merembas keluar, namun Shindu bergeming. Mengernyit kesakitan pun tidak. Sorot matanya masih kosong, dengan setetes air mata yang jatuh kemudian.

"Pantas, Mas Pandu mau ninggalin Shin."



14.09.19
Habi 🐘

A.n
Hati saya sakit ngetik bagian ini



SOLO-VE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang