SoLo-ve-14

584 86 25
                                    

Sejak Shindu mulai mengerjakan lembar evaluasinya, Dinda tidak sekali pun diberi kesempatan untuk bertanya mengenai apa yang terjadi pada anak itu hingga lengan kirinya terluka.

Selain sibuk dengan berpuluh-puluh soal, Shindu selalu menyempatkan diri untuk bertanya satu dua kata yang dia tidak tahu artinya dalam bahasa indonesia, kemudian mencatatnya di halaman terakhir buku tulis begitu Dinda memberi jawaban.

Mana sempat Dinda bertanya ini itu di luar materi belajar mereka sore itu?

Ehm ... dalam diamnya Dinda jadi ingat kembali bagaimana tadi dia hampir menangis gara-gara melihat Shindu yang terluka.

Bukan hanya pada Shindu, Dinda sepertinya juga akan menangis tersedu jika melihat kucing yang tertabrak sepeda motor di jalan. Jadi, menurut Dinda, respon spontannya tadi tidak berlebihan.

Tidak seperti apa yang ibunya pernah bilang, Dinda ternyata memiliki hati yang lembut, bukan hanya marah-marah saja bisanya.

Tetapi, yang sempat bikin Dinda kaget adalah ujaran santai Shindu padanya. Shindu yang dulu, waktu pertama kali Dinda jumpai, adalah Sindu yang terlalu sopan cenderung kaku, kenapa sore ini tiba-tiba berubah?

Atau mungkin, memang seperti itu sifat asli Shindu. Dinda hanya belum mengenal anak itu lebih dalam saja.

Dinda kembali tersenyum, mengingat lagi saat Shindu menyebutnya cantik. Anak kecil seperti Shindu ternyata telah berhasil membuat pipi putih Dinda merona.

"Shin," panggil Dinda, terlalu pelan.

"Hmm?" Shindu menjawabnya hanya dengan dengungan bernada tanya. Sementara mata dan sebagian besar kosentrasinya masih tertuju pada bukunya.

Dinda sengaja tidak melanjutkan panggilannya, karena sepertinya percuma mengambil alih kosentrasi Shindu dari pelajarannya. Persis seperti Aufa yang tidak bisa teralihkan oleh apapun saat dirinya sedang sibuk dengan puluhan pasang burung kenarinya. Termasuk oleh Dinda sekalipun.

Semua laki-laki memang sama.

Namun ...,

"Iya? Kenapa, Mbak Dinda?"

Dinda salah. Shindu tidak seperti Aufa.

Lihat saja, Shindu yang tidak kunjung mendengar Dinda melanjutkan pertanyaan memilih untuk menghentikan aktivitasnya, kemudian mengalihkan kosentrasinya pada Dinda. Memandang tepat ke mata Dinda yang duduk di depannya dengan tatapan penuh tanya.

Dan Dinda suka, dengan bagaimana cara Shindu tetap menanggapi setiap celetukan Dinda. Bahkan saat Shindu disibukan oleh pelajarannya.

"Bukan apa-apa, cuma tadi kamu belum sempat cerita soal ini."

Dinda menunduk, menjauhkan pandangannya dari tatap Shindu yang menggemaskan. Selanjutnya bertanya sambil menunjuk pada lengan kirinya yang terluka.

"Owh ini, jatuh biasa, Mbak."

"Jatuh biasa, tapi sampai nginep di rumah sakit."

"Kalau itu sih, Mommy yang suka lebay, Mbak."

Shindu tergelak, mengikuti Dinda yang tersenyum lepas, sebab mendengar lelucon Shindu yang biasa saja tapi dengan logat aneh.

Anak itu kembali sibuk dengan lembar soalnya, sambil bercerita tentang apa yang terjadi padanya kemarin, hanya karena Dinda sepertinya ingin tahu ihwal tersebut.

"Kemarin Shin hampir ketabrak motor, Mbak. Belum ketabrak, eh ... Shin udah jatuh duluan."

"Lhoh kok bisa? Kaget ya?"

Shindu mengangguk, mata kecilnya melengkung manis, tersenyum. Namun, mata kecil itu sempat menangkap bayang kaki kirinya yang tertutup selimut. Tepat saat Dinda mengikuti arah pandang Shindu.

SOLO-VE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang