SoLo-ve 20

552 68 12
                                    

Sinar rawi mulai merangkak masuk kamar Aufa, bersama dingin yang terbawa angin pagi itu. Aufa sudah terjaga, bisa jadi sejak subuh datang. Tubuh tingginya masih bergelung dalam selimut, sementara matanya yang awas itu hanya menatap pada layar ponsel.

Ada foto jemari manis Dinda di sana, berhias sebuah cincin emas dengan batu oval Australia yang cantik. Hanya foto itu yang harus Aufa unggah melalui status wa-nya, hingga masalah mereka berdua pun usai.

Mudah, sederhana.

Namun, dari semalam sampai pagi kembali datang Aufa belum memenuhi permintaan Dinda.

Aufa yakin dengan hatinya, tidak ada setitik saja rasa untuk Lina. Jadi, dia hanya perlu melakukannya demi Dinda, bukan?

Maka, sekon berikutnya, Aufa benar-benar mengunggah foto yang semalam Dinda kirim sebagai status WA nya. Hanya foto tanpa caption.

Sebelum-sebelumnya, Aufa tidak pernah memperbaharui status WA-nya selain untuk urusan pekerjaan.  Mungkin karena itu, dalam waktu singkat, Aufa menerima banyak respon dari teman-temannya, termasuk Lina.

Sengaja, Aufa abai pada setiap pesan yang masuk. Meninggalkannya begitu saja di atas nakas, kemudian Aufa pergi untuk bersiap. Mandi, sarapan, dan berangkat kerja sebelum jarum jam menyentuh angka tujuh.

Hari ini Aufa ada kelas di jam pertama. Aufa tidak boleh terlambat, dia harus sudah berada di lapangan sebelum murid-muridnya. Prinsip yang Aufa pegang  kuat sejak negara memilihnya sebagai aparatur sipil.

Menjadi seorang ASN adalah sebuah amanah yang harus Aufa jaga.

Benar-benar suami idaman.

Tepat pukul tujuh saat Aufa tiba di lapangan basket outdoors. Lantai betonnya masih kotor, daun dari pohon waru yang tumbuh di sekeliling lapangan jatuh berguguran. Mungkin karena hujan yang telah lama tidak turun.

Tidak mungkin tak acuh, Aufa mengambil beberapa sapu dan keranjang sampah. Menyimpan di sebelah dia duduk hingga nanti muridnya datang dan Aufa bisa meminta mereka membersihkan lapangan sebagai ganti pemanasan.

Selama menunggu, Aufa membuka ponselnya. Ada dua belas pesan masuk via whatsapp. Pesan yang pertama Aufa buka adalah dari Dinda. Dinda hanya mengirimkan sebuah ikon emosi di status whatsapp Aufa, wajah tersenyum dengan kedua mata bentuk hati berwarna merah.

Aufa dibuat tersenyum karenanya. Melalui pesannya, ada isyarat perdamaian yang Dinda sampaikan. Itu artinya, calon istrinya itu tidak marah lagi, bukan?

QueenDin

😍

Aufa

Enggak marah lagi, kan, Mbak?

QueenDin

Jajanin bakso dulu

Aufa

Iyaaaa sayangkuuu ❤

Aufa lega, satu masalah terselesaikan. Dan masalah lain menunggu dijawab. Adalah pesan dari teman-teman Aufa yang lain. Sebagian besar bertanya penasaran,  sebagian lain mengucapkan selamat sekenanya.

Salah satunya dari Lina. Saat pertama kali membaca pesan dari Lina, senyum yang semula terukir lebar berkat Dinda menguap ke awang-awang. Aufa bingung harus menjawab apa.

Bu Lina

Mashaalloh, bagus banget Pak cincinnya? Mau beli buat siapa, Pak?😊

Baiklah, ini bukan seperti yang Aufa rencanakan. Aufa tidak boleh asal menjawab pesan Lina, salah sedikit saja bisa runyam.

Mungkin benar kata Dinda. Mungkin benar, Lina mengharapkan Aufa untuk dirinya. Jadi Aufa tidak boleh membiarkan Lina berharap terlalu lama.

Aufa hampir selesai mengetik balasan pesan untuk Lina, hingga muridnya datang berbondong, berbisik berisik satu sama lain. Pada barisan terdepan ada Hendra--si ketua kelas.

"Bapak enggak ikut ke rumah Bu Lina?" Pertanyaan pertama yang Hendra ajukan begitu jaraknya dengan Aufa tidak lagi seberapa.

Aufa tidak bisa menjawab, alis tebalnya saling bertaut, bingung. Tubuh tegap berkaus hitam yang semula bersandar pada kursi itu dia tegakan.

Untuk apa dia ke rumah Lina?

"Lho, Bapak belum tahu?"

"Ada apa?"

"Bapaknya Bu Lina meninggal barusan."

"Bu Linanya?"

"Ya langsung balik tadi, kayanya diantar Pak Ifan. Tadi Pak Ifan nanyain Pak Aufa juga sih."


08.09.19
Habi🐘


SOLO-VE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang