SoLo-ve 21

509 76 24
                                    

Dinda tidak memiliki jadwal mengajar pagi ini, jadi dia bisa berleha-leha di balik mejanya sambil menyiapkan materi bahan ajar untuk nanti siang.

Tidak banyak yang bisa Dinda kerjakan sebagai guru mapel. Nilai ulangan anak didiknya sudah Dinda olah sebelumnya. Pekerjaan administrasi lain juga sudah Dinda cicil setiap harinya. Karena itu, sekarang dia bisa menikmati waktu luang untuk sekadar berbalas pesan dengan Aufa.

Aufa benar-benar memperbaharui status whatsapp-nya dengan foto yang kemarin Dinda kirimkan. Walau tanpa keterangan apapun di bawahnya, Dinda cukup puas.

Paling tidak, sekarang, Lina tahu apa status yang Aufa sandang. Setidaknya, Lina mengerti kalau ternyata Aufa bukan lagi laki-laki bebas yang kapan saja bisa Lina dekati.

Aufa milik seseorang.

Aufa milik Dinda seorang.

Andai saja bisa, Dinda ingin sekali meneriakannya langsung di hadapan Lina. Menunjukan bahwa sebaiknya Lina segera mundur sebelum dicap sebagai perusak hubungan orang lain.

Terlalu lama berkutat dengan ponselnya, Dinda tidak sadar, jika jauh di depannya, di meja Pak Bambang ada dua rekan kerjanya yang memperhatikannya dengan senyum mengejek mereka.

Adalah Pak Bambang dan Bu Eni, yang sejak sepuluh menit lalu memperhatikan Dinda dengan segala polah tingkahnya saat bermain ponsel. Kadang cemberut, kemudian tersenyum, menit selanjutnya terkekeh-kekeh tertahan. Hmm ... Pak Bambang dan Bu Eni dibuat geleng-geleng karenanya.

"Bener ya, Pak, kalo hape tuh memang bisa bikin orang jadi gila!" oceh Bu Eni.

"Genah, Bu. Kuwi Bu Dinda korbane, hmm ... ayu-ayu kok gitu!"

***

Gelaran langit berganti warna saat Dinda memutuskan berkendara seorang diri ke rumah Shindu. Terakhir tadi pagi saat Aufa  masih membalas pesannya, dan hingga sekarang tidak ada lagi kabarnya. Rencana Dinda meminta tolong Aufa untuk mengantarkannya ke rumah Shindu pun urung.

Lagi-lagi seperti ini.

Baru kemarin Aufa bilang menyesal, berjanji tidak akan mengulangi, sekaligus meyakinkan Dinda bahwa dia akan selalu meluangkan waktu untuk memberi kabar serepot apa pun dirinya.

Dinda masih ingat setiap penggal kata yang Aufa ucapkan saat itu. Tetapi, Aufa sudah main ingkar saja.

Sebenarnya ada kejadian apa lagi sih sekarang?

Apa ada sangkut pautnya dengan Lina, lagi?

Dinda mulai sumpek. Jalan Adi Sucipto malam itu cenderung ramai, ditambah lagi pikirannya yang bercabang pada Aufa yang sekarang hilang entah di mana, sedang melakukan apa, dengan siapa. Dinda sama sekali tidak tahu.

Menggelikan sekali. Dia calon istri Aufa, tapi dia tidak tahu apa-apa.

Baru tadi pagi mereka memanggil satu sama lain penuh sayang. Sekarang, sudah seperti orang asing saja.

Hmm ... sabar Dinda!

Membuang napasnya kasar, Dinda sadar kalau telah melewatkan belokan ke arah rumah Shindu. Alhasil, Dinda harus memutar lebih jauh.

Kisaran lima menit kemudian, Dinda baru sampai di rumah Shindu. Jam mulai lesnya sudah lewat lima belas menit. Pasti sekarang Shindu sedang menggerutu kesal atas keterlambatannya.

Dinda bergegas masuk, mengucap salam, dan mendapati Siti yang sepertinya tengah bersiap untuk pulang.

"Lho, Mbak Dinda? Kata Sibu lesnya libur, nopo mboten dicaosi kabar Mas Shindu?"

Mata besar Dinda berkedip bingung. Dari balik lensa minusnya mata itu mengerjap sekali, kemudian coba memeriksa lagi pesan yang masuk ke ponselnya.

Tidak ada pesan dari Shindu, Shintia pun tidak. Jadi?

"Mboten niku, Bu Siti."

"Owalah, soale Mas Shindu nembe sakit, Mbak. Coba saya tanyakan dulu."

Siti berlalu, meninggalkan Dinda yang masih dirundung bingung. Mengingat-ingat kembali, sepertinya Shindu kemarin baik-baik saja, tidak ada tanda-tanda masuk angin.

"Mbak Dinda."

"Nggeh, Bu?"

"Ditunggu Mas Shindu di ruang belajar, Mbak."

Dinda mengangguk kaku. Ingin bertanya lebih lanjut pada Siti tapi tidak enak hati, istri dari Joko itu sudah disibukan oleh racikan teh dan cemilan untuk disajikan nanti.

Maka, Dinda memilih untuk melangkah ke ruang belajar. Berniat segera bertemu Shindu dan menanyakan langsung pada anak itu alasan kenapa dia tidak memberi Dinda kabar jika dirinya benar-benar sakit.

Tahu begitu kan Dinda bisa rebahan di rumah sambil mencatat siapa-siapa yang akan dia undang ke acara pernikahannya.

"Assalamu'alaikum, Shin."

Dinda mengucap salam, setelah mengetuk dua kali.

"Mbak Dinda, you are late."

Shindu duduk di kursi yang sama, seperti saat mereka terakhir les. Wajahnya memang sedikit pucat, bibir tipis yang biasanya lembab, kala itu kering pecah-pecah. Dan yang paling membuat Dinda kaget adalah tiang infus di sebelah kiri Shindu. Selangnya terhubung pada punggung tangan kiri Shindu yang kurus itu.

"Kamu sakit, Shin?"

Shindu tersenyum, tangan kanannya sibuk melipat lengan kemeja. Sambil berujar dengan suara serak.

"Dikit, Mbak."

Seperti sebelumnya, Dinda mengambil duduk tepat di hadapan Shindu. Mata tajamnya memperhatikan Shindu khawatir.

"Dikit gimana? Sampai diinfus gitu!"

Shindu lagi-lagi hanya tersenyum, mulai membuka lembar kerjanya, tapi Dinda merebutnya. Menutup lembar kerja itu dan menjauhkannya dari Shindu.

Tangan kiri Shindu yang terinfus memang ulah Pukas. Om tampannya yang satu itu hanya tidak ingin Shindu dehidrasi.

"Mbak?" Shindu protes.

"Jawab Mbak dulu!"

"Shin cuma salah makan, Mbak."

Shindu menunduk, dia tidak mau Dinda tahu penyebab sakitnya adalah ayam geprek yang dibelikan Dinda kemarin.

Jika Dinda tahu, pasti dia akan merasa bersalah. Padahal kan, Shindu juga salah, kenapa dia nekat memakannya kalau tahu akan berakhir seperti ini?

Tidak ada ceritanya, Shindu yang maniak makanan manis itu akan tahan dengan makanan pedas. Permen mint saja Shindu tidak suka. Apalagi ayam geprek cabai lima.

Kalau bukan karena Dinda yang membelikannya, Shindu bersumpah dia tidak akan menyentuhnya.

"Gara-gara makan ayam geprek kemarin ya?"

Shindu diam, memandang langsung ke arah Dinda saja dia sungkan. Alih-alih menjawab pertanyaan Dinda, Shindu lebih memilih  untuk meraih lembar kerjanya yang tadi sempat dijauhkan Dinda.

Tangan kiri Shindu terulur, sebelum Dinda bergerak cepat mengambil kembali lembar kerja itu, dan menjauhkannya.

"Tuh kan enggak mau jawab lagi!?"

Namun, nahas, Dinda tidak sengaja menyenggol tangan Shindu yang tertancap jarum infus. Hingga Shindu meringis kesakitan, dan semakin ngilu rasanya saat menyadari  kedua mata bening Dinda berair hampir menangis.

"Astaghfirulloh, Shin, maaf."



11.09.19
Habi 🐘

A.n

Mau nanya, tapi ...

Gak jadi deh 😯












SOLO-VE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang