Solo-Ve-9

599 85 29
                                    

Bibir tipis Shindu menggerutu tidak sabar. Pasalnya, Dinda sudah datang sedangkan Shindu masih berjarak sepuluh menit perjalanan.

Salahkan Pandu yang mengajak berhenti di Solo Bistro terlebih dulu. Selain untuk memaksa Shindu makan, Pandu ada sedikit perlu dengan Putri.

Perlu kangen sepertinya.

Hmm ....

Dampaknya, mereka baru sampai rumah pukul setengah delapan malam.

Tertatih masuk, Shindu merasa bersalah saat melihat Dinda duduk di sofa ruang tamu ditemani Siti. Berbincang canggung entah tentang apa, Shindu tidak mengerti.

"Eh Mbak Dinda sudah datang," sapa Pandu dari belakang Shindu. Lepas menyimpan mobil, Pandu segera menyusul Shindu, berniat membantu anak itu berjalan.

"Mas kok panggilnya Mbak? Bu Dinda kan Bu Guru, Mas." 

Shindu protes, tangan kanannya menolak bantuan Pandu.

"Bu Guru kamu, kan? Bukan Bu Gurunya Mas."

Shindu mendelik tidak suka. Kedua alisnya hampir menyatu, memandang tajam pada Pandu.

Pandu hampir mengutarakan maafnya. Bisa gawat, kalau anak itu kembali merajuk. Hingga suara Dinda menyela, menyelamatkan Pandu.

"Kamu juga boleh panggil mbak, Shin. Kita santai aja belajarnya."

"Tuh kan!"

Shindu mendengus sebal, dia berlalu meninggalkan Pandu, Dinda, dan Siti yang tersenyum kecil. Menikmati lucunya Shindu yang ambekan.

***

"Mbak Dinda, maaf, nanti kalau bisa ngobrol-ngobrol aja dulu sama Shindu. Seharian tadi belum istirahat dia. Belajarnya sedikit aja."

Masih lekat diingatan Dinda, pesan yang Pandu utarakan saat mereka menunggu Shindu selesai mandi.

Getar khawatir suara Pandu tertangkap jelas oleh Dinda. Pandu begitu berhati-hati dengan kalimatnya, ada sedikit segan, dan sebagian yang lain permintaan tolong.

Saat itu, Dinda hanya mengangguk setuju, tanpa tahu jika akhirnya dia akan kalah telak oleh paksaan Shindu.

Niat awal, Dinda akan melakukan persis seperti apa yang diminta Pandu. Lagipula, Dinda belum benar-benar kenal dengan Shindu. Bagaimana  fisik anak itu, sampai-sampai hanya untuk belajar barang satu dua jam saja, Dinda harus mendapatkan wanti-wanti khusus dari Pandu.

Namun, belum sempat Dinda mengutarakan niatnya, Shindu sudah lebih dulu memimpin kegiatan belajar mereka malam itu.

Selepas mandi anak itu keluar dengan tampilan yang lebih segar. Poni coklatnya masih basah, aroma shower gel favoritnya mendominasi. Shindu berjalan sedikit terburu dengan tumpukan buku basa jawa di tangan.

Dinda bahkan belum sempat menanyakan sejauh mana pemahaman Shindu tentang basa jawa. Basa basi singkat pun tidak. Shindu sudah mendahului dengan lembaran soal LKS-nya. Menawarkan diri untuk mengerjakan evaluasi per bab yang jumlah soalnya tidak sedikit. Sebagian besar pertanyaan bacaan, lainnya materi yang Dinda yakin anak itu belum mengerti.

"Shin coba ngerjain ini ya, Bu?" tanya Shindu penuh semangat.

"Panggil mbak aja, Shin! Yakin mau langsung ngerjain soal?"

Shindu mengangguk.

"Nanti kalo udah, Mbak bisa langsung koreksi. Shin cuma pingin tahu dulu sejauh mana hafalan Shin sama materinya, Mbak."

"Ok."

Tidak ada alasan yang bisa Dinda manfaatkan untuk menolak Shindu. Dia biarkan Shindu melakukan apa yang anak itu mau. Paling tidak sampai dia mengerti kalau basa jawa bukan seperti mata pelajaran lain yang bisa dia kuasai hanya dengan sekali dua kali membaca ringkasan materi.

Apalagi Shindu, yang kemampuan berbahasa jawanya tidak lebih bagus dari anak kelas satu sekolah dasar.

Dalam diam, Dinda mengamati tiap langkah yang Shindu terapkan untuk mengerjakan soal-soal itu. Tidak bisa diingkari, Shindu memang anak yang cerdas. Dia tahu memanfaatkan waktu, memilah soal yang sekiranya bisa dia kerjakan lebih dulu.

"Geguritan apa Shin? Kamu udah tahu?"

"Shin memang belum tahu bahasa indonesianya geguritan apa Mbak, tapi Shin ingat pernah baca di materi depan. Jadi Shin cuma harus ingat per katanya, trus kalo sudah masuk ke soal Shin tinggal cari tahu pertanyaannya aja Mbak."

Dinda tersenyum takjub, sambil manggut-manggut. Metode belajar Shindu unik, tapi cukup efektif. Dari tiga soal geguritan yang Shindu kerjakaan, ketiga-tiganya berhasil Shindu jawab dengan benar.

"Kali ini Shin cuma mengandalkan hafalan Mbak, Shin belum benar-benar paham. Yang penting nilai basa jawa Shin bisa naik dulu, nanti Mbak bantuin memahami materi ya," pinta Shindu, mata kecil yang semula tertuju penuh pada lembar kerjanya kini malu-malu menatap Dinda.

Dinda dibuat canggung. Dia mengangguk kaku, mata kecil Shindu yang tersenyum benar-benar bisa menyorotkan perasaan Shindu saat itu. Mata yang Dinda percaya telah melalui banyak peristiwa. Semangat juga kesedihan yang sulit Dinda terjemahkan.

Sebenarnya apa yang telah Shindu lalui sebelumnya?

Dinda ingin tahu.



24.07.19
Habi🐘

A.n
Kita kambing hitamkan saja rasa itu, rasa penasaran.


SOLO-VE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang