SoLo-ve-13

582 83 21
                                    

Hari ini Shintia pusing, dari pagi, Pandu tidak berhenti mencoba melakukan panggilan video. Padahal kan Shintia masih di kamar rawat Shindu. Anak itu semalam demam tinggi, dan sampai siang ini masih menyebalkan, dengan mengeluhkan banyak hal.

Niat Shintia baik, dia tidak ingin membuat Pandu cemas, dan berakhir dengan hilangnya kosentrasi pada KKN-nya. Karena Shintia tahu, Shindu itu mataharinya Pandu, pusat dari segala bentuk rasa yang Pandu miliki.

Bayangkan, jika Pandu tahu kalau saat ini, Shindu sedang dirawat di rumah sakit?

Pandu belum genap seminggu di Banyuwangi, lelahnya perjalanan dari Solo ke Banyuwangi juga pasti belum benar-benar hilang. Bisa-bisa, Pandu nekat pulang nanti.

"Assalamu'alaikum. Iya, sayang?"

"Walaikumsalam, Ibu di mana? Kok panggilan video Pandu nggak diangkat? Shindu juga, nggak bisa dihubungi dari kemarin."

"Ibu lagi di kantor, sayang. Masa sih nggak bisa dihubungi? Tadi pagi masih sarapan bareng Ibu kok, ah ... mungkin lagi sibuk bantuin Fajar."

Demi kebaikan Pandu, Shintia berbohong. Suaranya lebih lirih, saat coba membenarkan selimut Shindu yang berantakan ke mana-mana. Sementara separuh perhatian, Shintia tujukan untuk Pandu yang mulai bercerita banyak hal tentang Banyuwangi dan kegiatannya selama di sana.

Sesekali Shintia akan tertawa kecil, menjawab seperlunya pertanyaan Pandu, kemudian melanjutkan dengan pertanyaan lain, hingga ....

"Mom ... Shin pusing."

Shindu setengah berteriak memanggil Shintia, kaget, cepat-cepat dia menutup speaker ponselnya dengan tangan. Namun, terlambat, Pandu terlanjur mendengar suara Shindu.

Tanpa perlu bertanya, Pandu mengubah panggilannya menjadi panggilan video. Dan Shintia tidak punya pilihan lain selain mengangkatnya.

Wajah Pandu terpampang di layar ponsel Shintia, matanya bergerak gelisah saat menyadari tempat di mana Ibunya berada sekarang.

"Shin kenapa, Buk?"

"Enggak apa-apa sayang, cuma kecapean."

"Shin mana? Aku pengen lihat."

Shintia yang semula duduk di sofa, bergerak mendekat pada ranjang Shindu. Dia tahu Pandu marah, dan Shintia tidak mungkin lagi mencari alasan lain untuk mencegah Pandu mencari tahu apa yang terjadi pada Shindu.

"Itu tangan kiri Shin kenapa diperban-perban gitu, Buk? Ini sebenarnya ada apa sih? Kenapa Ibuk pake bohong segala? Hah ... aku balik Solo sekarang. Nanti aku kabari lagi, Buk."

"Sayang .... "

"Kalau Mas pulang, besok Mas gak boleh balik  Banyuwangi lagi."

"Shin!"

Shintia sudah kehabisan kata demi mencegah Pandu, tetapi dengan satu kalimat dari Shindu, Pandu tidak jadi memutus sambungan panggilan videonya.

Pandu membuang napasnya kasar, Shintia bisa mendengarnya. Entah bagaimana, selalu Shindu yang bisa menaklukan Pandu, hanya Shindu.

"Buk, tolong kasi hp-nya ke Shin. Aku pengen ngomong."

Shintia mengangguk, menyerahkan ponsel pintarnya pada Shindu, kemudian membantu anak itu menegakan posisi duduknya.

Pandu mendengar semua yang terjadi langsung dari Shindu. Dia juga urung pulang, menurut saja pada apa yang Shindu katakan. Shindu bilang dia baik-baik saja, dan Pandu tidak punya pilihan lain selain percaya atau PPL nya akan berakhir berantakan gara-gara Shindu menahannya.

***

Dinda berulang kali membaca pesan Shindu yang sedikit membingungkan menurutnya. Shindu hanya mengatakan jika lesnya nanti di rumah sakit, dan Shintia akan mengirim Joko untuk menjemputnya.

Banyak pertanyaan muncul di kepala Dinda setelah itu. Pesan balasan yang berisi sederet pertanyaannya, juga tidak kunjung berbalas. Dinda membuang napasnya jengkel.

Bukannya Dinda keberatan, jika memang dia harus memberi Shindu pelajaran di rumah sakit, maka Dinda akan melakukannya. Namun, yang membuat Dinda tidak suka adalah saat di mana dia dibuat bertanya-tanya tentang banyak hal.

Shindu bisa kan menjelaskan situasinya, kenapa mereka harus belajar di rumah sakit, siapa yang sakit, dan penjelasan singkat lain yang bisa dengan mudah Dinda mengerti. Tidak seperti ini.

Huhh ....

Sore harinya, Joko benar-benar menjemput Dinda. Kemudian, membawa Dinda ke rumah sakit besar di pinggiran kota Solo. Jauh dari rumah Dinda.

"Ingkang gerah sinten, Pak Joko?"

Dinda memberanikan diri bertanya pada Joko, yang sore itu terlalu diam. Seperti Joko sebelumnya.

"Mas Shindu, Mbak," jawab Joko, suaranya biasa, tidak bernada sedih, tapi Joko tidak tersenyum. Sama sekali.

Shindu sakit, dan dia masih ingin belajar, Dinda salut akan semangat Shindu. Semangat yang entah dari mana datangnya, entah alasan apa yang begitu kokoh mendasari Shindu untuk begitu giat mempelajari basa jawa.

Dinda berniat untuk menanyakannya pada Shindu nanti.

"Monggo, Mbak, kulo derekke. Jam besuk sampun telas, Mbak. Niki wau kulo angsal dawuh Sibu, kalih Pak dokter, ken lewat mriki."

Mobil telah terparkir rapi, dan Joko meminta Dinda untuk mengikutinya. Katanya jam besuk rumah sakit sudah habis, dan Joko diminta Shintia dan salah satu dokter untuk lewat jalan khusus.

Entahlah, Dinda lebih baik menurut saja. Dan mengikuti Joko dalam tenang, hingga mereka berdua sampai pada pintu kamar rawat dengan tanda VVIP ROOM menempel pada daun pintu.

Joko mengetuk pintu, mengucapkan salam, kemudian Dinda ikut mendengar suara Shintia menjawab salam Joko. Tidak lama pintu pun terbuka, dan yang pertama Dinda lihat adalah Shintia. Menawan dengan gaun panjang motif bunga yang cantik.

"Oh ... Mbak Dinda, mari masuk. Sudah ditungguin Shin tuh dari tadi."

Shintia tersenyum hangat pada Dinda, tangannya terulur menarik Dinda masuk.

"Iya, Buk."

Begitu masuk, Dinda belum bisa menemukan di mana Shindu berada. Ibarat rumah, mereka sekarang sedang berada di kamar tamu. Ini kali pertama, Dinda mengunjungi pasien VVIP. Luas sekali, Dinda sampai bingung sendiri.

Baru setelah Shintia membawa Dinda masuk lebih dalam, di sebelah kirinya ada sebuah ruang lagi tanpa pintu. Di dalamnya, ada sofa kecil, dan sebuah brankar besar di mana Shindu duduk dengan seragam rumah sakitnya yang kebesaran.

Anak itu tersenyum hangat, masih terlihat pucat, lengan kirinya dibalut perban tebal, dan ada sedikit noda darah yang merembas keluar. Dinda ngeri melihatnya, matanya panas, memerah, dan sedikit berair.

Shindu menyadari perubahan raut wajah Dinda. Karena itu, dia tersenyum makin lebar, kemudian berujar dengan tenangnya.

"Shin nggak papa, Mbak. Mbak jangan nangis ih, jadi nggak cantik, kan!?"


07.08.19
Habi🐘


SOLO-VE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang