SoLo-ve 34

617 78 23
                                    

Keluar dari ruang BP, Shindu dihadang ketiga temannya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Keluar dari ruang BP, Shindu dihadang ketiga temannya. Mata mereka awas, siaga penuh saat Shindu berjalan keluar bersama Nafiz di belakangnya. Kahfi, Adi, juga Fajar tahu betul perangai Nafiz. Dia tidak akan tinggal diam setelah dipermalukan dan dibuat berdarah-darah oleh Shindu.

Tepat setelah Shindu dan Nafiz lepas dari jangkauan pandang guru BP, kaki Nafiz menendang pelan ujung kruck Shindu. Kemudian berlalu begitu saja, abai, sementara Shindu sekuat tenaga menjaga keseimbangannya. Beruntung, Kahfi sigap. Hingga Shindu tidak harus tersungkur.

"Nggak apa-apa, Shin?"

Shindu mengangguk, tidak yakin. Kaki kirinya sempat dia jadikan tumpuan penuh, dan sakitnya luar biasa. Persis saat dia menjalani deretan terapi fisiknya di rumah sakit. Nyeri serta ngilunya sulit Shindu tahan. Rasanya seluruh tubuhnya tiba-tiba lemas tidak bertenaga.

"Mau duduk dulu, Fi," pinta Shindu, sambil menunjuk pada bangku panjang di depan ruang tata usaha.

Kahfi sempat berpikir sejenak, dari air muka Shindu saja sudah jelas jika anak itu tengah menahan sakit. Jadi, alih-alih menuruti permintaan Shindu, Kahfi lebih memilih menggendong Shindu ke UKS.

"Naik Shin, kita ke UKS aja!"

"Apaan sih, Fi! Shin masih bisa jalan, minggir!"

Shindu menolak. Akhir-akhir ini Shindu lebih sensitif, segala bentuk perhatian dari orang-orang terdekatnya entah bagaimana sulit Shindu terima. Shindu sulit membedakan mana yang tulus, mana yang sebatas belas kasihan.

Shindu tidak suka dikasihani.

Satu, dua, tiga langkah Shindu menjauh. Kahfi dibuat geram. Dia bisa dengar Shindu yang sesekali mendesis kesakitan. Jalannya saja tidak lurus, doyong ke kanan, kemudian berhenti karena deraan sakit. Tapi masih saja sok-sokan tidak ingin dibantu.

"Fi, kesian ... bantuin tuh!" celetuk Adi. Dia bergerak gelisah, antara ingin membantu Shindu,  dan menunggu Kahfi yang terlihat jengkel. Adi dan Fajar hanya tidak ingin memperkeruh suasana. Lebih baik diam, bersabar, hingga Kahfi mengalah, atau Shindu yang melunak.

"Anak kayak gitu nggak usah dikasihani, liatin aja , kuat nggak jalan sendiri sampai kelas."

Mereka bertiga berjalan pelan mengekor Shindu. Menunggu dalam sabar, sampai si keras kepala yang terseok di depan mereka menyerah.

"Ishh ... sakit, Fi."

Shindu meringis, keringatnya bercucuran, sambil bersandar penuh pada dinding koridor. Kelas mereka masih sekitar dua puluh meter lagi, dan dia menyerah, bahkan sebelum setengah jalan.

Dasar sok!

Sekali-kali memang anak itu butuh diberi pelajaran. Takutnya yang seperti hari ini akan terulang lagi. Setelah bertindak bar-bar di depan teman-teman sekolah dan guru olahraga, sekarang berlagak sok kuat. Bikin Kahfi pusing saja!

"Fi ...," panggil Shindu sekali lagi, napasnya masih terengah-engah.

"Kenapa? Lanjut jalan sana, aku liatin dari sini."

Sedangkan Kahfi belum beranjak, masih ada jarak tiga, empat meter di antara mereka. Menunggu Shindu menyadari perbuatannya yang sia-sia. Sebenarnya untuk apa dia menunjukan sikap sok kuat di depan teman-temannya sendiri?

"Beneran sakit ini ...." Kali ini Shindu setengah memohon.

"Kalau mau jadi jagoan ya harus tahan sakit lah, segitu doang mau nangis. Gaya - gayaan nantangin Nafiz!"

Kahfi menggerutu panjang lebar, walau begitu dia tetap menggendong Shindu di punggungnya, setelah sebelumnya menyerahkan kruck anak itu untuk dibawa Fajar.

"Maaf,"

"Langsung pulang aja ya?"

Shindu mengangguk. Dari atas punggung Kahfi dia menghubungi nomor Joko, kemudian menempelkan ponselnya pada telinga Kahfi. Membiarkan Kahfi berbicara langsung pada Joko.

Hari ini Shindu belajar.

Jika diri tidak sanggup mengendalikan emosi, maka emosi lah yang berperan mengendalikan setiap laku diri.

Hari ini Shindu menyesal.

Karena sempat meragukan ketulusan Kahfi dan teman-temannya.

***

Catat!

Dinda bukan pengecut!

Niatnya mengajak Aufa untuk bertemu langsung dengan Shindu benar-benar bukan karena Dinda tidak bisa menolak langsung anak ingusan seperti Shindu.

Dinda menyaksikan sendiri bagaimana Shintia, Pandu, dan Siti memperlakukan Shindu. Seolah Shindu barang pecah belah, yang kena kentut sedikit saja langsung retak.

Mungkin dengan mengajak Aufa dan menjelaskan situasinya sekarang akan membuat Shindu lebih mengerti, pun sebagai salah satu upaya  meminimalisasi cidera hati.

Sekali lagi, Dinda tekankan!

Dinda bukan pengecut!

Dinda hanya memperhalus caranya menolak Shindu.

"Gimana, mau kan mas anterin mbak les ke rumah Shindu?" Dinda mengulangi pertanyaannya, kemudian memakan gelinding bakso terakhir.

"Besok sore ya, Mbak? Insyaalloh."


17.11.19
Habi 🐘

SOLO-VE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang