SoLo-ve 23

530 100 23
                                    

Burung kenari Aufa hampir saja terbang. Aufa lupa menutup pintu sangkarnya. Fokusnya sempat hilang, melayang jauh pada Dinda dan masalah mereka yang kalau dipikir-pikir lagi, sebenarnya sangat sepele.

Semalam, sepulangnya dari rumah Lina, Aufa mendapati sekotak martabak manis di atas meja makan. Kata Ima, martabaknya dari Dinda. Calon istrinya itu mampir sebentar saat pulang dari mengajar les.

Dari sana, Aufa bisa menarik kesimpulan bahwa Dinda sudah tahu kemana Aufa pergi dan apa yang dia lakukan. Sejak semalam Dinda juga tidak bisa dihubungi. Perasaan Aufa jadi tidak enak.

Aufa khawatir kalau Dinda akan marah lagi. Mungkin bukan karena Lina, tapi karena seharian Aufa tidak sempat memberi kabar. Dan kebetulan ada nama Lina yang lagi-lagi harus terlibat. Walau dalam situasi yang berbeda.

Siang menjelang sore, pulang dari tempat kerja, Aufa berniat mampir ke rumah Dinda. Meminta maaf sekaligus mencari tahu apa yang sedang dilakukan calon istrinya itu. Dinda belum bisa dihubungi, pesan Aufa juga tidak dibaca. Aufa jadi gemas sendiri.

Namun, sayang, setibanya Aufa di rumah Dinda, yang dicari-cari tidak ada. Tutur Farida, Dinda pergi bersama Zani sejak pagi, dan sampai sekarang belum pulang.

"Tadi enggak bilang mau pulang jam berapa, Mas. Kok tumben enggak bilang juga ke Mas Aufa?"

Aufa bingung menjawab pertanyaan Farida. Ingin berkata jujur bahwa mereka sedang terlibat konflik, Aufa takut Farida akan khawatir, banyak pikiran, dan berakibat buruk pada kesehatannya.

Tetapi di lain sisi, Aufa tidak bisa berbohong, dia tidak memiliki alasan bagus untuk disampaikan ke Farida.

Lantas Aufa memilih tersenyum kaku, dia mengangguk sopan, pamit pulang setelah mengalih tangankan sekotak brownies kukus Amanda pada Farida.

"Kalau begitu, saya pamit pulang nggeh, Bu."

"Kok buru-buru?Paling bentar lagi Mbak Dinda pulang, Mas."

"Besok-besok lagi, Bu. Inshaalloh."

"Owh, nggeh pun. Hati-hati nggeh Mas Aufa!"

Persis seperti yang dirasakan Dinda semalam. Aufa pulang dilingkupi kekecewaan.

Aufa merindukan Dinda. Ingin melihatnya. Berharap rumitnya salah paham ini lekas teruraikan.

***

Matahari mulai tinggi, tapi Shindu masih dalam kendali obat penenang. Tidur nyaman ditemani Pandu yang enggan beranjak dari semalam.

Mata tajam Pandu yang siang itu kuyu, memandang Shindu sayu. Sejak pukul dua malam, saat Pandu menemukan Shindu yang tergeletak tidak bergerak dengan bersimbah darah, Pandu tidak bisa memejamkan matanya. Sampai sekarang, hampir jam sebelas siang.

Sorot kesedihan tergambar jelas dari mata Pandu. Meneliti setiap senti tubuh Shindu yang tidur tepat di sebelahnya, termasuk tangan kiri Shindu yang terbalut kain kassa tebal. Anak itu mendapatkan tiga jahitan semalam karena ... Pandu tidak tahu karena apa.

Pandu masih bergumul bingung, ketika Shindu mulai bergerak gelisah. Shindu sempat meregangkan otot-ototnya, menguap lepas seolah tidak pernah terjadi apa-apa. Hingga dia menyadari bahwa ada Pandu di sebelahnya.

"Lho, Mas Pandu? Kapan pulang? Shin kangen."

Lidah Pandu kelu, beku hanya untuk menjawab pertanyaan Shindu. Anak itu mulai bertingkah manja pada Pandu, membuang selimut tebalnya, kemudian menyadari tangan kirinya yang nyeri.

"Ini infus Shindu kenapa, Mas? Ketarik ya, Mas?"

Pandu masih diam. Sementara Shindu bertanya-tanya, alis tebalnya hampir menyatu, mengingat-ingat kembali kejadian yang menimpa tangan kirinya.

"Semalam waktu kamu tidur ketarik sampai kayak gitu, Shin. Makanya kalo tidur yang tenang, jangan banyak gerak!"

Shindu mengangguk biasa, dia kembali tersenyum, memeluk gulingnya sambil berisik berceletuk ingin sarapan ini-itu bersama Pandu, ingin pergi jalan-jalan dengan kakaknya itu, dan banyak lagi rencana lain yang Shindu utarakan.

Shindu melupakan kejadian semalam.

Pertengkaran mereka.

Hal bodoh yang dia telah lakukan.

Shindu melupakan semua.

Persis seperti kata Pukas. Kata-kata yang sempat Pandu sangkal. Tidak percaya jika adik yang selalu menunjukan sikap positifnya itu memiliki kecenderungan menyakiti dirinya sendiri seperti yang Pukas katakan semalam.

Lalu ... Pandu harus bagaimana?

Dia beringsut memeluk Shindu, erat, hingga Shindu akhirnya berhenti bicara.

"Mas Pandu kenapa?"

"Kangen."

"Makanya jangan pergi-pergi lagi, Shin gak suka."

Pandu mengangguk, air matanya jatuh begitu saja, tidak lagi sanggup berucap.

18.09.19
Habi 🐘😁



SOLO-VE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang