Solo-Ve-11

567 76 31
                                    

"Mas hati-hati di jalan."

Begitu turun dari motor Aufa, Dinda melangkah masuk ke rumah dengan ringan. Padahal biasanya, tidak sekali pun Dinda absen untuk meminta Aufa mampir barang sebentar.

Dinda terlanjur jengkel. Aufa yang bungkam, Aufa yang tidak bisa menjawab pertanyaan Dinda, ternyata cukup menyakiti perasaannya.

Kalau dipikir-pikir, pertanyaan Dinda bukan yang masuk dalam kategori pertanyaan yang sulit dipecahkan. Aufa hanya harus memilih antara omongan orang-orang atau perasaan Dinda yang notabene calon istrinya sendiri.

Kenapa kesannya begitu sulit bagi Aufa untuk menjawabnya?

Wajar jika Dinda berakhir marah. Bukankah jawabannya sudah jelas? Harusnya Dinda lah yang jadi prioritas Aufa. Perasaan Dinda lah yang harus selalu Aufa utamakan. Bukan pendapat orang lain, yang sebagian besar hanya bisa menilai dari kulitnya saja, yang menghakimi tanpa peduli kebenarannya.

Dinda sempat memberi kesempatan pada Aufa untuk menyampaikan penjelasan. Jika Aufa belum bisa memberi Dinda jawaban, paling tidak Aufa bisa berusaha meyakinkan Dinda untuk bisa lebih mengerti akan situasi dan kondisi Aufa.

Namun, saat itu, Aufa memilih bungkam. Mereka berdua menghabiskan makan siang masing-masing dalam tenang. Dalam ributnya angan, memecahkan ini itu hingga tidak tahu lagi apa yang harus disampaikan.

"Lho, Mas Aufa enggak mampir, Mbak?"

"Buru-buru, Buk."

"Kainnya mana?"

"Dibawa Mas Aufa, Mbak lupa tadi."

Farida tergelak, menertawakan tingkah Dinda yang mirip remaja. Padahal umurnya sudah seperempat abad.

"Yang sabar Mbak, jangan dikit-dikit marah!"

Mengangguk sekali, Dinda beranjak, menyimpan sepatunya, kemudian masuk kamar. Sambil setengah menggerutu, apakah benar dirinya kurang bersabar?

Hmm ....

***

Tidak jauh berbeda dengan Dinda. Dalam perjalanan pulang, selisih paham yang terjadi sebelumnya mampu menguras perhatian Aufa. 

Aufa banyak berpikir tentang pertanyaan Dinda dan alasan di balik bungkamnya. Bukannya Aufa tidak memiliki jawaban, Aufa hanya bingung. Sudah jelas, perasaan Dinda lah yang lebih penting bagi Aufa. Namun, bagaimana dengan kelanjutannya? Bagaimana jika setelah Aufa menjawab demikian, Dinda akan meminta Aufa untuk mengumumkan status mereka berdua melalui status Wa-nya? Hitung-hitung sebagai bukti, begitu pasti ujar Dinda.

Aufa kembali membuang napasnya kasar. Sudah lama Aufa menyembunyikan kisah asmaranya dari rekan-rekan kerjanya. Selain demi menjaga reputasinya di depan siswa, Aufa tidak ingin dengar rekan kerjanya membicarakan Dinda sesuka mereka. Apalagi di belakang Aufa.

Rencananya, Aufa akan merahasiakannya hingga nanti undangan pernikahan mereka jadi. Melalui undangan pernikahan itulah, secara resmi Aufa mengumumkan statusnya.

Eh ... ternyata semua tidak berjalan sesuai dengan keinginan Aufa.

Sebenarnya Aufa sempat bingung. Apa yang salah dengan obrolannya dengan Lina? Percakapan mereka tidak jauh-jauh dari urusan pekerjaannya. Dan yang jelas, Aufa sama sekali tidak memiliki ketertarikan akan sosok ragawi Lina, secuil pun tidak.

Jika yang Dinda khawatirkan adalah kemungkinan-kemungkinan yang belum pasti terjadi, seperti Lina yang jatuh cinta pada Aufa. Dinda tidak perlu khawatir, karena dengan tegas, Aufa akan menolaknya.

Ada sedikit sesal, kenapa semua itu baru terlintas dalam benaknya? Kenapa tadi tidak Aufa jelaskan langsung pada Dinda?

Untuk ketiga kali dalam delapan kilometer jarak yang telah ditempuh, Aufa kembali membuang napas. Sampai-sampai kaca helm yang dia kenakan berembun, dan mengganggu penglihatan.

Alhasil sekelompok anak SMA yang bersiap menyeberang jalan tepat di depan Aufa, hampir menjadi korbannya.

Aufa menginjak rem dalam-dalam, roda depannya berdecit, melengking mengagetkan. Bibir Aufa tidak berhenti merapal istighfar begitu melihat salah satu anak terjatuh di trotoar demi menghindari laju motor Aufa.

Menepikan motor, Aufa bergegas turun, kemudian menghampiri mereka yang hampir saja menjadi korbannya. Terlihat salah satu di antara mereka tengah membantu teman yang tadi sempat terjatuh, satu yang lain mengambilkan sebuah kruk berwarna biru yang sedikit bengkok ujungnya.

Langkah Aufa tertahan oleh derai caci dari anak setinggi bahu Aufa, dia berkacamata, kurus kering, dengan kulit hitamnya yang kusam.

"Piye e Mas? Ajaran to? Rung isoh motoran i ngonthel wae, tanggung jawab! Kancaku nganti nggeblag."

Aufa bingung harus menjawab apa, dia hanya membungkuk berulang kali sambil terus meminta maaf.

Hari ini benar-benar hari yang luar biasa bagi Aufa.



31.07.19
Habi 🐘

"Piye e Mas? Ajaran to? Rung isoh motoran i ngonthel wae, tanggung jawab! Kancaku nganti nggeblag."

"Gimana sih Mas? Baru belajar naik motor? Kalau belum bisa tuh naik sepeda aja! Tanggung jawa! Teman saya sampai jatuh."

A.n
Yang hari ini bersedia nulis komentar, saya follow. 😊
Yang sudah saya follow saya unfoll 😅😅 (becanda mbak)

SOLO-VE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang