Solo-Ve-12

534 76 15
                                    

Semburat sore datang menyelinap masuk kamar saat Dinda terbelenggu kalut. Sibuk dengan ponselnya, Dinda berulang kali menggulir aplikasi belanja online, padahal sebenarnya sedang menunggu pesan Aufa dengan tidak sabarnya.

Sudah satu jam sejak Aufa meninggalkan halaman rumahnya. Namun, belum juga ada pesan singkat yang datang, yang mengabarkan jika Aufa sudah sampai rumah, atau malah pesan berisi permintaan maaf.

Ingin Dinda sih begitu.

Tetapi, kali ini Dinda tidak mendapatkannya. Marahnya berubah jadi khawatir, takut terjadi sesuatu pada Aufa saat dalam perjalanannya pulang. Atau kemungkinan lain, seperti Aufa yang benar-benar tidak lagi peduli akan kemarahan Dinda tadi siang.

Dinda membuang napasnya kasar begitu sadar dia memilih metode pembayaran yang salah pada aplikasi belanja online-nya. Virtual acount yang muncul untuk BCA, padahal kan hanya ada mesin ATM BRI di dekat rumahnya. Dinda jadi pusing sendiri.

Memilih meletakan ponselnya asal, Dinda memejam, dan yang muncul kemudian adalah bayang-bayang wajah Aufa yang tersenyum hangat padanya.

Gila, Dinda tidak pernah sadar jika ternyata sudah sebegitu kuat impresi Aufa melekat padanya.

Belum genap dua menit Dinda meletakan ponselnya, getar dia rasakan. Ada satu pesan masuk, dari Aufa.

Dinda bergegas bangun dari rebah-rebahannya, membaca dengan seksama pesan Aufa.

Mas Aufa ❤

Mbak, bisa jemput di rumah sakit Andraita enggak? Tangan Mas masih gemeter kalau buat nyetir motor sendiri.

Dinda

Mas kenapa?

Tidak ingin menunggu Aufa membalas pesannya, Dinda memilih untuk lekas menghubunginya.

"Assalamu'alaikum"

"Wa'alaikum salam, halo, Mas kenapa? Kok bisa di rumah sakit? Mas jatuh? Gak papa kan? Apa Mas yang sakit? Mas sama siapa sekarang?"

"Mbak, Mbak Dinda ... tenang dulu Mbak."

"WA Mas gitu sih, bikin panik. Buruan jelasin Mas kenapa? Ini Mbak sambil siap-siap."

Dinda berakhir mendengarkan setiap detail penjelasan Aufa tentang kejadian nahas yang menimpanya tadi.

Rampung mengganti bajunya, Dinda berpamitan pada Farida, kemudian menyambar kunci motor. Cepat-cepat menjemput Aufa.

***

"Makasih lho Mas, Shin langsung dianterin ke sini. Coba kalo enggak, aduh saya gak bisa bayangin."

"Iya, Buk. Sudah jadi tanggung jawab saya, saya yang harusnya minta maaf, Buk."

"Gak papa, Mas. Anak saya memang rada bandel. Pulang sekolah enggak langsung pulang malah main dulu."

"Biasa, Buk, anak-anak. Kalau gitu saya pamit dulu ya, Buk. Inshaalloh besok saya ke sini lagi buat jengukin Shin."

"Iya, Mas silakan. Sekali lagi makasih Mas Aufa."

Aufa keluar dari ruang rawat Shindu dan mendapati teman Shindu yang lain masih duduk tegang di kursi tunggu. Wajah anak itu pucat, dari sorot matanya yang kosong, yang sesekali bergerak tidak fokus, Aufa tahu bagaimana khawatirnya dia atas keadaan Shindu.

"Shin sudah gak papa, sekali lagi saya minta maaf. Nama kamu siapa?"

"Kahfi."

Aufa mengangguk, kemudian duduk tepat di sebelah Kahfi. Kesepuluh jemarinya yang masih gemetar saling menjalin. Setia menunggu Kahfi, yang berusaha mengentaskan rasa takut dan khawatirnya.

"Teman kamu yang lain, kemana?"

"Sudah pulang duluan, Mas."

Aufa kembali mengangguk canggung. Tidak tahu lagi topik apa yang harus dia peralat untuk bisa membuka obrolan dengan Kahfi.

"Dulu Shin juga pernah kayak gini Mas, padahal saya cuma nanya namanya, tapi dia pingsan dan berhari-hari dirawat di rumah sakit."

Tangan kiri Aufa terulur, menepuk punggung lebar Kahfi tiga kali, coba mengerti kekalutannya. Rasa takut juga khawatir yang bercampur aduk, seperti apa yang Aufa rasakan sebelumnya.

"Tadi Shin sudah nggak apa-apa, dia tidur waktu aku pamit mau pulang. Jadi kamu nggak usah khawatir Fi."

Giliran Kahfi yang mengangguk. Pergerakannya mulai terlihat normal, mata yang semula kosong, sekarang awas, sorotnya tajam melihat ke sekeliling.

"Sempat nanyain saya nggak, Mas?"

"Shin minta kamu pulang tadi, gimana? Pulang bareng aku ya?"

Kahfi mendadak berdiri, dia menggeleng singkat sambil melihat ke sekitar. Tersenyum samar, kemudian menolak tawaran Aufa dengan sopan.

"Makasih, Mas. Tadi saya sudah pesan gojek."

Tidak ada yang bisa Aufa lakukan selain mengangguk lega.

"Kalau gitu, saya pamit duluan, Mas."

Kedua mata bening Aufa mengikuti punggung Kahfi yang makin jauh tertelan jarak. Angannya tanpa sengaja membawa Aufa kembali ke masa lalu. Memaksanya mengingat akan seseorang yang dia rindukan.



04.08.19
Habi🐘

A.n
Sudah tanggal 4, mengingatkan, bagi mbak-mbak yang ingin berpartisipasi dalam aktivitas menulis berhadiah pulsa di bagian GENAP, Solo Please Help Me, bisa kirim karyanya ke alamat email habibihamdan9@gmail.com ya ....

Waktunya tinggal enam hari lagi, 😯 Tante tungguin sampai tanggal 10 Agustus ya ....

Sudah ada satu cerita yang masuk ke email Tante, dan Tante terharu, bahagia, senang, gembira, tidak terkira, ternyata ada yang ikutan ... kirain bakal nggak laku 😢😣😭






SOLO-VE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang