SoLo-ve 36

638 81 45
                                    

Jujur, Dinda bingung dengan hatinya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Jujur, Dinda bingung dengan hatinya. Sepanjang perjalanan ke rumah Shindu, Dinda dirundung pilu. Bertanya pada diri sendiri tentang ini itu. Mencari-cari alasan yang bisa dia peralat untuk menenangkan hatinya sendiri.

Dinda galau tingkat dewa.

Membohongi Aufa, sudah. Berkata tak jujur pada Farida pun telah dilakukan. Kali ini dia berusaha merekayasa rasa yang timbul padam itu. Rasa yang masih samar. Dinda coba untuk memperjelasnya. 

Berulang kali Dinda tegaskan pada dirinya sendiri untuk tidak melibatkan hati jika itu ada sangkut pautnya dengan Shindu. Anak itu berbahaya, pesonanya diam-diam menjerat. Dinda menyadarinya betul-betul.

Sebelumnya Dinda pikir, dia akan baik-baik saja. Dia sudah dewasa, ada Aufa si calon suami idamannya, juga logika yang jadi andalannya. Namun, begitu dia ingat wajah sendu Shindu malam terakhir mereka bertemu. Dinda kembali kacau balau. 

Entah bagaimana teknisnya. Tahu-tahu Dinda lemah. Terlalu lemah menahan hasrat untuk menjumpai Shindu. Makin lemah saat rasa khawatirnya mendominasi. 

Yang Dinda tahu dia ingin jumpa Shindu secepatnya. Memastikan jika anak itu baik-baik saja. Itu saja sebenarnya. 

Dinda tahu, ini bisa jadi sebuah anomali hatinya. Yang Dinda inginkan wajar, tapi kenapa dia harus gusar, kenapa dia harus berbohong pada calon suaminya. 

Astaghfirullah

Dinda tahu ini salah, tapi hatinya tidak mau dipaksa untuk mengalah. Entah hilang kemana tekadnya kemarin? 

Astaghfirullah!

Sepanjang perjalan ke rumah Shindu sore itu Dinda tidak berhenti komat-kamit. Merutuki dirinya sendiri lalu mohon ampun dengan beristigfar. Namun, anehnya Dinda tetap menarik gas motornya dengan yakin, melaju pasti ke rumah Shindu. 

"Mbak pasti gila, gila!"

Dinda masih sempat memaki dirinya sendiri, padahal Siti sudah berdiri di depannya dengan wajah penasaran. Setahu Siti, Shindu sudah mengirim pesan pada Dinda untuk membatalkan jam lesnya hari ini. Jadi, kenapa Dinda masih datang? Apa Dinda belum membaca pesan Shindu? 

"Mbak Dinda, monggo pinarak." 

Siti tetap mempersilakan Dinda masuk, memintanya duduk, sementara Siti menyiapkan teh hangat untuk Dinda.

"Matur suwun, Bu Siti. Shindu di mana, Bu?" Dinda mengambil alih cangkir teh melati dari tangan Siti, kemudian meletakkannya di meja. Masih panas, dia akan meminumnya nanti.

"Mbak Dinda belum baca SMS nya Mas Shindu?" 

Mungkin maksud Siti pesan yang Shindu kirim via WhatsApp. Jadi, Dinda coba merogoh tas tote-nya, mengeluarkan ponsel, lalu memeriksa pemberitahuan yang masuk. 

Shindu 

Mbak Dinda, maaf. Hari ini libur dulu ya :)

"Wah iya, Bu. Shindu minta libur, baru sempat saya buka." 

Dinda coba pasang wajah kalem saat Siti menanggapinya dengan tawa prihatin. Sesekali menepuk bahu Dinda dan menyayangkan dirinya yang harus berkendara jauh hanya untuk tidak mendapati apa pun. 

Tetapi, sedari awal niat Dinda melajukan motornya bukan untuk mengajar les. Dinda butuh tahu keadaan Shindu. Dinda butuh memastikan Shindu baik-baik saja.

"Shindu sakit lagi, Bu? Kok liburnya dadakan?" Sedikit menyesap teh melati lalu merangkum cangkir hangat itu dalam ke dua telapak tangannya yang dingin. 

"Iya, Mbak. Tadi di sekolah jatuh, trus langsung ke rumah sakit, pulang dari rumah sakit malah pakai kursi roda. Katanya kalau dibawa jalan masih sakit. Kecapaian juga kayaknya, Mbak."

Dinda manggut-manggut. Lalu kembali menyesap teh melatinya. Kali ini rasa penasarannya tentang Shindu harus terbayar lunas, dengan begitu Dinda tidak melulu berkutik pada Shindu. Begitu pikir Dinda.

Karena itu, Dinda dengan percaya diri kembali bertanya pada Siti. Mumpung Siti masih menemaninya. 

"Kaki kiri Shindu dulunya kenapa sih, Bu, kok bisa jadi kayak gitu?" 

"Wah saya nggak berani cerita, Mbak. Mbak Dinda tanya ke Mas Shindu langsung aja ya, Mbak." 

Gagal! 

Kalau begini, Dinda makin dibuat penasaran. Ternyata Siti tidak seperti ibu-ibu kebanyakan, yang suka ngobrol ngalor-ngidul, yang dikasih umpan kecil langsung keluar semua informasi. 

"Shindu-nya?" 

"Di dalam, Mbak. Nonton tipi." 

Dengan izin Siti, Dinda menghampiri Shindu yang tiduran di sofa ruang keluarga. Televisi layar lengkungnya menayangkan kanal National Geographic, ada Tyson yang menjelaskan tentang Proxima B, dan perjalan interstellar di masa depan. Hanya sedikit yang bisa Dinda tangkap hingga Shindu mengambil alih penuh perhatian Dinda dengan tawanya. 

"Apanya yang lucu?" 

Shindu kaget mendapati Dinda yang berdiri di belakangnya. Tersenyum aneh sambil menaikan alis. Sepertinya masih penasaran pada alasan Shindu tertawa. 

"Coz those funny geniuses. Satanic lies," jawab Shindu singkat, kembali tertawa kecil, abai pada kehadiran Dinda yang tiba-tiba.

Setelah mematikan televisi, Shindu bangkit, duduk bersandar, dan membiarkan Dinda duduk tepat di sebelahnya. 

Sementara Dinda mengangkat pundaknya tidak peduli. Lagi pula Dinda buta astronomi, jadi, dia biarkan Shindu berasumsi sesuka hati.

"Mbak Dinda, nggak baca pesan Shin?" 

 Dinda menggeleng, lalu dia dengar Shindu membuang napas. Ada rasa bersalah di sana, Dinda bisa merasakannya. 

"Maaf, Mbak. Shindu telat ya yang ngasih tahu?" 

"Nggak apa-apa, Mbak jadi sekalian bisa jenguk kamu. Kata Bu Siti kamu jatuh di sekolah?" 

Shindu meluruskan kedua kakinya di atas karpet bulu tebal di bawahnya. Dia tersenyum kecil, lalu mengangguk. 

"Sakit banget ya, sampai harus pakai itu, Shin?" 

Dinda menunjuk pada kursi roda Shindu di ujung sofa. Namun, Shindu hanya menjawab pertanyaan Dinda dengan senyuman.

Dinda makin tidak nyaman. Canggung sekali rasanya. Dia coba mencairkan suasana dengan bertanya ini-itu, tetapi Shindu seperti enggan untuk melanjutkan obrolan mereka. 

"Kalau boleh tahu, awal kaki kamu bisa sampai begitu kenapa, Shin?"

Tidak ada pilihan lain. Dinda sudah terlanjur basah, jadi sekalian saja berenang. Siapa tahu Shindu mau menjawab pertanyaannya. Jika tidak pun, tidak apa. Paling tidak sekarang Dinda sudah melihat sendiri keadaan anak itu, terlepas dari wajahnya yang pucat, kuyu, dan kelelahan, selebihnya Shindu baik-baik saja. 

Begitu pikir Dinda. Namun, saat Shindu menjawab pertanyaannya dengan pertanyaan lain, dan dengan sorot mata terluka. Dinda yakin hatinya tidak baik-baik saja.

"Shin dan Mbak Dinda tidak sedang terlibat dalam hubungan di mana Mbak Dinda bisa bertanya seintim itu." 

"Sebagai teman pun tidak?" 

"Mbak Dinda sadar nggak sih kalau sedang nyakitin Shindu?"




Bersambung

18.03.2020 

Habi 🐘

Ehm ... Halo apa kabar, saya pulangggg 😄







SOLO-VE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang