SoLo-ve-15

526 83 15
                                    

Baru jam 8 pagi. Tengah hari masih lama, jam-jam ngantuk setelah makan siang juga masih jauh di rasa. Tapi Dinda sudah melamun saja.

Murid-murid Dinda tidak terurus, ada yang asyik mengobrol, beberapa berkelana ke meja lain untuk mencari jawaban, dan sebagian yang lain sibuk menghafal surat pendek untuk setor hafalan setelah pelajaran basa jawa Dinda berakhir.

Sementara Dinda duduk anteng di kursinya, beradu tatap dengan buku pegangan guru, tanpa membacanya. Angan Dinda menyelisik jauh pada kejadian seminggu yang lalu di rumah sakit. Kejadian yang melibatkan anak les Dinda satu-satunya, Shindu.

Sudah seminggu, sejak kejadian itu. Sejak Dinda melihat langsung mata kecil Shindu berair. Dinda tidak bisa berhenti memikirkannya. Ditambah kabar yang dia terima dari Shintia, tentang Shindu yang untuk sementara waktu harus istirahat, hingga les basa jawa anak itu juga harus ikut diistirahatkan.

Selain khawatir akan keadaan Shindu, Dinda penasaran setengah mati. Ingatannya masih jelas,  tidak ada satu pun adegan yang dia lupakan, termasuk setiap kata dan pergerakan yang Dinda ciptakan. Dan tidak ada yang salah menurut Dinda.

Lain perkara jika Shindu menangkapnya berbeda kemudian melibatkan perasaan.

Seperti saat Dinda memaksa anak itu menerima bantuannya kemudian menyebutkan tentang Shintia yang butuh istirahat.

Huh ....

Dinda benar-benar lelah hanya untuk menduga-duga. Sisi sensitif Dinda, memang acap kali menjebaknya dalam kesulitan. Terlalu sulit lepas pada kejadian di masa lalu yang menurutnya belum terselesaikan.

Inginnya Dinda mencari tahu langsung. Bertatap muka dengan Shindu dan mendengar sendiri dari anak itu bahwa dirinya sama sekali tidak berbuat kesalahan.

Sekaligus memastikan dengan kedua matanya bahwa Shindu baik-baik saja.

Itu saja ....

"Tenang dan selesaikan hari ini juga, atau kalian ibu tambah menerjemahkan cerita dengan aksara jawa di halaman 48 ke latin?"

Seketika, hening. Seluruh penghuni kelas yang tengah Dinda ampu, bungkam. Jauh lebih baik diam daripada harus mengerjakan terjemahan aksara jawa. Begitu pikir mereka.

Sejurus kemudian, dalam keheningan yang sama. Dinda betul-betul ingin melihat Shindu, ingin bertemu dengan anak itu.

***

"Titip Mas Shindu, nggeh Mas Aufa."

"Nggeh, Bu Siti tenang mawon."

Tiga hari setelah Shindu keluar dari rumah sakit, anak itu selalu punya alasan untuk bertemu dengan Aufa. Terlebih lagi saat Shindu mendengar perkataan Aufa yang menyatakan jika memang dirinya lah yang bertanggung jawab atas musibah yang menimpa Shindu.

Jadi, selama Pandu tidak ada, Shindu akan memanfaatkan ketulusan Aufa. Seperti yang pernah Siti ajarkan padanya, "Biar, enggak mubadzir, Mas."

Lagipula, Shindu benar-benar membutuhkan bantuan Aufa. Seperti saat Shintia yang harus ke luar kota bersama Joko untuk urusan pekerjaan, padahal Shindu sudah diizinkan pulang. Sementara Pukas--Om Shindu yang juga bekerja sebagai dokter--belum kelar dengan operasinya.

Jadilah dengan terpaksa Shindu menghubungi Aufa saat itu. Dengan sopan meminta bantuan Aufa untuk menjemput Shindu di rumah sakit, kemudian mengantarkannya pulang.

Aufa baik, ramah, Shindu yang biasanya sulit akrab dengan orang-orang baru,  bisa dengan mudah mengimbangi obrolan yang Aufa mulai.

Dan, kali ini, untuk kedua kalinya, Shindu menanyakan kesediaan Aufa untuk mengantarnya ke UNISRI, menyaksikan langsung penampilan Fajar memainkan jejeran wayang kulitnya.

Di sini lah mereka sekarang berdua di dalam Toyota Avanza putih milik Agus. Begitu Shindu menghubungi Aufa tadi pagi, memang guru olahraga itu langsung mengiyakan. Dan berinisiatif meminjam mobil sang ayah karena tahu bagaimana kondisi Shindu yang dia pikir tidak memungkinkan untuk bersepeda motor.

"Masih jam 7, Shin. Biasanya, kalo wayang jam 9, 10 baru mulai."

Shindu yang duduk di kursi belakang kaget. Bertanya-tanya, kalau mulainya saja selarut itu, jam berapa selesainya?

Takut jika permintaannya akan terlalu merepotkan Aufa. Sementara, Aufa besok harus bangun pagi-pagi untuk pergi mengajar.

"Nanti kita gak usah lihat sampai selesai, ya? Kamu kan baru keluar rumah sakit."

"Iya, Mas. Besok juga Mas harus kerja, 'kan? Shin enggak tahu kalo wayangan ternyata malem banget mulainya."

Aufa tersenyum ringan. Dia tahu, sekarang Shindu pasti merasa tidak enak hati karena terlalu merepotkannya. Karena wajah Shindu terlihat lucu, mata sipitnya hampir tidak terlihat karena buckethat Adidas yang dia kenakan.

"Kalau makan dulu gimana, Shin?"

"Boleh, Mas."

"Ehm ... drive thru McD aja ya Shin?"

"Heh? Iyadeh, Mas. Shin juga pingin makan itu."



18.08.19
Habi🐘

A.n.
MERDEKA!!!

SOLO-VE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang