SoLo-ve 26

519 76 40
                                    

Ngomong-ngomong tentang keluarga. Keluarga bagi Dinda adalah mereka yang bisa menerima Dinda apa adanya, yang turut serta dalam kebahagiaan, juga mereka yang ikut berduka dalam kesedihan Dinda.

Iya, arti keluarga tidak jauh-jauh dari apa yang Dinda pahami selama ini. Sesederhana itu.

Namun, siang tadi, setelah kurang lebih tiga jam Dinda habiskan bersama keluarga besar Aufa di Wonogiri, Dinda mulai menambahkan sedikit demi sedikit detail tentang apa itu keluarga. 

Ternyata, keluarga bisa serumit ini, pikir Dinda.

Om, tante, pakde, bude, sepupu, kakek, nenek, dan kerabat lain kumpul jadi satu. Ribut-ribut di sekitar Dinda, menempel padanya terus-terusan. Sambil menanyakan ini-itu yang Dinda sendiri tidak yakin jawabannya. Sementara Aufa, malah pergi entah kemana dengan sepupu-sepupunya yang lain, yang banyak itu.

"Mbak Dinda ngobrol dulu sama yang lain, biar akrab!" kata Aufa, tadi, sebelum dirinya raib.

Masa iya, Dinda harus pura-pura menangis kemudian merengek tidak mau ditinggal Aufa? Yang ada malah jadi bahan omongan, 'kan?

Jadilah, Dinda menguatkan hatinya. Bagaimana pun juga, Dinda akan jadi bagian dari mereka nantinya. Maka tidak ada salahnya untuk mulai menyesuaikan diri.

Termasuk menebalkan mental saat beberapa ada yang menyinggung tentang calon lain untuk Aufa, sebelum laki-laki tinggi itu memperkenalkan Dinda sebagai calon istrinya.

Adalah Heni, sepupu Aufa yang tengah hamil tua. Tapi mulutnya pedas level jalapeno. Pedas sekali.

"Mbak Dinda ini masih guru tidak tetap ya, Mbak? Belum PNS, Mbak?"

Dia selonjoran, bersandar pada tembok, sambil sesekali memutar mini fan portable-nya, kepanasan. Bibir tipisnya mencap-mencep menyebalkan, dengan lirikan mata meremahkan yang Dinda tidak suka.

"Iya, Dek. Masih GTT, doakan biar tahun ini bisa lolos CPNS."

Sabar Dinda.

Dinda sempat bersyukur saat yang lain, seperti tante-tante Aufa yang berwajah ramah menenangkan, menjawab doa Dinda dengan seruan Aamiin.

"Calon Ibuk yang mau dikenalkan Mas Aufa itu udah PNS ya, Buk?" sahut Heni cepat, dia menyenggol ibunya-sekaligus tante Aufa-yang duduk tepat di sebelahnya.

"Hmm, PNS di Pemda," jawab ibunya, dengan mulut yang masih sibuk mengunyah kacang rebus. Sementara yang lain coba mengalihkan obrolan, sepertinya tidak enak hati.

Anggap saja, masalah seperti ini wajar terjadi. Sudah biasa. Tapi tetap sakit rasanya.

Saat itu Dinda hanya bisa mengangguk kaku, senyum sedikit saja sulit. Inginnya berontak, menjawab semua obrolan tidak penting Heni dengan meledak-ledak, seperti Dinda biasanya. Namun, Dinda tidak sebodoh itu untuk melupakan tempat, situasi, dan dengan siapa dia bicara.

Dinda adalah pengendali rasa yang handal. Dia harus tetap sadar diri, jangan sampai lepas kendali. Dia bukan primitif yang masih saja asal ngomong tapi kosong.

Jadi, Dinda lebih memilih Diam. Sampai suara Ima yang semula jauh, kian mendekat. 

"Mantu Ibuk enggak harus PNS, yang penting pinter ngurus Mas Aufa."

Ima datang dari arah dapur, duduk tepat di sebelah Dinda sambil menyodorkan cemilan kesukaan Dinda, brownies. Baru, Dinda sanggup menyunggingkan senyum. Menatap hangat pada Ima, yang juga melihatnya penuh sayang.

Dinda adalah perempuan pilihan Aufa. Dan Ima percaya, Aufa tidak akan salah memilih calon istri.

***

Menjelang ashar, acara kumpul keluarga besar Aufa selesai. Sebagian banyak pulang ke rumah masing-masing. Sebagian kecil lainnya lebih memilih untuk menginap di rumah kakek-nenek Aufa. Alasannya banyak, ada yang karena rumahnya jauh seperti Aufa, ada juga yang sekadar ingin mengobati rindu dengan anggota keluarga lainnya.

Seperti rencana, Ima, Agus, Aufa, dan Dinda sebelumnya, mereka akan menginap. Selain mereka berempat ada keluarga Budhe Iwit--kakak tertua Ima-- yang ikut menginap, bersama Pakde Pomo--suaminya, Alin--anak perempuannya, dan Damar--cucu laki-lakinya.

Mereka sengaja menginap karena rumah mereka di Magelang, cukup jauh untuk ditempuh oleh Alin seorang. Selain itu, Alin takut, Damar yang masih berusia lima tahun akan kecapekan.

Dinda suka dengan keluarga Iwit. Alin sangat ramah, dia lemah lembut, dan enak diajak mengobrol. Tidak seperti Heni, hmm ....

Sore itu, setelah Aufa dan Agus rampung membersihkan halaman depan rumah kakek, kami berkumpul di pendopo rumah. Makan malam bersama dalam suasana yang hangat. Sesekali mendengar candaan kakek, dan Pomo yang suka sekali menggoda Aufa dan Dinda. Sampai Iwit harus mengingatkan Pomo bab umurnya sekarang.

Lucu sekali. Mata besar Dinda sampai berair karena terlalu banyak tertawa, dia menunduk untuk mengusapnya, namun tangan hangat Aufa menahannya. Laki-laki manis itu tersenyum lucu pada Dinda, menggeleng, melarang Dinda mengusap matanya, kemudian mengulurkan selembar tisu.

"Sedih nangis, bahagia nangis, Mbak Dinda enggak asyik!" Aufa terkekeh, tangan kirinya mengelus kepala Dinda dengan sayang.

Dinda berharap, rumah tangganya dengan Aufa kelak akan seindah ini, menua bersama, beruban bersama, dalam indahnya bahagia, pun dalam hikmahnya duka, selalu bersama.

***

Mbak Dinda lagi ngapain sih, pesan Shin kok cuma dibaca ....




02.10.19
Habi 🐘








SOLO-VE Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang