Happy Read. Typo manusiawi.
"Untuk apa kita urus dia?! Dia selalu menyusahkan! Buang saja! Apa susahnya?! Bahkan kalau bisa bunuh saja!" suara itu membuat tangisku semakin kencang. Bentakan tiap bentakan itu menghantuiku.
"Gak bisa mas," Bunda kembali membelaku. Aku bisa merasakan tubuh Bunda menutupi tubuhku. Menghalangi tubuh ini dari Ayah.
"Dia cuma bisa bikin aku malu!"
"Aku yang lahirin dia mas. Dia anakku. Aku gak bisa lakuin hal sekeji itu!"
"Aku gak peduli! Kamu pikir cita-citaku itu mudah di dapat?! Satu perusahaan tahu dia cacat! Tau dia buta! Aku jadi bahan olok-olokan! Mereka selalu bilang aku gak bisa jaga keluarga! Kamu pikir aku gak sakit hati, iya?!"
"Mas! Dia itu anak kita! Aku gak bisa bunuh dia! Dia darah dagingmu! Darah dagingku juga! Kalo kamu gak mau diolok-olok keluar, cari kerja lain,"
"Kamu ngelawan?! Iya!! IYA!!"
Plak!!
"Biar aku bunuh saja dia!"
"Bunda! Takut!"
"Jangan bunuh dia Mas!"
***
Tangisku kembali pecah mengingat kejadian 19 tahun yang lalu. Hal yang pastinya menimbulkan luka mendalam padaku. Bagaimana tidak? Bayangkan saja jika orang tuamu membencimu karena kekuranganmu. Rasanya aku ingin supaya tak terlahir di dunia ini. Percuma aku terlahir dari rahim Bunda tapi aku sendiri yang jadi penyebab Bunda terluka.
Tamparan Ayah pada Bunda yang terdengar begitu keras. Keributan-keributan karena aku. Siksaan Ayah pada Bunda. Semua itu memberikanku luka yang sangat pedih. Aku memang bukan anak normal. Aku pembawa sial. Sekarang entah dimana Bunda? Apa kabarnya? Apa dia sudah makan? Aku merindukan Bunda.
Karenaku Bunda mendapatkan semua itu.
Apakah fisikku seburuk itu, sehingga Ayah ingin membunuhku? Dan selalu sekasar itu pada Bunda. Rasanya aku ingin mengatakan sesuatu pada mereka saat itu.
"Bun, aku memang pembawa sial. Ayah dicaci dan turun jabatan karena aku. Aku sangat menyayangi kalian. Aku tak senang dengan pertengkaran kalian. Hatiku remuk setiap Bunda menangis dan berteriak. Menjadi debu saat tamparan dan bentakan Ayah membuat Bunda tersungkur lemah di tanah. Walau aku tak dapat melihat, namun aku bisa merasakan itu.
Ayah, bunuh saja aku jika itu melegakan hatimu dan membuatmu senang. Bunuh saja aku jika itu bisa mengembalikan pekerjaan dan cita-citamu. Aku tak ingin Ayah menyiksa Bunda lagi. Jika aku menyebabkan semua pertengkaran ini, kembalikan saja aku pada sang pencipta. Aku lebih ikhlas untuk itu,"
Argh!
Aku tak bisa menahan semua ini. Dadaku terasa sesak mengingat itu. Bunda yang selalu menyisir rambutku, mengajariku cara berterimakasih, membuatkanku sup ayam saat aku sakit, semua hilang karena diriku sendiri. Ingatan ini menyiksaku, selama itu tanpa Bunda, tapi aku tak bisa melupakan semua ini.
"Tuhan! Biarkan aku kembali padamu. Aku mohon. Berikan aku kesempatan untuk mengakhiri hidupku. Aku ingin bisa bertemu Bunda. Biarkan arwahku menemuinya. Aku tak bisa menahan rindu ini lagi Tuhan!"