Semua ini bukan salahmu

6.1K 467 4
                                    

"Alvan butuh darah banyak. Kamu ikut saya"

Alvin tanpa pikir panjang langsung menganggukan kepalanya dan mengikuti suster untuk menjalani beberapa pemeriksaan baru diambil darahnya.

Setelah pemeriksaan Alvin langsung duduk didepan dokter Raihan. Dokter Raihan menggelengkan kepalanya membuat Alvin sendiri heran.

"kenapa dok?"

"Kamu demam ya? Kurang tidur juga? Kita gak bisa ambil darah kamu vin"

Alvin mengusap wajahnya frutasi. Lalu ia harus bagaimana? Ini lebih menyakitkan daripada apapun. Adiknya membutuhkan bantuannya tapi ia tidak bisa melakukan apapun untuknya. Adiknya kesakitan tapi ia bahkan tidak bisa membantu adiknya untuk mengurangi rasa sakit itu.

"lakukan apa aja dok. Ambil saja darah saya. Saya terima resikonya. Apapun"

Dokter Raihan mengelengkan kepalanya dan berdiri lalu menepuk bahu Alvin yang sudah menahan isakannya lagi.

"kamu tenang dulu. Adik kamu kuat. Kita carikan di PMI ya semoga saja ada"

Alvin mengangguk dan memijat pelipisnya serta berkali kali menahan air matanya agar tidak jatuh begitu saja. Bahkan Alvin diam saja ketika Dokter Raihan meminta suster Naira memasang infus ke dirinya.

Alvan tahan. Kamu pasti kuat.

Alvin terbangun dan merasakan nyeri dipungung tangannya akibat infus yang baru saja dipelas oleh suster Naira. Alvin membiarkan suster itu memplaster tangannya.

Ia tiba-tiba teringat Alvan langsung terduduk dan suster Naira sedikit terlonjak kaget karna aksi tiba-tiba Alvan.

"Adek saya sus?"

"sudah. Sudah dapat darah dan mungkin saat ini proses tranfusi darahnya hampir selesai"

Alvan langsung membuang nafas dengan lega yang sempat tertahan. Ia mengelus dadanya dan mengucapkan syukur berkali kali.

Tidak lama kemudian setelah suster naira meninggalkannya di ruangan dokter Raihan, si pemilik ruangan datang. Dokter Raihan dengan berbagai dokumen ditangannya dan wajah frustasi.

Alvin jadi tengang sendiri apa itu ada hubungannya dengan Alvan? Adiknya baik-baik saja kan? Alvin ingin menegur dokter Raihan tapi dokter Raihan sudah memanggilnya dahulu

"Vin? Udah bangun? Udah kuat kan? Kesini deh"

Alvin perlahan turun dari brangkar dan duduk didepan dokter Raihan. Ia menatap dokter Raihan horor sekaan menuntut bahwa keadaan Alvan harus baik-baik saja.

Dokter Raihan membuka satu persatu isi amplop yang ditangannya tadi. Berkas berkas bernamakan Alvanno Xavier dengan segala keadaannya sekarang ini membuat Alvin mendadak pusing.

"Adik kamu udah bangun dan dipindah ke ruang rawat. Saya udah bilang ke dia kalau kamu harus diinfus vitamin karena semalam demam"

Alvin hanya mengangguk-anggukan kepalanya saja tanpa berniat menjawabnya. Alvin tidak berniat memotongnya karna tahu dokter Raihan akan menjelaskan rinci keadaan adiknya saat ini.

"Van, adikmu kayaknya harus dirawat disini. Dia harus menjalankan kemoterapi"

Alvin memejamkan matanya lalu memukanya perlahan berharap semua mimpi. Tapi tidak, semua ini nyata. Adiknya dalam kondisi tidak baik.

"Kamu harus bujuk dia vin buat homeschooling dan dia harus dirawat intensif dirumah sakit. Kankernya udah menyebar ke saraf motoriknya yang otomatis pergerakan dia bakalan terbatas. Mungkin sekarang tidak tapi kalau kita tidak melakukan kemoterapi dia akan benar benar-"

"Lumpuh?"

Pertanyaan sekaligus pemotongan Alvin tidak dijawab apa-apa oleh dokter Raihan. Dokter Raihan hanya tertunduk Alvin tahu dokter Raihan juga sama sedihnya dengan dirinya pasalnya Alvan dan Alvan sudah dia anggap seperti anak sendiri.

Alvin mengusap air matanya yang tiba tiba tertetes deras bahkan dadanya sesak seperti ditimba berton-ton batu besar.

"sta-stadium bera-pa?" tanya Alvin dengan usahanya menyembunyikan sesegukannya

"3 B"

Alvin semakin tak terkendali bahkan ia tidak peduli didepan dokter Raihan ia menangis tanpa kendali. Alvan yang dari tadi ikut menguping memundurkan langkahnya dari ruangan dokter Raihan. Awalnya ia mengikuti dokter Raihan untuk melihat kondisi Alvin yang katanya demam tapi ia malah mendengarkan percakapan mereka yang menyatakan bahwa leukimia yang dideritanya semakin parah.

Alvan lari. Lari sekencang mungkin. Lari entah ia ingin lari lebih cepat walaupun ia lari dengan menyeret sedikit kakinya kanannya yang masih kaku sekali. Alvan tidak tau ingin kemana ia bahkan memasuki lorong-lorong rumah sakit yang jarang dijamah pengunjung disini. Ia ingin lari sekencang mungkin dari kehidupan ini. Ia ingin sekali semua hal yang ia dan Alvin jalankan adalah mimpi buruk terpanjangnya dikehidupan nyata. Tapi, ini adalah kenyataan. Kenyataan pahit.

BRAK

PRANG

Alvan yang tubuhnya memang sudah lemah dan ketika ia menabrak sesuatu didepannya dirinya terjatuh begitu saja. Alvan ingin bangkit tapi lagi-lagi kakinya tidak bisa. Kedua kakinya seakan tidak mau menurut pada dirinya.

Alvan menutup wajahnya dan menangis sesegukan. Kepala dan hatinya seakaan kompak menertawakan kebodohan dirinya saat ini ditambah setan-setan yang memanasinya. Alvan semakin menundukan wajahnya dan memukul kecil kepalanya yang makin menertawakannya.

"Bodoh! Bodoh! Gak berguna!"

Alvan menghentikan aksinya ketika ia merasa ada seseorang yang menghentikan tangannya dengan mengengam erat lengannya. Alvan mendongak dan matanya sedikit buram untuk mengenali gadis yang ia tabrak barusan.

Alvan berusaha menghapus air mata yang terus mengalir deras. Tapi lama kelamaan ia jelas. Bahkan sangat-sangat jelas untuk mengenali sosok didepannya ini. Gadis itu tersenyum simpul seakan menenangkan dirinya dan dengan lembut mengusap kepalanya dengan perlahan dan berulang kali tapi entah sihir apa gadis itu menenangkan Alvan yang sedang kacau-kacaunya.

"gak papa, semua ini bukan salahmu"

Kata-kata gadis itu seakan sihir bagi Alvan. Gadis itu berulang-ulang mengucapkannya membuat nafas Alvan yang sempat sesak perlahan membaik.

Mereka masih saling menatap tapi bibir gadis itu tidak henti hentinya mengatakan kata-kata ajaibnya sedangkan Alvan menatapnya penuh terima kasih. Alvan ingin mengucapkannya tapi ia ia bahkan tidak sanggup bicara.

Alvan sadar. Gadis itu. Anak baru disekolahnya. Teman sebangkunya. Alvan sadar jika anak baru ini membuka mulut maka semuanya berubah semua warna disekolahnya akan menatap jijik padanya katna dia penyakitan dan ada yang menatap kasian lalu hidup Alvin juga akan berubah karena Alvan tidak mempunyai teman disekolah jadi dia harus menemani Alvan disekolah.

Tidak. Alvan harus mengancam gadis itu agar tidak membocorkan tentang ini semua. Tapi entah kenapa, kata kata ajaibnya dan tatapannya seolah melumpuhkan semua yang ada dipikiran Alvan.

Hati Alvan seolah-olah mempercayai gadis ini. Bahkan sangat-sangat mempercayainya.

ATempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang