Alvin mengacak rambutnya melihat Alvan lagi-lagi collaps seperti ini padahal tadi pagi baik-baik saja.
Alvin menatap Alana yang mengangguk seolah berkata semua akan baik-baik saja meskipun bibirnya hanya terdiam.
"Bertahan van. Please"
Kata-kata itu terus diucapkan Alvin didalam hatinya. Seolah yakin kalau Alvan bakalan menurutinya dan seolah yakin kalau Alvan mendengarnya.
"Gimana keadaan Alvan?"
Alvin menoleh ke kepala sekolahnya dan dua guru dibelakangnya. Alvin menghela nafas menyadari bahwa tadi Alvan pingsan disekolah "doakan aja ya pak"
"Pasti kita doakan, nak Alvin. Kabari kalau ada apa-apa ya. Saya sama guru-guru pamit dulu karena kamu tau sendiri disekolah ada UAS nanti kalian nyusul ya ujiannya"
Alvin mengangguk lalu mencium tangan guru-guru dihdapannya diikuti Alana. Alvin menghela nafasnya ketika mereka berjalan keluar dan tidak lama dokter Raihan keluar dari UGD.
"Gimana dok?"
"Kamu ikut saya sebentar ya vin. Kita bahas diruangan saya"
Alvin mengangguk dan menepuk Alana sebagai rasa berterima kasih dan pamit untuk mengikuti dokter Raihan ke ruangannya. Alvin memposisikan duduknya dan dokter Raihan mengambil beberapa berkas dilaci bawahnya dan mengambil beberapa berkas.
"Vin, saya perlu persetujuan kamu buat bisa ngelakuin kemo untuk Alvan"
Alvin tercengang "se-separah itu?"
Dokter Raihan mengangguk "Sel-sel kanker yang ada ditubuh adikmu berkembang biak cepat dan kita harus bertidak lebih cepat lagi daripada itu. Kita harus membunuh mereka dan satu-satunya cara adalah kemoterapi"
Alvin menghela nafasnya dan mengangguk lalu membuka berkas-berkas coklat dan ia tanda tanggani dengan cepat tanpa persetujuan Alvan. Alvin tahu, Alvan akan menolak. Bertahun-tahun Alvan menolak perihal kemoterapi karna terlalu menyakitkan dan dirasa percuma toh dirinya akan tetap mati nantinya tapi Alvin tidak ingin sendirian. Alvin terlalu takut kalau Alvan meninggalkannya.
"Besok kita kemoterapi untuk sekarang saya bakalan melakukan tes darah sama radiologi dan nanti malam kita ke dokter Rendra untuk tes gigi. Saya mohon kamu yakinkan Alvan untuk siapin mental ya, kamu tahu ini menyakitkan bukan?"
Alvin mengangguk dan tersenyum perih "iya dok. Alvan udah sadar?"
Dokter Raihan berdiri ketika Alvin berdiri dan membawa anak itu ke pelukannya "Kamu anak yang kuat, Alvin. Pasti ayah kamu bangga punya anak kayak kamu"
Alvin mendorong sedikit dan menghindar dari pelukan dokter Raihan "Tumben banget sih dok bahas keluarga apalagi tentang papa"
"Udah sana, Alvan udah bangun pasti"
Alvin mengangguk dan melangkah keluar ruangan dengan rasa penasaran dan ragu tentang ucapan dokter Raihan. Selama melangkah ia berusaha mengabaikan atas pemikiran-pemikiran tidak masuk akalnya tentang hubungan masa lalu ayah dan ibunya dulu.
"Vin!"
Alvin menoleh ke teman-teman Alvan yang sudah berlarian ke arahnya. Ia mendengus kesal diantaranya juga ada Alex entah kenapa dirinya sebal tanpa alasan terhadap teman Alvin yang satu itu.
"Alvin, gimana Alvan? Baik- baik aja kan?"
"Iyaaa... Gimana keadaan sohib gua"
"iya! Gimana? Gak parah kan?"
Alvin menatap Daniel, Faris, dan Reno lalu menatap Alex yang menatapnya datar bahkan tidak menanyakan apapun seperti teman-teman Alvan lainnya yang khawatir.
KAMU SEDANG MEMBACA
A
Teen FictionBagi Alvin, Alvan adalah segalanya. Alvan adalah nafasnya, Alvan denyut nadinya, Alvan adik sekaligus keluarga satu-satunya. Dirinya bahkan merelakan apapun bagi Alvan. Apapun. Agar Alvan tetap disampingnya dan berjuang dengannya. Bagi Alvan, ia mem...