Empat Puluh Empat

16.3K 2.2K 92
                                    

Asa mencelup syal Thanay ke dalam air danau. Bercak darah pada ujung jarinya perlahan memudar. Syal yang semula cokelat karena tanah dan darah kembali ke warna semula, hijau. Asa terkesiap. Air dalam danau bukan air biasa. Tadi dia memang mengambil air, tapi tidak menyadari keajaiban di dalamnya. Asa menarik syal itu, membiarkan air tertampung dalam serat-seratnya. Asa kembali ke tempat Thanay berada. Jejak tetesan air mengikuti langkahnya.

Kepala Thanay bergerak tak karuan ke kanan kiri. Asa berlari penuh kepanikan mendapati kondisi Thanay yang mendadak berubah. Dia sudah berulang kali mengecek suhu badan Thanay dan yakin demam pria itu sempat turun.

"Apa yang harus aku lakukan?" gumam Asa. Dia meletakan syal di sisi badan. Menggunakan kedua tangan, Asa merangkum wajah Thanay, menahan pria itu bergerak serampangan. Dalam situasi terburuk, seseorang harus menjadi tegar. Asa tahu dia semestinya tenang dan memikirkan sebuah solusi, tapi dia menghadapi Thanay yang sekarat.

Gallea mungkin bisa memberikan masukan, hanya saja Asa teringat betapa benci dan kesalnya Gallea tiap kali mendengar nama Thanay. Asa tidak mengharapkan tebasan pada leher Thanay sebagai bentuk solusi dari Gallea.

Asa bisa saja meninggalkan Thanay untuk pergi ke kuil Penjaga Dunia dan mengajak Eoden ke sini. Namun dia cemas membiarkan Thanay sendirian dalam kondisi tidak sadarkan diri. Kemampuan teleportasi Asa masih payah dan nyaris tanpa jaminan akan tiba di tempat tujuan. Asa mual membayangkan dia dan Thanay melompat ruang ke dalam istana. Dia harus memikirkan sesuatu.

Thanay lebih tenang, tetap saja masih menghawatirkan. Asa mengambil syal, memeras airnya sedikit ke mulut Thanay. "Minumlah sedikit," kata Asa agak merintih. "Oh, aku harusnya mengambil ekskul PMI saat sekolah. Aku tidak akan sebodoh ini menangani Thanay."

Dia berlari ke tepi danau. Tangannya membentuk mangkuk dan menyendok air. Dia bergegas kembali, menyuapkan air ke mulut Thanay. Air itu mengalir keluar melalui sudut bibir. Asa mengambil syal dan diletakan di kening Thanay. Dia berlari ke tepi danau lagi untuk mengambil air menggunakan tangan, lalu menuju Thanay. Kali ini dia meminum airnya. Asa membungkukan badan, menempelkan bibirnya pada bibir Thanay. Dia mengalirkan air ke dalam mulut Thanay pelan-pelan.

Sentuhan bibir mereka tidak pantas disebut ciuman, hanya sentuhan ringan demi membantu salah satu yang sekarat. Namun Asa menyukai sentuhan mereka. Bibir Thanay kering berbau besi dan asin darah sekaligus manis. Bibir Thanay manis dan menggoda, tipis dan pas bersatu dengannya. Andai Thanay sadar, apakah sentuhan mereka akan menjadi ciuman panas.

Kemudian kilas ingatan itu hadir. Asa berpindah ke sebuah lorong panjang dan remang. Pintu di ujung lorong terbuka sedikit dan cahaya keluar dari sana. Asa mendekat. Berjalan perlahan sambil menajamkan telinga pada suara dua orang di balik pintu. Tangan Asa terentang hendak menggapai gagang pintu berhias kepala singa dari tembaga. Satu suara dengan jelas terdengar.

"Hentikan, aku mohon."

Thanay?

Asa menarik tangannya.

"Kau menikah dengan Mir. Aku tak sanggup membayangkan kau akan seperti pria lain. Mir terlalu mudah dicinta."

Asa menegang. Suara yang lain, suara Cissa.

"Ini perintah Yang Mulia. Aku harus menikah dengan Mir."

"Kenapa kau? Kenapa bukan Donalen?"

Ada hujaman tak kasat mata menyerang dada Asa. Cissa dan Thanay dalam ruang rahasia. Mereka berdua. Asa menutup mulut atas spekulasi yang datang.

"Cissa, sekalipun Don yang menikah dengan Mir, aku tidak akan bisa menikah denganmu. Kau calon ratu. Dan aku-"

"Kau panglima, Thanay. Kau penyelamat kerajaan kita. Kenapa Ayahanda membuatmu menikah dengan Mir? Mengapa bukan aku?" Suara Cissa naik. Tidak butuh mengintip pun Asa tahu, Cissa menangis dan marah.

"Aku mencintaimu, Ratu Cissa."

Ucapan terakhir Thanay menyentak Asa. Dia menjauhkan diri dari bibir Thanay. Airmata luruh membasahi pipi.

Buruk, sungguh buruk. Jadi ini kutukan yang diterima Mir. Asa menggosok punggung tangannya pada bibir, jijik pada perbuatannya bersama Thanay.

Dia tidak bisa membiarkan Thanay tetap di sini atau dia sendiri yang akan membunuh Thanay dengan kedua tangannya. Thanay harus pergi. Jauh dari hutan dan hidupnya.

Mata Asa membesar. Dia tahu ada yang bisa membantunya. Tentu saja selalu ada yang bisa membantunya dengan pengetahuan tanpa batas.

***

"Apa kabar, Obire?" Asa mengangkat tangan dengan canggung.

Obire menggeleng anggun menyebabkan bunyi berderak karena helm peraknya. "Kau mempunyai selera yang unik, Ratuku. Apakah kau menawarkan tempat ini untuk menjadi persembunyian? Aku pikir Yolessis mempunyai segala kebutuhan melarikan diri."

"Menyenangkan tahu dirimu masih sama sinisnya," kata Asa. Goa tampak sempit dengan keberadaan Obire di dalamnya.

"Bisakah kau membawa yang satu ini?" Asa menggeser badan untuk menunjukkan Thanay yang terbaring.

"Pria itu mencarimu, menembus kegelapan hutan Taraya dan ratusan Tywolf."

"Terima kasih untuk informasinya," ucap Asa sarkas. Dia tidak mau tahu kemalangan apa yang dihadapi Thanay. Dia mual setiap kali melihat pria itu. Kenangan Mir telah terbuka, sakit hati dan jerit tangis menyatu dalam pengalamannya.

"Apakah ada sesuatu?" Obire menurunkan sedikit kepala.

Asa menggeleng. "Aku tidak ingin membicarakannya sekarang. Tolong aku membawanya kembali ke rumah..." Rumah itu bukan rumahnya lagi. Sejak awal rumah itu dibangun Thanay untuk hidup bersama Cissa. Mir hanya kebetulan ditarik Raja Artha untuk menempatinya. Selamanya rumah itu bukan untuk Mir maupun dirinya. "Panglima ini."

Obire menegakan kepala. Matanya menyipit pada Asa. "Aku tahu ucapanku tak tepat, Ratuku. Namun aku-"

"Berhentilah bicara. Aku memerintahkanmu membawanya kembali ke rumahnya!"

"Maafkan aku. Perintahmu adalah harga diriku dan seluruh Yolessis, Ratuku." Obire maju. Dia mengangkat satu kaki depannya.

Asa mencegah. "Apa yang mau kau lakukan?"

"Membawanya pergi sesuai perintah Anda, Yang Mulia."

"Dengan kakimu? Mencengkeramnya?" Asa terbelalak kaget.

"Tak ada pilihan lain. Aku tidak yakin sanggup mempertahankan dirinya di atas punggung saat dia tidak sadarkan diri."

"Kau..." Asa mengerang. "Tundukan badanmu. Aku akan memegangnya di punggungmu. Aku harap kau terbang dengan lembut."

"Permintaan yang sulit, Ratuku. Teleportasi naga tidak mudah." Obire menundukan badan. Asa meminta pertolongan alam untuk mengangkat Thanay ke punggung Obire. Kemudian dia memanjat badan Obire untuk sampai ke dekat Thanay dan memegang lengan pria itu. Rasanya jijik, tapi dia menahan mual.

"Sekali ini, bawa kami dengan cepat dan aman. Aku mohon."

"Tentu saja."

SurealTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang