Hari-hari berlalu di kediaman Thanay dalam kekikukan. Jantung Asana rasa-rasanya mulai kehilangan kemampuan memompa darah, tiap malam dia akan dikejutkan kedatangan Thanay masuk ke kamar Inatra. Ya, beberapa hari ini sejak kepulangan Thanay, mereka bertiga tidur bersama di ranjang Inatra. Selalu dalam posisi yang sama, Inatra di tengah membatasi Asa da Thanay.
Namun sebaik-baiknya mereka dalam keadaan demikian, Asa khawatir Thanay akan menyadari identitas aslinya. Apalagi dia belum juga berkesempatan menemui Cissa. Dia ingin mengetahui bagaimana interaksi Mirallae dan suaminya. Akan sangat ganjil jika dia selalu menghindari sentuhan Thanay yang mengenalnya sebagai Mir.
Semakin lama dia berdiam di dalam rumah, sedikit banyak Asa dapat mengambil sebuah pemikiran bahwasanya Mir bukanlah istri idaman. Tidak melayani suami yang tenar sebagai panglima paling ramah dengan sejarah pernah jadi pahlawan penyelamat bangsa ini. Mir juga digambarkan bukan ibu yang merawat anaknya. Dan Mir terkenal akan kesombongannya. Hasil menguping pembicaraan dua pelayan dan tetangga memunculkan satu pertanyaan di kepala Asa, bagaimana Mir bisa bertahan dalam semua pergunjingan ini sementara sebelum kematiannya dia masih memikirkan Inatra, itu pun jika benar Mir sudah meninggal.
Sejak pagi Thanay sudah berangkat ke balai pengawasan, tempat lembaga penjagaan benteng dan area dalam kerajaan karena adanya rapat para panglima penjaga yang dipimpin sang raja di sana. Asa ingin sekali ikut ke sana, dia ingin bertemu sang raja yang merupakan adik kandung Cissara dan adik ipar Donalen. Namun dia takut Thanay mencurigainya.
Inatra sendiri pergi ke balai pendidikan, tempat para pengajar, pelajar, peneliti, pengembang, dan ilmuwan berkumpul. Semacam sekolah yang dilingkupi sihir penjaga. Hanya mereka yang terdata sebagai anggota yang bisa masuk ke sana dan banyak ruang yang dijaga oleh Ameta. Asa diberitahu Jash soal Ameta penjaga yang tidak akan sungkan membelah kepala orang yang melanggar aturan. Mengerikan sekali, tempat belajar dijaga para juru jagal.
Bosan sendirian di rumah, Asa berniat berjalan di sekitaran desa. Semoga saja dia bertemu seseorang yang mengenal Mir sama baiknya dengan Cissa. Sehingga dia tidak merasa lelah menduga-duga bagaimana dirinya akan berlakon. Walau dia tetap akan memilih sikap mana yang dia tiru dan tidak. Asa bukan Mir, belum lama menjadi pengganti Mir saja kepalanya sudah mau pecah melihat sikap para tetangga yang tampak jelas tidak menyukainya, menyukai Mir maksudnya.
"Mir, kau mau kemana?" Mano bertanya saat Asa nyari mencapai pintu.
"Berjalan sebentar. Kepalaku pusing di rumah." Asa selalu membiasakan diri berbicara lembut pada dua pelayan Mir, kepercayaannya dua orang inilah yang kelak akan paling banyak membantunya.
"Kenapa tidak beristirahat saja?" Jash berkata dalam nada datar tapi wajah mengesalkan.
"Aku butuh menggerakan tubuhku agar cepat sembuh," alasan Asa.
Kedua pelayan itu mengangguk dan kembali menyelesaikan kegiatan bersih-bersih mereka.
Asa ingat Inatra pernah bercerita ada balai pengobatan di atas lembah di sebelah timur. Sepanjang lembah ditanami tanaman obat-obatan. Beberapa ada yang merupakan tanaman beracun yang memiliki bunga sangat indah. Asa pikir dia akan ke sana.
Jalan menuju balai pengobatan sangat sepi. Sebagian besar penduduk memang lebih suka membangun rumah ke arah barat istana yang dekat sungai dan hutan yang kaya akan tanaman buah. Di kejauhan Asa sudah dapat melihat balai pengobatan. Bangunannya khas di puncak lembah dan atapnya mengerucut dalam warna merah sangat kontras dengan sekitarnya.
"Mir."
Suara panggilan itu kecil serupa bisikan. Anehnya telinga Asa dapat menangkap bisikan yang mengantar gelanyar tak kasat mata pada sekujur tubuhnya. Segera di memutar tubuh mencari si pemilik suara. Jauh di belokan ada seorang pria dalam pakaian berbahan kulit kerbau menatapnya. Setengah tubuh pria itu terhalangi badan pohon besar. Asa sadar dia tidak mengenal pria itu, wajarnya dia pergi namun kakinya mengingkari harapannya. Tergesa dan agak terseok karena gaun panjang yang dikenakan, Asa berlari menghampiri pria itu.
Jutaan kesedihan tanpa alasan menghantam dadanya. Apapun penyebabnya, Asa yakin pria itu tahu sesuatu tentang Mir. Matanya memanas dan mengabur, di saat dia hampir dekat pria itu berlari menjauhinya. Seketika air matanya tumpah dan isakan kecil menyempitkan paru-parunya. Menghambat aliran udara masuk ke tubuhnya yang lemah.
Siapa dia? Pikir Asa.
"Apa yang kau lakukan dengan Rinom? Ingat kau wanita bersuami. Kembalilah ke rumahmu, jaga harga diri Thanay," hardik seorang pria tua yang tahu-tahu sudah ada di sebelah Asa.
Tidak ada kata yang terucap dari Asa. Kepalanya tidak sedang dalam keadaan bisa membalas perkataan kasar pria tua yang tidak dia kenali itu. Dia hanya bisa menunduk sambil mengusap matanya.
"Jangan membentaknya, Ardo. Dia mau datang ke tempatku. Dia pasienku. Sebaiknya kau pergi!"
Asa mengenal suara itu. Dan aroma tubuh pria yang membalas ucapan pria kasar itu mengingatkannya pada masa dimana dia tertidur di ruangan berdaun pintu besar. Pria yang membelanya adalah kakek tua yang mengobatinya, yang suka datang lalu membakar sesuatu yang berbau.
"Mir, ayo ikut aku," kata Dasen si ahli pengobatan nomor satu di kerajaan ini.
Bagi Asa, mengikuti Dasen adalah sesuatu yang baik. Belakangan dia lebih sering mengikuti intuisinya dibanding menggunakan akalnya. Dia sepenuhnya sadar apa yang diperbuatnya kebanyakan merupakan tindakan spontan namun sekali lagi, tubuh ini selalu menghianatinya.
Mereka berdua masuk ke gubuk yang berjarak agak jauh dari jalan kerikil dan masih berada di kaki bukit balai pengobatan.
"Katakan padaku, apa yang kau lakukan di sini?" Dasen bertanya setelah meletakan cangkir tembaga yang penyok di banyak sisinya lalu menuang air putih dari ceret yang tak kalah mengenaskannya.
Asa bergidik ngeri melihat jamuan Dasen yang tidak sedap dilihat mata.
"Aku hanya berjalan-jalan," jawab Asa membela diri atas pertanyaan yang bernada menyudutkan itu.
"Berjalan-jalan hah? Kenapa ke sini? Kenapa tidak ke kebun beri? Kau sangat terkenal datang ke sana dan mengundang semua anak berkunjung ke rumahmu. Kenapa ke sini?" Dasen berkata meledak-ledak.
Asa terlonjak mendapati sikap Dasen mirip kakek tukang ngomel. "Kenapa tidak boleh ke sini? Apa aku terlarang datang ke sini?"
Dasen menghempas tubuhnya pada kursi kayu panjang yang dialasi bulu beruang. Menyandarkan punggungnya kasar sambil memijat keningnya gusar.
"Dari sekian banyak tempat kau paling tahu Rinom akan berada di sini. Kedatanganmu bukan hanya mengundang kabar buruk tentangmu, Rinom akan berkali lipat menerima kesulitan. Pahamilah, Mir," kata Dasen lemah.
"Rinom? Siapa dia?" Asa keceplosan. Dia menutup mulutnya berharap Dasen tidak mendengar pertanyaannya.
Sayangnya kakek tua itu masih memiliki telinga yang jeli. Dia mendengar jelas apa yang keluar dari mulut Asa.
"Kau tidak tahu Rinom?" Tanya Dasen hati-hati.
Mengaku kenal akan membawa Asa pada konsekuensi Dasen semakin tidak mempercayainya. Satu-satunya cara yang bisa dia lakukan adalah berkilah, "Sejak sadar ada banyak hal yang membuatku bingung. Seperti emm seperti-"
"Seperti lupa ingatan," potong cepat Dasen antusias yang dijawab Asa anggukan cepat. "Aku sempat berpikir ada kesalahan pada kepalamu selama kau tidur berbulan-bulan. Ternyata ini efeknya."
"Bisa kau jelaskan siapa itu Rinom?" Pinta Asa yang beranggapan Dasen mempercayai kebohongannya.
"Kau tidak mengingatnya? Apa kau mengingat Thanay?" Mata Dasen menyipit.
"Aku ingat Thanay suamiku tapi aku tidak bisa mengingat bagaimana kami dulu."
"Apa kau menceritakan lupa ingatanmu padanya?"
"Tidak. Aku tidak ingin mereka khawatir. Aku kemari karena berpikir barangkali aku bisa mendapat pengobatan tanpa sepengetahuan mereka. Aku bahkan bingung kenapa orang-orang membenciku," bohong Asa.
"Astaga, kau datang ke sini ingin bertemu denganku. Maafkan kecurigaanku."
"Tidak masalah. Hanya bantu aku mengingat mereka. Bantu aku kembali sembuh. Aku mohon." Asa semakin masuk ke dalam kebohongannya.
"Tentu saja. Aku akan pergi ke balai pengetahuan, mencari gejala penyakitmu. Kita akan berusaha membuatmu kembali sembuh." Dasen meremas bahu Asa, menyalurkan semangatnya yang makin membikin Asa berdosa.
"Terima kasih. Sebelumnya tolong beritahu aku siapa Rinom."

KAMU SEDANG MEMBACA
Sureal
Fantasy"AAAAKKHHH!!" Pandanganku buram. Entah apa yang sudah terjadi. Pisau itu ada di tangan gemetaran si pemuda. Darah segar merembes blous kuning gadingku. Si jalang memekik seperti melihat hantu. Papa berlari menyongsongku. Dan gelap. Ketika terbangun...