Dua hari mengistirahatkan diri di kamar belum juga menyembuhkan sakit di kepala dan tubuh Asa. Selama itu pula dia kesusahan menemui Inatra. Jash dan Mano selalu menggelengkan kepala tiap kali dia menanyakan keberadaan gadis cilik itu. Di rumah ini hanya ada dirinya dan Inatra. Jash dan Mano hanya datang di pagi hari lalu pergi saat matahari berubah agak jingga. Asa tidak bisa mengetahui waktu, dia menerkanya dari sinar matahari. Jika tubuhnya sudah membaik, mungkin dia akan mencoba melihat jam matahari yang dibilang Mano berada di alun-alun istana. Kembali ke soal Inatra. Anak itu suka sekali pergi dari rumah begitu Jash dan Mano datang lalu pulang setelah mereka meninggalkan rumah. Sekalinya pulang, gadis cilik itu akan beranjak masuk ke kamarnya. Mengunci dirinya di dalam sana. Ruangan yang belum pernah dilihat Asa selain ruangan kerja Thanay.
"Jash, apa kau tahu Inatra suka pergi kemana?'' Asa mencoba mencari celah demi mengetahui keberadaan puteri kecil Mir.
"Aku tidak tahu.'' Jash menampakkan wajah ketakutan. Sebab kemarin Asa sempat marah mendengar jawaban mereka yang acuh. Asa takut terjadi apa-apa pada Inatra jika orang dewasa di rumah ini tidak tahu kemana dia pergi.
"Tapi anak-anak suka pergi ke kebun beri'', sambung Jash. Pertama kalinya Asa mensyukuri mulut comel pelayan ini. "Anak-anak suka memetik beri dan memakannya di bawah pohon seperti piknik.''
"Dimana kebun beri?''
Alis Jash mengerut. Asa tersenyum kecil melihat wajah bingung lawan bicaranya ini. Jujur dia enggan memberikan penjelasan kenapa dia tidak tahu letak kebun itu padahal yang mereka tahu dia adalah Mir, giyom yang lahir dan besar di sini. Jash malah senang melihat senyum Asa, sejak siuman dia mensyukuri perubahan Mir yang menjadi lebih lembut kepada semua orang. "Kebun beri ada di balik lembah itu. Ikuti saja jalan, kau akan sampai di sana.''
Asa mengikuti arah telunjuk Jash. Dia melihat pemandangan di luar jendela. Sebuah bukit kecil di kejauhan. Satu-satunya bukit yang menjulang di antara hamparan pohon pinus. Dia ingin ke sana. Pikirnya berjalan akan membantu penyembuhannya.
"Terima kasih, Jash.'' Asa berjalan menuju pintu, sebelum keluar dia berbalik dan berkata, ''Jika kau sudah selesai, pulang saja. Kunci pintunya. Aku akan ke rumahmu untuk mengambil kuncinya.''
Jash mematung di tempat. Pertama kalinya Mir mengucapkan terima kasih bahkan memikirkan pekerjaannya tanpa bersikap egois. Dan senyum majikan perempuannya itu telah membuatnya turut tersenyum dan bersyukur dalam hati. Semoga perubahan Mir akan selamanya.
Asa berjalan mengikuti arahan Jash. Jalanannya terbuat dari bebatuan. Memang semua yang terdapat di kerajaan ini terbuat dari unsur alam. Unsur alam yang magis bagi Asa. Indah dan memabukkan di satu waktu. Rumah-rumah sebagian besar berbahan dasar kayu dan perak. Jika ada yang terbuat dari bata tak lain adalah istana dan gudang istana yang letaknya di atas bukit sebelah timur.
Beberapa kali Asa berpapasan dengan orang-orang. Dia menyapa mereka ramah. Semua orang itu memberi respon yang sama meski aneh. Terkejut, terbelalak, dan mematung. Asa makin yakin Mirallae adalah sosok yang sangat menyebalkan. Sampai-sampai satu sapaan sederhana bisa membuat orang-orang itu seperti habis melihat medusa. Berubah menjadi batu.
Di kejauhan terlihat sosok-sosok mungil bercengkerama. Asa makin semangat membawa tubuhnya mendekat. Anak-anak giyom memakai pakaian berbahan beludru. Bentuknya seperti yang dikenakan oleh bangsa eropa abad pertengahan. Yang membedakan paling kentara adalah rompi kulit rusa dan tiara perak yang sangat khas di kepala mereka. Baik anak laki-laki dan perempuan memakainya. Tiara sederhana berbentuk batang rambat perak berlilitan. Ada yang terdiri dari dua batang rambat, tiga batang rambat, dan empat batang rambat. Beberapa ada yang memiliki hiasan batu permata kecil seukuran biji jagung. Giyom dewasa memakai hiasan kepala perak yang lebih sederhana. Berpotongan lurus dan melingkari dahi.
Anak-anak yang sedang bercengkerama itu mendadak diam mendapati kehadiran Asa. Wajah mereka dipenuhi tanda tanya. Asa sekedar mengulas senyum menanggapi kebingungan mereka. Bathinnya mengutuk pencitraan jelek yang sudah dibuat Mir sampai anak kecil pun terlihat tidak menyukainya.
"Inatra, nak!!'' Seru Asa sambil melambaikan tangan ke arah gadis cilik yang duduk di bawah pohon. Rimbun pohon itu membentuk payung lebar yang meneduhkan di hari yang terik ini.
Inatra hanya diam di tempat. Matanya tidak lepas melihat Asa yang kesusahan berjalan. Teman di sisi Inatra terlihat sama terkejutnya dengan sekumpulan anak-anak yang pertama ditemuinya. Asa menangkap gelagat tidak nyaman dari bocah laki-laki yang duduk di sisi Inatra itu.
"Inatra.'' Asa mengatur napasnya. Jujur berjalan setelah sekian lama tidur di ranjang akan membuat tubuhmu mudah kelelahan, begitu pula Asa. Dia merasakan dirinya bak perempuan jompo. Kelelahan mendaki bukit yang tidak begitu terjal. Tulang-tulang di tubuhnya pun seperti kaku dan nyeri.
Bocah di samping Inatra pergi tanpa pamit. Inatra jadi mendengus kesal, tatapan marah diarahkan pada Asa. "Apa yang kau lakukan di sini?''
"Mencarimu. Apalagi?'' Asa duduk di sebelah Inatra. Berpura-pura tidak menyadari suasana canggung dan rasa sakit di hatinya melihat perlakuan ketus Inatra. Perasaan yang terlalu sensitif bagi Asa.
"Aku baik-baik saja.''
"Ini sudah siang. Ayo pulang. Waktunya makan siang.''
Inatra menatap Asa dengan pandangan yang tidak dimengerti. Bagi Asa, mata biru pucat Inatra seolah mengintimidasinya dengan segala perasaan misterius.
"Aku tidak lapar.''
"Kalau tidak lapar, tubuhmu tetap butuh makan. Setidaknya agar kau bisa tumbuh besar dan sehat'', rayu Asa. Dia bukan seorang yang berpengalaman dengan anak-anak namun nuraninya menginginkan selalu dekat dengan sosok mungil ini.
"Makan saja sendiri. Kau yang membutuhkannya jika ingin sehat.''
Asa menarik napas. Menahan kesal, kesal pada dirinya yang tidak bisa membujuk Inatra. "Maukah kau menemaniku makan? Kita bisa mengajak teman-temanmu. Mano membuat kue beraroma manis di rumah. Katanya itu makanan kesukaanmu.''
"Kue buah apel.'' Asa mengiyakan nama makanan yang disebut Inatra. Mano memang memanggang kue itu tadi pagi, cara Mano dan Jash memperbaiki mood buruk Asa di pagi hari karena Inatra sudah kabur dari rumah.
"Aku boleh mengajak teman-temanku? Kau yakin?'' Asa ingin mencium wajah lucu Inatra yang mencurigainya. Dia tidak merasa direndahkan oleh tatapan itu. Dia malah menyukai awal keterbukaan ini.
"Tentu, kenapa tidak? Pasti menyenangkan jika rumah kedatangan tamu menggemaskan seperti mereka.'' Asa menggunakan lirikan matanya menunjuk kerumunan bocah yang sedang mengumpulkan beri namun masih mencuri-curi pandang ke arahnya dan Inatra.
"Jika ibuku, dia pasti tidak akan mengizinkan siapapun datang ke rumah.''
Deg.
Asa membeku. Ibu Inatra, bagaimana bisa dia lupa siapa ibu Inatra. Pastinya bukan dia. Tentunya Mirallae. Melihat bagaimana sikap orang-orang kepadanya barang tentu Mir bukanlah seorang yang ramah dan berlapang tangan menerima orang asing datang bertamu. Selain itu Inatra masih belum bisa menerimanya menggantikan Mir, kenyataan terperih. Serasa ratusan bilah belati menusuk sekujur tubuhnya, mengoyaknya hingga menjadi cincangan daging tak beraturan. Hancur.
KAMU SEDANG MEMBACA
Sureal
Fantasy"AAAAKKHHH!!" Pandanganku buram. Entah apa yang sudah terjadi. Pisau itu ada di tangan gemetaran si pemuda. Darah segar merembes blous kuning gadingku. Si jalang memekik seperti melihat hantu. Papa berlari menyongsongku. Dan gelap. Ketika terbangun...