Asa mengikuti bayangan hitam yang terus bergerak menjauh. Kakinya entah sudah berapa kali menginjak kerikil dan ranting pohon, dia tidak peduli. Ada sesuatu yang menyedotnya. Sesuatu yang terasa dekat, sangat dikenal dan dirindukan.
Dia tiba di sebuah padang rumput luas. Sepanjang mata menyisir hanya padang rumput yang dibentengi pohon-pohon pinus. Pinus? Pinus bukan tanaman yang pernah dia lihat sejak tinggal di negeri tempat tinggal Mir. Badannya berputar, mencari jejak bayangan itu. Tidak ada siapapun, bahkan tidak ada tanda-tanda kehidupan lain. Dia sendirian.
Suasana perlahan menggelap. Angin berhembus sepoi dan bergerak makin beringas. Asa mendongakan kepalanya, sejenak terpana akan benda melayang di atas kepalanya. Lalu dia tersentak ketika benda itu bergerak makin cepat. Dia berlari, menghindari benda itu menindihnya. Selangkah lagi akan tertimpa, Asa nekad melompat. Badannya terguling pada tanah yang menurun. Baru berhenti bertepatan bahunya membentur batu yang cukup besar.
"Eugh." Asa meringis kesakitan sambil menyentuh bahu kirinya. Dia berusaha duduk bersandarkan pada batu besar. Angin tidak lagi berhembus tapi ketenangan yang memilukan menyadarkan Asa pada benda yang nyaris menimpa badannya. Kepalanya terangkat. Betapa terkejutnya Asa menemukan seekor hewan raksasa berdiri gagah. Naga layaknya dalam dongeng. Berbadan kekar dan berlapis baju zirah keemasan. Pada bahu sang naga terdapat pelapis yang menampilkan lambang sayap naga dan satu tangkai gandum. Kepala sang naga dilapisi pelapis kepala yang mengkilap tetapi Asa bisa melihat jelas mata kuning kunyit sang naga yang menatapnya.
"Siapakah dirimu?"
Sang naga tidak membuka mulutnya sama sekali. Asa mendengar suaranya melalui hatinya. Tidak dapat dipercaya, Asa melakukan kontak bathin dengan seekor naga legendaris.
"A-aku..." Asa bimbang. Apa jawaban yang sepantasnya diberikan? Jujur menyebutkan nama aslinya atau berpura-pura sebagai Mirallae.
"Apakah kau memiliki nama, wahai perempuan berwajah serupa Mir dari sisi barat Hutan Tunjha?"
"Ka-kau tahu?" Saking terkejutnya, Asa sampai membentur batu penyanggah punggungnya. Nyeri sekali. Dia meringis, luka pada bahunya makin ngilu.
"Sama bodohnya dengan Mir. Apakah kau akan menyebutkan namamu?" Sang naga menggeleng kecil.
"Ya, ya, aku Asa," jawab cepat Asa. Dia sudah beberapa hari ini berusaha mencari segala hal yang berkaitan lembah batas dunia dan naga, jika dia bertemu sang naga malam ini sudah sewajarnya dia manfaatkan dengan baik.
"Apa yang kau inginkan dariku?"
"A-aku inginkan?" Asa tidak paham maksud ucapan sang naga. Dia merasa tidak memanggil naga raksasa itu. Tapi soal yang dia inginkan, Asa punya keinginan. "Apa yang terjadi padaku?"
"Apa itu sebuah keinginan, Asa?"
Kepala sang naga menunduk sedikit. Bunyi gemerak perisai kepalanya menimbulkan gerak angin pada rerumputan. Mata sang naga meneliti Asa yang berani menatapnya balik.
"Aku ingin tahu apa yang terjadi padaku hingga bisa sampai di negeri Mir," jawab Asa. Dia mati-matian menahan gugup. Takut sekali berhadapan seekor naga raksasa bersayap nyaris seratus meter jika terentang.
"Bukankah kau sudah bertemu Mir?"
"I-iya."
"Bukankah dia sudah mengatakan alasan memanggilmu?"
"I-iya."
"Dan apa yang kau inginkan lagi?"
"Bagaimana bisa aku dibawa ke sini? Ada banyak hal yang memusingkan. Mir tidak sesederhana itu membawaku ke sini. Ada begitu banyak misteri."
"Kau ingin mengetahui semuanya?"
"Ya."
"Bahkan jika itu menyakitkan?"
"Apa maksudmu?"
"Mir menyerah pada takdirnya dan memanggilmu."
"Jelaskan secara terperinci."
"Jika kau tahu, maukah kau mengembalikan kejayaan bangsaku?"
"Kejayaan bangsamu?"
Sang naga mengangguk anggun.
Asa menopang badannya menggunakan tangan kanannya. Berusaha berdiri dengan perlahan. Kondisinya sudah berantakan. Tanpa alas kaki, baju berlumur lumpur, rambut acak-acakan, wajah kumal, dan rembesan darah pada bahu kirinya. Asa bak kelinci yang mudah dilibas dalam satu kali percobaan memanah. Namun Asa menyorot sang naga penuh keberanian.
"Apa itu bayaran untuk semua ketidaktahuanku?"
"Bayaran yang sangat setimpal."
"Baiklah. Beri tahu aku semuanya," kata Asa mantap.
Sang naga menurunkan sayapnya hingga menyentuh tanah. Asa dibuat paham akan permintaan tidak terucap sang naga, dia memanjat sayap yang bentuknya mirip sayap kelelawar. Dia duduk pada punggung bidang sang naga yang pada baju zirahnya terdapat semacam pelana dan tali kekang. Asa menggenggam tali kekang itu dengan dua tangan.
"Bersiaplah menikmati perjalanan udara pertamamu, Asa."
Asa belum sempat meneguk ludah dan sang naga sudah terbang. Angin kencang menerpa wajah Asa. Matanya merapat dan bibirnya mengulum ketakutan, rambut dan gaunnya melayang dibawa angin. Pelan-pelan gerak sayap sang naga melembut. Asa beranikan diri membuka matanya. Dia terpana. Pemandangan hutan di bawah kakinya, luar biasa indah. Bulan terang di atas kepalanya. Arak-arakan awan dan suara hewan malam, Asa merasa bagai masuk ke dalam mimpi. Terlalu indah untuk dibangunkan.
"Kita mau kemana, tuan?" Asa berteriak mengalahkan suara sepoi angin.
Sang naga melirik sekilas lalu balik melihat ke depan.
"Ke rumahku."
"Apa kau yakin?"
"Bukankah kau ingin tahu semuanya?"
Asa pernah membaca satu paragraf dalam buku yang dipinjam dari perpustakaan kerajaan. Naga tinggal berkoloni di negeri naga yang terlarang bagi bangsa lain.
"Bukankah tempat tinggal naga terlarang bagi makhluk lain?"
"Jangan sok tahu, Asa."
Alis Asa naik. Dia tidak paham. Mungkinkah buku-buku yang dibacanya tidak benar-benar memaparkan kebenaran?
###
18/02/2018
Huft... sampe di sini juga

KAMU SEDANG MEMBACA
Sureal
Fantasy"AAAAKKHHH!!" Pandanganku buram. Entah apa yang sudah terjadi. Pisau itu ada di tangan gemetaran si pemuda. Darah segar merembes blous kuning gadingku. Si jalang memekik seperti melihat hantu. Papa berlari menyongsongku. Dan gelap. Ketika terbangun...