__
Aku berdiskusi dengan mata, ia menyangkal bahwa melihat sebuah bayang .
Hati tampak memberontak, bersikeras bahwa bayang itu adalah nyata.
Mata menilik ruang, hampa, bayang itu entah lenyap entah tak pernah ada.
Hati merasa-rasa, gila, bayang itu entah menetap entah tak mengada-ada.__
Sekolah terasa membosankan. Pelajaran sastra yang biasanya kusambut antusias pun tak masuk ke dalam otakku. Otak ini kelebihan kapasitas akibat memikirkan seseorang yang mendung pertemukan tadi pagi.
Alunan piano seseorang itu seakan menggiringku untuk bertemu dengannya lagi. Bahkan suasana kelas yang bising, teriakan histeris anak-anak perempuan yang mengintip pertandingan bola basket dari balik jendela, sampai bell pulang sekolah yang berbunyi nyaring pun tidak berhasil membuatku beranjak dari bangku. Masih bermain di dunia lamunan jika saja si ketua kelas tidak mengusirku pulang karena kelas akan segera dibersihkan para petugas piket.
Aku tidak tahu siapa dia. Hanya mengetahui fakta jika ia cukup tampan dengan manik coklat gelapnya.
Di perjalanan pulang, aku melewati jalanan yang sama. Hanya suasananya yang berbeda; piano di pinggir kafe itu tak ada yang memainkan. Dan tiba-tiba hati ini merasa kosong, semacam ada yang hilang namun tak sepatutnya dicari.
Aku masih berpijak di tempat yang sama sejak memandangi piano itu sepuluh menit yang lalu.
Piano yang kini membawa ilusi makhluk itu kembali membayangi. Dengan denting yang seolah berdesing tanpa henti, mencipta sendu sesuai dengan penggalan lirik lagu itu,
‘memangnya siapa yang peduli siapa dirimu ketika desiran itu mengalir dalam dirimu?’
Oh! Desiran itu hanya sebatas rasa penasaran atau telah menjelma menjadi ketertarikan?
Entah ilusi yang menjadi nyata atau sekadar halusinasi yang terlihat nyata, aku melihat si sosok itu—lagi.
Berjalan keluar dari kafe sembari menggenggam satu cup minuman berwarna hitam. Long Black? Americano? Apapun namanya yang jelas netraku mulai mengikuti apapun yang ia lakukan.
Ia yang berhenti di sebuah halte, menyeruput minuman itu dengan tangan kanannya, sedangkan tangan kirinya mengeluarkan ponsel dari saku dan mengetikkan sesuatu disana.
Mungkin karena terlalu sibuk berkutat dengan ponselnya, ia tak kunjung naik ketika bus—yang ketiga kalinya—berhenti untuk menaik-turunkan penumpang.
Apa yang manusia itu tunggu?
Bodohnya, aku terlambat sadar ketika tiba-tiba dia menoleh ke arahku yang sontak membuatku cepat-cepat membuang muka. Takut tertangkap basah tengah mengawasi si empunya.
Bodohnya lagi, aku berbalik melarikan diri ke arah selatan, sedangkan arah rumahku adalah utara, arah dimana si manusia itu duduk dengan raut datarnya yang sialnya tetap terlihat tampan.
Hei Tuan, aku ingin mengajakmu basa-basi, tapi bibir ini tak berani mengujar diksi.
Kelu. Menatap dari jauh lalu berasumsi, mendekatimu semacam imajinasi.
⬆️Sajak Tuan Juni [2]⬆️
○○☆○○
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Juni | NJM ✔
PoetryIni bukan tentang terik yang mengalah agar mendung menyinggah. Ini tentang Juni yang kehilangan hujannya. ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ "Namaku Hara, siapa namamu?" ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ "Aku lahir di bulan Juni." ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ "Baiklah, aku akan memanggilmu Tuan Juni." ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ Start: 13 Juni 2...