7. Tuan Penikmat Kopi

648 213 18
                                    



__

Yang hitam tak selamanya kelam.
Yang kelam tak selamanya muram.
Yang muram tak selamanya bungkam.
Yang bungkam pun bisa tersenyum masam.

Si masam itu dirimu, Tuan.
Penikmat kopi hitam yang bercengkerama dalam diam.
Ia terpejam, mencumbu getir dalam kepulan.
Ia bilang, bubuh manis gula hanya bualan.
Sedang kopi hitam apa adanya, untuk itu Tuan mencintainya.
Lalu aku? Puan anti kopi, memilih mencintai Tuannya saja.
__



















Tuan Juni menyeruput minumannya dengan tenang. Disini aku yang kelasah-kelusuh membayangkan betapa pahitnya kopi hitam tanpa gula.

“Bisa buatkah secangkir teh?”

Aku tertegun, dia ingin menikmati kopi hitam sekaligus teh dalam waktu bersamaan?

“Tunggu sebentar.”

Kukerahkan kakiku kembali menuju ke arah dapur, disana tersedia 3 macam teh dalam wadah yang berbeda. Dia ingin apa? Black tea? Jasmine tea? Atau green tea?

Lantas aku memutuskan meneduh green tea yang tidak lain adalah teh kesukaanku.

“Ini.”

Kuletakkan sebuah cangkir bening yang mulai membaur dengan warna hijau teh ke meja di hadapan Tuan Juni, sedang pemuda itu menyeruput kembali kopi hitamnya usai berkata, “Minumlah.”

“Huh?”

“Aku minum kopi dan kamu minum tehnya. Aku tidak suka minum sendirian.”

Seketika wajahku memasang raut bingung saat memproses ucapannya. Ternyata dia memintaku membuatkan teh yang tak lain untuk diriku sendiri?

“Bukankah ini pesananmu? Tenang saja, aku bisa membuat teh lagi untukku sen—” ucapanku terhenti tatkala dia menatapku dengan sorot seolah tak mau dibantah.

Segera kusesap teh itu usai menghirup aroma harum yang menguar tanpa bubuh gula didalamnya, seperti halnya pemikiran Tuan Juni, manis gula hanyalah bualan.

“Kamu pasti bertanya-tanya mengapa aku suka kopi hitam pahit ini. Sekarang giliran aku yang bertanya, mengapa kamu suka teh hijau tawar itu?”

“Darimana kamu tahu ini tawar?”

“Tidak ada butiran gula didalam cangkirmu.”

Aku meringis canggung mendengarnya. Kemudian menjawab pertanyaan Tuan Juni yang dilontarkan sebelumnya.

“Jawaban atas pertanyaanmu sama dengan mengapa aku menyukaimu, Tuan Juni. Tidak ada alasan khusus. Rasa suka itu hadir begitu saja, spontan, dan mengalir sebagaimana kopimu di kerongkonganmu.”


Tunggu.

Apakah aku sedang mengungkapkan perasaanku kepadanya?

“Alangkah baiknya jika kamu tidak menyukaiku.”

“Mengapa?”

“Menurutmu adakah yang mau menyukai seseorang yang gila?”

“Apa maksudmu, Tuan?”

“Aku pengidap Paranoia.”

Paranoia?




















Mencintaimu adalah visi.
Mencipta bahagiamu adalah misi.
Dan akankah kau mencintaiku adalah pertanyaan tanpa kisi-kisi?

⬆️Sajak Tuan Juni [7]⬆️


○○☆○○

Tuan Juni | NJM ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang