__
Mendung tak terik tak pula dingin.
Tak cerah tak gelap jua.
Mendung pandai memberi harap.
Pandai pula mematahkan harap.Mendung tertawa kala manusia berbalut resah.
Lalu tersedu kala manusia justru gembira.
Yang resah itu aku, yang gembira itu Tuan.
Aku resah kala mendung mempermainkan awan.
Hujan turun tidak, suram iya.
Tuan gembira kala mendung menyembunyikan hujan.
Rintik jatuh tidak, senyap iya.
Si Tuan suka mendung tanpa hujan.
Si Aku? Suka Tuan tak ada alasan.__
Kami—aku dan Tuan Juni—berdiri di depan bangunan minimalis bercat kan putih yang tak lain adalah rumahku.
Jam di pergelangan tangan menunjukan pukul 15.15, tetapi keadaan langit tengah bermuram, mendung lebih tepatnya.
Aku menatap ke atas langit, mengikuti arah pandang Tuan Juni sebelum akhirnya beralih membuka suara.
“Apa hujan akan segera turun? Sepertinya hujan salah jadwal, inikan musim kemarau.”
Tanpa mengindahkan ucapanku, Tuan Juni justru asik dengan kegiatannya sendiri memandangi si mendung. Dan jika dilihat dari sorot matanya, ada binar kebahagiaan disana, bukan binar resah—sepertiku—karena khawatir jika hujan akan benar-benar turun.
Mungkin dia adalah satu dari sekian penyuka hujan.
Dimana mereka bilang, hujan membawa ketenangan. Sedang menurutku, hujan itu merepotkan.
Seperti saat ini, rintik hujan mulai membasahi pelipisku. Petrikor menguar, tampaknya para tanaman ikut bersorak menyambut hujan yang tidak deras, namun cukup membuatku ingin mengajak Tuan Juni untuk berteduh.
Anehnya, Tuan Juni tak lagi disampingku. Ia justru berjongkok di bawah atap rumah, dengan kepala tertunduk dan kedua tangan yang menutupi sepasang telinganya.
Apa yang terjadi?Bukannya mendung sudah memberinya hujan seperti yang ia idam-idamkan? Lalu mengapa ia berlagak seperti… ketakutan?
Lantas aku menghampirinya, menepuk bahunya yang terlihat sedikit gemetaran.
Bahkan bibirku kalah cepat untuk menanyakan keadaannya ketika tiba-tiba Tuan Juni menarikku ke dalam dekapannya.
Jantung berdegup kencang, deru napas tak beraturan, tidak! Bukan aku yang mengalami itu. Melainkan Tuan yang sedang mengeratkan dekapannya disaat denting hujan semakin gencar turun dengan riuh.
“Maaf.”
Satu kata lolos dari bibir ranum yang sedari tadi aku nantikan penjelasannya.Ya, penjelasan tentang dia yang memelukku dikala hujan.
Romantis? Hahaha. Itu mungkin pemikiran para gadis lain yang tentunya bukan aku. Dimana perlakuannya ketika memelukku justru menimbulkan kekhawatiran yang tak bersebab.
Kau bayangkan saja, ia memelukku hingga hujan reda, yang selama itu lagaknya penuh akan kegelisahan. Bahkan binar matanya tak lagi memancar bahagia, redup, tak terbaca.
Lagi-lagi benakku terus bertanya, dia kenapa?
“Masuklah, aku akan pulang,” ucapnya ketika menangkap tatap penuh tanda tanya dari mataku.
“Masuklah, kamu kedinginan,” ucapku ketika menangkap reaksi menggigil dari tubuhnya.
Tuan Juni tampak sungkan, bersiap menolak kalau saja bunda tidak datang dan membukakan pintu.
“Hara sudah pulang? Ah! Ada temanmu juga? Suruh dia masuk, Ra.”
Beruntungnya, bundaku bertindak sebagai malaikat penolong yang mencegah devil ini untuk berlari kabur.
“Dengar kan?” tukasku sembari berlalu, diikuti dengan ia yang melangkah ragu.
Kulepas sepatu dan menghempas tas ke sisi sofa, lalu bergegas ke dapur untuk membuatkan Tuan Juni minuman hangat.
“Kopi hitam tanpa gula.”
Aku mematung beberapa saat, aku bahkan belum sempat menawarinya apapun.
“Oh… o-oke.”
Sepertinya aku mulai menyukaimu, Tuan.
Dan jika suatu saat nanti aku mulai mencintaimu, aku ingin jatuhcinta tanpa spasi.Agar kata jatuh tak mengenal luka sebagai opsi.
⬆️Sajak Tuan Juni [6]⬆️
○○☆○○
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Juni | NJM ✔
PoetryIni bukan tentang terik yang mengalah agar mendung menyinggah. Ini tentang Juni yang kehilangan hujannya. ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ "Namaku Hara, siapa namamu?" ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ "Aku lahir di bulan Juni." ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ "Baiklah, aku akan memanggilmu Tuan Juni." ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ Start: 13 Juni 2...