12. Tuan Dengan Nama

533 193 34
                                    


__

Dekat tak selamanya mendekap.
Kau dan aku misalnya.
Sekat tak selamanya menyekap.
Kau dan aku misalnya.
Kau tatap lekat-lekat, aku terpikat.
Aku tatap lemat-lamat, kau mengumpat.
Berlagak tak suka, gugupmu tak kasat.
Kau takut jatuh hati padaku, Tuan?

__

























Pukul 15.15

Aku masih menunggu dengan sabar. Permainan petak umpetmu kapan selesainya?

"Mau sampai kapan?"

Suara itu.

"Tuan Juni!"

Spontan aku memeluknya. Erat. Bahkan liquid bening dengan seenaknya jatuh dan membuat jejak basah di pakaian yang Tuan Juni kenakan.

Aku menangis, tanpa isak. Bahagia, sekaligus lega.

Penantianku usai.

Aku bertemu dengan sosok yang selama ini hanya singgah dalam bayang, namun detik ini dapat aku rengkuh dalam nyata.

Aku tak mengatakan apapun. Rindu ini kusalurkan dalam diam. Dan Tuan Juni tak bereaksi apapun. Tak menolak atas pelukanku, tak pula membalas memelukku.

Benar. Aku ini siapanya? Berani-beraninya mengharap sebuah balasan.

"Apa kamu hanya muncul dihadapanku pada bulan Juni saja?"

Aku melepaskan pelukanku. Mengusap bekas-bekas liquid bening kemudian mendongakkan kepala karena tinggi badanku yang tidak melebihi bahu kokohnya.

"12 bulan aku mencarimu. Menunggumu. Merinduimu secara sepihak. Dan mengobati luka yang kutimbulkan sendiri. Tak mengapa kamu benci aku sukai, benci aku cintai, tapi bisakah kamu tetap berada didalam radarku? Bolehkah aku melarangmu untuk pergi-lagi- sekalipun aku tidaklah berhak?"

Aku menelusuri netra caramel yang masih sama cara sorotnya; datar. Sedikit teralihkan dengan aroma parfum Tuan Juni yang tidak lagi beraroma mocca, melainkan aroma vanila yang lebih bersahabat dengan indera penciumanku.

"Jangan menatapku dengan mata sembabmu."

Aku terkekeh, Tuan Juni salah tingkah? Atau tidak suka melihat gadis menangis di hadapannya?

"Maaf. Aku hanya terharu dan terhura disaat bersamaan."

Aku mengamati Tuan Juni dari atas sampai bawah, lalu kembali lagi ke atas, ke wajah yang kuakui terlihat lebih tampan.

"Bagaimana kabarmu, tuan? Dari yang kulihat, kamu baik-baik saja. Semoga dugaanku benar."

"Benar."

Tuhan, hari ini kejutan dari-Mu akan kucatat sebagai salah satu hari paling bersejarah dalam hidup. Dimana pertemuanku kembali dengan Tuan Juni semacam perjalanan tanpa peta yang menemui pelabuhannya. Inginnya waktu berhenti sejenak, agar sisa hari bersamanya cenderung lebih lama.

"Tuan. Maaf karena sampai sekarang aku tidak tahu alasan mengapa aku menyukaimu. Ah ralat, mengapa aku mencintaimu. Sebab aku tidak ingin ada alasan untuk berpisah denganmu. Tidak lagi. Tidak ingin lagi. Aku pun tidak ingin tahu terkait apa alasanmu saat memutuskan pergi menjauh dariku. Aku akan menutup telinga untuk itu."

Ya. Ada kekhawatiran jika alasan kepergiannya dahulu tidak bisa hatiku terima. Lebih baik aku pura-pura tidak butuh alasannya, meski sebenarnya aku sangat penasaran. Lagipula kutegaskan sekali lagi, aku ini bukan siapa-siapanya yang berhak menuntut untuk tahu perihal segala yang ia rahasiakan.

"Mungkin kamu menganggapku orang asing, tidak masalah. Aku akan memperkenalkan semua tentangku agar kamu mengenalku dengan baik. Namaku Hara Neena Adishree. Usiaku 19 tahun. Menempuh pendidikan di salah satu universitas swasta di Jakarta. Bercita-cita menjadi psikiater. Hobinya mendengarkan lagu-lagu milik Yiruma, membaca buku-buku roman, menyukai green tea dan segala yang berbau green tea, menyukai kucing, menyukai terik, serta menyukai segala tentang Tuan Juni. Matamu, aromamu, senyummu, suaramu, juga jarimu ketika menari di atas piano."

Tanpa peduli akan keadaan sekitar, aku berceloteh panjang lebar saat posisi kami masih sama-sama berdiri tegak, dimana kami menjadi pusat perhatian setelah aku menyambutnya dengan sedikit adegan dramatis.

"Sekarang giliran Tuan Juni. Aku tidak akan memaksa-"

"Namaku June Elaksi."

Setelah ia mengatakan itu, ia mengambil secangkir kopi di atas meja dan menyeruputnya. Aku yang mengamati setiap tindak-tanduknya luar biasa senang karena kopi yang biasanya utuh tak tersentuh itu sudah menemui pemiliknya.

Ternyata namanya pun memiliki arti Juni.

"Ikut aku."

"Ke?"

Pertanyaanku terabai ketika langkah Tuan Juni bergegas keluar dari kafe, diikuti dengan langkahku yang mengejar untuk menyamainya.

Karena aku sudah tahu siapa nama Tuan yang sedang bersamaku ini, benakku sibuk memutuskan tentang aku yang akan memanggilnya June atau tetap julukan awalnya; Tuan Juni.

"Rumah sakit jiwa?" tanyaku usai kami tiba di tempat tujuan setelah menempuh 15 menit berjalan kaki.

"Ini rumahku."

Jadi, itulah jawaban atas rasa penasaranku tentang dimana keberadaan Tuan Juni selama ini.

"Kamu masih menyukaiku?"

"Tidak. Aku sudah mencintaimu."

"Tapi aku mencintai gadis itu."
Tunjuknya pada seorang gadis yang tengah memberontak hingga tangannya harus dicekal oleh dua orang suster di kanan kirinya.




















Tuan, apa kabar hatiku yang meminta hatimu berkolaborasi?
Membangun rasa agar tak berdiri sendiri, tak cinta sendiri.
Meski kutahu dialah yang kau pilih, dan aku didiskualifikasi.

⬆️Sajak Tuan Juni [12]⬆️

Tuan Juni | NJM ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang