__
Dia antah berantah.
Usai berbenah, memamitkan diri dari aku yang mencegah langkah.
Usai beramah-tamah, memberanjak diri dari aku yang mencegah pisah.
Aku ingin ia betah, ia ingin ia enyah.
Ia gegabah kabur dari yang mencintainya, aku resah ditinggalkannya.
__
Tampaknya aku bersikap bodoh amat akan kodrat perempuan yang seharusnya menunggu bukan mengejar. Dan dalam kasus ini, biarlah aku menegakkan emansipasi bahwa untuk memperjuangkan hati itu tidak perlu memandang gender.Lagipula jika aku hanya diam, cerita ini tidak akan berlanjut dan tidak bisa aku tamatkan.
Tuan Juni adalah orang asing yang tiba-tiba hadir di duniaku. Haha. Apakah aku bisa menyebutnya demikian? Sebab akulah yang memaksa masuk ke dunianya. Aku yang mengetuk dan aku yang bertamu. Tapi itu tidak terjadi jika ia tidak mempersilakanku. Ingat bagaimana ia menawariku untuk mengantar pulang? Jika lupa bacalah chapter empat cerita ini. Disana, Tuan Juni yang terlebih dahulu memulai alur ini. Benar?
Jika kalian bertanya kenapa aku mudah sekali jatuh hati padanya, bahkan tak enggan mengutarakan, ada dua opsi yang mungkin bisa menjadi jawabannya.
Pertama, hatiku kosong, tak berpemilik, dan membutuhkan tokoh untuk mengisinya.
Kedua, duniaku hampa, tak berromansa, dan membutuhkan tokoh untuk meramainya.
Hingga kemudian takdir mengirim Tuan Juni untuk menjadi sang tokohnya.
Aku tak pernah patah hati sebelumnya, jadi jikalau rasaku tak terbalas, aku baik-baik saja. Sebab Tuan Juni pelakunya. Ia menjadi pematah hati pertama yang tentunya akan aku pamerkan pada semesta.
Lihat, dia yang membuat hatiku patah untuk yang pertama kalinya, tampan kan?
Hahaha aku bercanda. Kata orang, patah hati itu sakit. Alih-alih mengatakan aku akan baik-baik saja. Karena biasanya, yang pertama justru yang paling terkenang. Dan ketika aku mengenang tentang Tuan Juni yang membuatku patah hati, mustahil aku tidak terisak.
“Aku sudah terlalu lama disini, kamu harusnya mengusir orang asing ini pulang,” ujar Tuan Juni yang sedang mengelap kakinya di keset usai keluar dari kamar mandi.
“Kamu bukan orang asing bagiku, Tuan Juni.”
“Aku orang asing karena kamu tidak tahu banyak tentangku, bahkan namaku.”
“Tapi aku tahu kamu lahir dibulan Juni.“
Menyebalkannya, si Tuan Juni tak mengacuhkan selaanku.
“Aku pamit.”
“Sekarang? Beri aku nomormu dulu.”
“Untuk apa?”
“Untuk aku ketahui banyak tentangmu agar kamu bukan lagi orang asing.”
“Tidak.”
“Mengapa?”
“Jangan masuk ke duniaku.”
“Sudah terlanjur.”
“Maka berhentilah.”
“Perjalanan harus menemui tujuannya, Tuan.”
“Kamu perempuan yang gigih rupanya.”
Tuan Juni berlalu pergi setelah menyempatkan berhenti di ambang pintu dan mengatakan,
“Jangan antar aku. Jangan ikuti aku.” Pesannya itu kupatuhi.
Ia lupa pamit pada bunda, bunda menanyakan keberadaannya, “Kemana temanmu, Ra?”
“Pulang ...”
Tak apa datang tanpa permisi, asal jangan pergi tanpa diskusi.
Karena layaknya rumah tanpa fondasi, ada yang tak utuh ketika jejakmu tiba-tiba sejauh rasi.
⬆️Sajak Tuan Juni [10]⬆️
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Juni | NJM ✔
PoetryIni bukan tentang terik yang mengalah agar mendung menyinggah. Ini tentang Juni yang kehilangan hujannya. ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ "Namaku Hara, siapa namamu?" ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ "Aku lahir di bulan Juni." ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ "Baiklah, aku akan memanggilmu Tuan Juni." ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ Start: 13 Juni 2...