__
Sejenak terbuai, angin lupa membelai.
Terlalu fokus pada daun kering yang sudah saatnya untuk jatuh, dari ranting yang bersiap menyambut daun baru.
Sejenak terbuai, aku tak hentinya mengandai.
Jika sudah saatnya aku jatuh, akankah kau bersedia layaknya tanah yang menadah gugurnya daun?__
Jalan raya tampak ramai, aku melirik arloji dipergelangan tanganku, oh! Wajar saja lalu lintas tengah sibuk sekarang.Hampir setiap angkutan umum yang melintas dipenuhi oleh penumpang, jarang yang kosong atau rumpang.
Halte bus di pelipir jalan rata-rata dipadati manusia-manusia berseragam sekolah, dan kendaraan-kendaraan pribadi yang berkeliaran tak ketinggalan mengisi kemacetan.
Disini, ditengah keramaian, aku berjalan seorang diri. Tak perlu kendaraan untuk sampai ke rumah karena jarak yang dekat dengan sekolah bisa ditempuh dengan kaki.
Fokus langkahku bukan ke depan, melainkan ke segala penjuru arah, hanya untuk menemukan sosok yang tadi pagi sukses meregut atensiku dengan permainan pianonya.
Semua lagu Yiruma adalah favorite song list yang wajib aku dengarkan sebelum tidur. Sayangnya baru kali ini aku mendengar seseorang memainkannya secara langsung. Wajar jika hatiku bereaksi berlebihan. Itu alamiah ketika seseorang dikejutkan dengan penampilan memukau dari siapapun saat membawakan sesuatu yang kau suka, bukan? Jadi aku menepis pernyataan tentang ‘love first sight’ yang inner-ku ledekkan.
Sekarang aku kembali menginjakkan kaki ke tempat dimana aku ketahuan sedang mengawasinya, si manusia netra karamel beraroma mocca. Ah, sebutannya terlalu panjang.
Andai saja aku tahu siapa namanya.
Dan perlu kalian ketahui, aku kembali kesini karena keliru arah berlari. Salahkan manusia itu yang membuatku kehilangan konsentrasi dalam upaya melarikan diri.
Oh piano itu!
Masih tergeletak di tempat yang sama.
Kupandangi—untuk yang kesekian kalinya—benda mati itu tanpa bosan, hingga kakiku merajuk karena lelah terus berdiri, sebelum akhirnya memutuskan untuk kembali melangkah—meninggalkan jejak bayang manusia itu yang masih menjelajahi rasa keingintahuanku perihalnya.
Pada lima langkah pertama, pandanganku baru benar-benar terlepas dari piano itu dan mulai fokus memandang kedepan jika saja kepalaku tidak menabrak bahu seseorang yang seketika membuat tubuhku terhuyung ke belakang. Aku tidak terjatuh, dan tanganku juga tidak digapai si penabrak seperti yang biasa disuguhkan pada adegan film-film roman picisan.
Saat aku menyeimbangkan diri kemudian mendongakkan kepala, netraku bertubrukkan dengan netra karamel yang sepertinya akan menjadi favorit ku sejak sekarang.
Tuan, hatiku mengevaluasi, berhadapan denganmu itu nyata atau halusinasi?
Otakku berspekulasi, kau bukan semata imaji yang menyamarkan situasi.
Karenanya, bolehkah aku membangun komunikasi?
⬆️Sajak Tuan Juni Chapter 3⬆️
○○☆○○
KAMU SEDANG MEMBACA
Tuan Juni | NJM ✔
PoetryIni bukan tentang terik yang mengalah agar mendung menyinggah. Ini tentang Juni yang kehilangan hujannya. ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ "Namaku Hara, siapa namamu?" ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ "Aku lahir di bulan Juni." ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ "Baiklah, aku akan memanggilmu Tuan Juni." ㅤㅤㅤㅤㅤㅤ Start: 13 Juni 2...