9. Tuan yang Gila

579 201 8
                                    

__
Katanya dia gila, dia gila katanya.
Lantas aku yang tergila-gila disebut apa?
Berdua sela-menyela, adakala keras kepala.
Entah kapan bermula, hati yang berdebar ini seolah gejala;
bahwa aku mencintai Tuan mengabai kendala.
__






















Tuan Juni tertidur.

Aku membaringkan tubuhnya ke sofa dengan hati-hati agar tidak mengganggu tidurnya.

Kutelusuri wajah terlelapnya cukup lama, tampan, tidak ada deskripsi lain.

Perempuan mana yang tidak jatuh hati?

Deru napasnya terdengar teratur, berirama tenang dan menentramkan. Semoga ia tidak bermimpi agar tidurnya nyenyak, lelahnya beranjak dan resahnya hilang tak berjejak.

Usai puas memandanginya, aku mengambil gawaiku di nakas dan menggilir menu disana—mencari Google. Setelah sebelumnya mengatur posisi duduk di lantai sembari bersandar di kaki sofa, menikmati harum parfum Tuan Juni yang menguar bersama udara.

Jariku mulai mengetik huruf demi huruf hingga tersusun kalimat, “Apa itu Paranoia?”

Hasilnya banyak sekali referensi yang bermunculan. Lantas kuklik salah satu judul yang paling menarik perhatian, ‘’Apakah Paranoia Artinya Mengidap Gangguan Jiwa?”

Kubaca artikel itu hingga tuntas sampai aku menemukan satu buah kesimpulan; Paranoia adalah penyakit jiwa.

“Sudah mencari tahunya?”

Oh! Tuan Juni terbangun.

Masih dalam posisi tidurnya, ia ikut melihat apa yang sedang kulihat di layar gawai.

“Ingin menjauhiku?”

Hei, apa maksudnya itu?

“Mereka yang tahu aku gila juga melakukan hal yang sama. Itu sebabnya aku terbiasa sendirian.”

Tidak. aku tidak akan sama dengan mereka, Tuan Juni!

Aku meletakkan gawaiku sembarang dan membalikkan tubuh menghadap Tuan Juni. Mata itu. Mata caramel yang kusuka itu. Mata itu menyembunyikan kesenduannya.

“Tuan, jika aku menyukaimu karena kelebihanmu, mungkin aku tidak akan lagi menyukaimu ketika tahu kekuranganmu. Aku akan mudah menjauhimu, mudah meninggalkanmu. Tapi aku menyukaimu karena dirimu, itulah sebabnya ketidaksempurnaan yang kamu miliki tidak berpengaruh apa-apa untukku. Aku tetap menyukaimu dengan begitu. Dan perasaan suka itu yang membuatku ingin terus berada di sisimu.”

Aku mengambil jeda sejenak sebelum melanjutkan bicaraku.

“Kamu sendirian, itu dulu. Sekarang, aku bersamamu. Kamu sendirian, itu dulu. Sekarang, kamu bersamaku."

“Hapus perasaanmu. Jauhi aku.”

Aku tidak terkejut dengan perkataannya, sebab dari awal Tuan Juni memang melarangku untuk jatuh hati.

Sayangnya aku melanggar larangannya. Aku jatuh hati padanya, sejak pertama kali semesta memersilakan telingaku untuk mendengar permainan piano Tuan Juni di kafe pinggir jalan itu. Bukan, ini bukan tentang cinta pandangan pertama. Sebab hatiku telah lebih dulu terpikat ketika melodi indah itu dimainkan, tepat sebelum mataku melihat siapa manusia si pemikat.

“Aku tidak ingin jauh darimu, Tuan. Bolehkah aku egois?”

“Aku ini gila!”

“Aku juga gila, Tuan Juni. Gila karena mengapa aku bisa sejatuh hati ini pada Tuan yang hobinya membisu. Pada Tuan yang tak melakukan apa-apa untuk mencuri perasaanku. Pada Tuan yang sejak pertama kali aku melihatnya, hatiku sudah menetapkan pilihannya, kamu lah orangnya. Tanpa ada mengapa, karena pertanyaan itu tidak ada jawabannya. Tanpa ada alasan, karena rentetan pernyataan tak akan cukup menjelaskannya.”

Baik, mataku berkaca-laca sekarang.

“Jika kamu tidak percaya, kamu bisa meminta matamu untuk menginterogasi mataku, apakah aku berbohong atau tidak. Jika kamu tidak yakin, aku tidak punya sesuatu untuk meyakinkanmu, karena hanya kamu sendiri yang mampu menumbuhkan keyakinan itu.”

“Tidak ada perasaan yang tumbuh tanpa alasan. Sebab untuk benci pun harus ada alasan.”

“Kamu benci kan aku sukai? Lantas apa alasanmu?"

Tuhan, kenapa hatiku mendadak sesak sekali?

“Lihat, kamu tidak bisa menjawabku, Tuan.”


















Mengapa cinta harus dibatasi?
Yang apabila batas itu dilintasi,
Akankah aku dikenai sanksi?

⬆️Sajak Tuan Juni [9]⬆️

○○☆○○

Tuan Juni | NJM ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang