14. Tuan yang Kuat

526 183 15
                                    




__

Perihal rasa yang terabai,
luruh,
kemudian menjadi guyonan.
Bagaimana caraku menghapus lara,
menyihir nestapa,
dan mengarwahkan hati yang sengaja dipatahkan?

__
























Mendengar ceritanya membuatku bergeming, tak mampu berkata-kata. Cukup syok dengan kenyataan-kenyataan yang terlontar dari bibir Tuan yang lama kehilangan senyumnya. Pasti sangat berat untuknya mengulik kembali masa lalunya. Dan itu semua gara-gara aku. Gara-gara aku yang ingin tahu perihalnya, tanpa tahu jika hal itu membuat lukanya yang semula sembuh kembali tumbuh.

Aku menepuk-nepuk pundaknya, pelan. "Tuan Juniku hebat, Tuan Juniku kuat, Tuan Juniku hebat, Tuan Juniku kuat." Aku merapalkan kalimat itu berulangkali, dengan suara lirih, dengan hati yang perih. Seolah membayangkan jika aku bertukar posisi dengannya, mungkin opsi bunuh diri sudah lama aku lakukan.

"June sudah bercerita banyak, apakah haus? Mau minum tidak?"

Tanpa diduga, aku tidak lagi memanggilnya Tuan Juni, melainkan nama aslinya. Mungkin ia menyadarinya dan menatapku dengan sedikit terperangah. Lantas menggelengkan kepala sebagai jawaban.

"June, gelap diciptakan agar cahaya bisa bersinar. Begitupula fase dalam hidup. Aku takjub. Kamu dapat melalui duniamu yang sempat gelap itu disaat oranglain mungkin berpikiran untuk mati."

"Aku terlalu tampan untuk mati muda."

Aku tersenyum, "Bukan itu alasan utamamu, melainkan nyawamu yang harus kamu jaga setelah pengorbanan kakakmu demi menyelamatkanmu."

Tubuh Tuan Juni menegang. Astaga! Aku berbuat kesalahan dengan asumsi sok tahuku. Mendadak aku gelisah taktkala Tuan Juni mencondongkan tubuhnya ke arahku hingga wajah kami terpaut satu jengkal. Deru napasnya yang menyentuh indera perabaku membuat organku tidak berfungsi dengan semestinya.

"Kamu mengenalku dengan baik ternyata."

"Ba-bagaimana dengan Odette? Kamu belum menceritakan perihalnya. Kamu sungguh-sungguh mencintainya, Ju-June?" aku memundurkan wajahku dan mengalihkan pembicaraan.

Ya Tuhan. Aku gugup!

"Aku mencintainya. Cukup itu saja yang perlu kamu tahu."

Aku ingin menyimpulkan jika Tuan Juni mungkin mengidap philopobia, yaitu pobia akan cinta karena ia bilang ia takut dicintai. Tapi kesimpulan itu kutepis ketika Tuan Juni mengaku mencintai gadis bernama Odette. Aku ingin tahu, sehebat apa seorang Odette hingga mampu membuat Tuan Juni menaruh rasa. Sayangnya Tuan Juni enggan memberitahukannya.

"Maaf karena merepotkanmu dengan perasaanku. Maaf karena baru hadir dihidupmu dan terlambat memberimu kekuatan. Maaf karena aku adalah seorang perempuan yang mencintaimu, yang tentu memicu ingatanmu akan trauma masa lalu. Maaf karena tidak bisa melakukan apa-apa untuk mengembalikan bahagiamu, sebab sekarang kamu sudah memiliki Odette. Cintamu. Sumber bahagiamu."

Aku menunduk. Tanpa mengangkat kepalaku, kuajukan lagi sebuah pertanyaan yang kuharap jawabannya adalah tidak.

"June, apakah artinya, aku harus menyerah mencintaimu?"

Dari sudut mataku, aku mendapati pemuda itu mengangguk. Itu berarti jawabannya adalah iya. Iya aku harus menyerah atas cinta sepihak ini.

Odette yang beruntung dicintai oleh Tuan Juni versus aku yang malang. Aku kalah.

Aku menggigit bibir bawahku agar airmataku tidak mendesak untuk turun.

"Hara Neena Adishree, bibirmu berdarah."

Itu adalah pertama kalinya ia menyerukan namaku yang entah mengapa, aku sangat bahagia hanya karena mendengarnya.

"Tidak apa-apa. Tidak sakit. Lebih sakit hatiku."

Sial. Airmataku berhasil lolos.

"June, bolehkah aku berkenalan dengan Odette? Aku ingin berteman dengan gadis yang mampu membuatmu jatuh cinta."

"Tidak. Ia sedang menjalani masa perawatan."

"Setelah ia pulih?"

"Tidak ada jaminan untuk itu."

Kurasakan sedikit getir ketika darah dibibirku terkecap oleh lidahku. Aku ingin bertanya lebih jauh tentang Odette, tapi kuurungkan ketika lagi-lagi aku tersadar, aku ini siapanya? Apa hakku mengetahuinya?

Aku ini orang asing bagi Tuan Juni.

Selamanya tetap begitu.






















Seharusnya kata cinta bisa kita produksi.
Agar kebersamaan bisa kita konsumsi.
Namun disini hanya aku yang mencintai, karena kita tak sefrekuensi.


Rupanya, 'sefrekuensi' memiliki pengertian yang sangat luas. Apapun itu, asalkan memiliki tujuan yang sama, yang akan menjadi kunci fundamental dalam sebuah hubungan.

⬆️Sajak Tuan Juni [14]⬆️




Tuan Juni | NJM ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang