5. Si Tuan Juni

826 233 22
                                    







__
Menyama langkah, bersisian, menyama arah.
Menyandera suara, tak berani bicara, lagaknya siapa?
Aku.
Lantana yang berupaya tumbuh di tanah tak terpijak,
layaknya hati yang tak pernah dijejak; keras
__






















Untuk hari ini, khusus hari ini, aku tidak pulang sendirian. Disampingku ada seseorang yang memiliki tujuan sama. Kukira tawarannya hanya basa-basi belaka, ternyata tidak demikian.

Awalnya aku sedikit sungkan, tapi kepalaku asal mengangguk saja. Dan pada derap langkah pertama, yang tersisa adalah kecanggungan yang teramat sangat. Hiruk-pikuk jalanpun seolah sunyi, dering klakson seolah tak berbunyi.

Lalu tahukah kalian? Aku sedang mengatur intensitas gugupku yang tak berangsur membaik, malah kian berkecamuk.

Sungguh. Berjalan beriringan dengannya adalah hal tak terduga yang tak pernah kuduga. Jika kalian bertanya apakah aku bersyukur atau menyesali keputusanku, aku menjawab, tidak keduanya.

Lucunya, takdir membuat kami bersama dengan caranya sendiri.

Aku tak tahu harus senang atau sebaliknya, sebab di sepanjang perjalanan ini benar-benar senyap, tidak ada perbincangan, bahkan tidak ada perkenalan.

Selama aku belum tahu namanya, julukannya masih sama, manusia bernetra karamel beraroma mocca.
Atau kalian mau mengusulkan julukan lain?

Baiklah, sudah lima belas menit menuju rumah, namun tak kunjung ia memicu obrolan dengan ramah.
Kedua tangannya ia masukkan ke dalam saku celana, kedua tanganku kubiarkan terayun pelan.

Langkah kakinya santai dan lebar, langkah kakiku terburu dan mengejar.

Sepasang maniknya menatap lurus kedepan, sepasang manikku berulangkali meliriknya.

Hanya satu yang benar-benar sama, bibir kami yang berlagak bisu, dibekap oleh pikiran masing-masing individu. Dia dengan apapun di otaknya, dan aku dengan dia yang memenuhi otakku.

Laki-laki tampan yang amat sangat disayangkan harus memiliki kepribadian batu, membuatku jengah hingga terpaksa harus memulai terlebih dahulu.

“Namaku Hara. Siapa namamu?”

Dengan sorot mata yang terus memandang ke depan, aku tidak yakin ia akan menjawab pertanyaanku barusan.

“Aku lahir di bulan Juni.”

Ternyata dia menjawabku di detik ke tigapuluh. Namun jawabannya sedikit tidak tepat, mengapa tiba-tiba perihal bulan lahirnya? Dia tidak sedang mengalihkan pembicaraan, bukan?

Kini aku menunggunya kembali berbicara, barangkali ada kalimat yang belum terselesaikan, atau hal yang ingin ia ceritakan perihal dirinya, selain namanya tentunya.

Setelah berpikir cukup lama, aku mengambil kesimpulan, ia hanya masih ragu mengungkap identitasnya kepada seseorang kategori asing sepertiku.


“Baiklah, aku akan memanggilmu Tuan Juni.”
















__
Hei Tuan tanpa nama, aku ingin mengenal tanpa membuatmu terinterogasi.
Tanpa memaksamu mengisah privasi, sekalipun dekat denganmu adalah ambisi.
__

⬆️Sajak Tuan Juni [5]⬆️





○○☆○○

Tuan Juni | NJM ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang