8. Tuan Paranoia

613 220 9
                                    


__

Kopi Tuan pahit, teh Puan hambar.
Meracau rasa yang tak tergambar diwajah datar.
Pekat kopi menggelitik lidah, senyum Tuan pun terpapar, hati Puan pun bergetar, Puan seolah terkapar,
“kau tampan Tuan, namun mendekatimu mengapa begitu sukar?”
Kini hujan berhenti merintik, Puan berhenti berujar.
Puan mendamba, kapan Tuan-nya akan sehangat kepul kopi yang menguar?

__























Paranoia?

Aku bukanlah seorang ahli medis yang tahu akan istilah semacam itu.

Apa itu Paranoia? Mungkinkah sesuatu semacam gangguan mental? Mengapa Tuan Juni sampai menyebut dirinya sebagai orang gila?

Mataku beralih menatap Tuan Juni yang sedang menatapku juga.

Hah? Ia menatapku sedari tadi?

Hening. Tak ada yang membuka suara diantara kami. Saling bersitatap adalah cara kami berbicara satu sama lain.

Aku tak berani bertanya apapun, sebab aku ini siapa? Tiada hak untuk menulik perihal Tuan Juni yang bahkan ia sendiri tidak akan  mau menceritakannya. Ia bersedia jujur akan sesuatu yang diidapnya saja aku sangat bersyukur.

Lagi-lagi aku berteman dengan bungkam. Karena terkadang, ada luka yang tak harus disuarakan. Luka itu dipendam bukan sebagai beban, melainkan sebagai rahasia agar istilah pura-pura bahagia tetap bisa diberlakukan.

Manusia seperti itu, pelakon dusta.

Tapi Tuan Juni tidak seperti itu, sebab mau ia terluka atau bahagia, ekspresinya sama saja. Hanya saja ia gagal merahasiakan lukanya tatkala hujan turun, karena hujan di matanya juga ikut turun. Ia gagal merahasiakan lukanya tatkala rintik bergemercik, karena isak tangisnya ikut berberisik.

Tuan Juni menyuarakan lukanya dikala hujan yang ia benci. Sebab jika ia menyukai hujan, harusnya ia tersenyum bahagia, bukan?

Nyatanya tidak. Senyumnya ibarat sesuatu yang mahal untuk kusaksikan. Langka seperti pelangi, tidak semua orang bisa menikmatinya terkecuali jika ia sedang beruntung.

Tuan Juni, apakah wajahmu tidak kaku terus bertahan dalam raut datar seperti itu? Semesta mungkin saja bosan melihatnya.

Aku baru hendak beranjak, membuka jendela lebih lebar untuk mengusir pengap yang menghalau kantuk. Mengizinkan angin berlalu masuk untuk sekadar memberi sejuk.  Dan tiba-tiba Tuan Juni mendadak tersenyum di posisi ia duduk.

Tunggu, aku tidak sedang berhalusinasi, kan?

Dia tersenyum? Padaku?

Senyum itu ditujukan untukku?

“Anginnya tahu jika ada yang sedang butuh dibelai.”

Benar, angin tak memiliki tangan, tetapi sentuhan dinginnya meraba inderamu seolah menyuruhmu agar lebih tenang.

“Terimakasih karena tidak bertanya  atas apapun perihalku.”

Aku balas tersenyum padanya, lalu berpindah duduk ke samping Tuan Juni, dari posisi sebelumnya yang saling berhadapan.

“Bersandarlah disini Tuan Juni,” tawarku sembari menepuk bahu sempitku.

Ajaibnya, Tuan Juni menuruti perkataanku lalu menempatkan kepalanya seraya memejamkan mata.

Entah ia mendengar atau tidak detak jantungku yang berdebar berkali lipat lebih kencang, setidaknya itu caraku untuk membantu menguatkannya tanpa perlu kata.























Tuan, salahkah aku berambisi?

Memikirkan cara untuk membuatmu tetap disisi, menerimaku tanpa perlu kau seleksi, dan mempersilakanku bersamamu di segala kondisi.

⬆️Sajak Tuan Juni [8]⬆️




○○☆○○

Tuan Juni | NJM ✔Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang