BAB 1 | Teman Hidup

344 43 104
                                    

"Jika pertemuan pertama itu terjadi. Maka tak menutup kemungkinan pertemuan berikutnya pun menyertai."

☆☆☆

Hari mulai petang bahkan sinar rembulan akan segera datang menggantikan tugas sang mentari untuk menerangkan sinarnya. Namun, hal itu tak sedikit pun menyurutkan semangat gadis muda berusia sembilan belas tahun untuk bekerja dan mengais rezeki yang telah Allah siapkan.

Menjadi kasir di salah satu toko roti di bilangan Jakarta Pusat menjadi rutinitasnya. Perempuan kelahiran Kota Kembang itu terlihat gesit dan penuh energik saat melayani pelanggan. Senyum ramah tak pernah luntur dari kedua sudut bibirnya yang berwarna merah alami.

"Semuanya jadi seratus lima puluh ribu, Mas," tutur perempuan bernama Rengganis pada salah satu pembeli.

"Ketemu lagi kita," celoteh orang yang tak lain dan bukan adalah pelanggannya.

Rengganis tersentak tak mengerti dengan penuturan laki-laki di depannya. "Maaf, Mas bisa tolong dibayar. Antrean di belakang sudah terlalu panjang," kata Rengganis tanpa mau memusingkan lebih jauh lagi penuturan orang tersebut.

"Adi, panggil saya Adi," ucapnya seraya menyodorkan sebelah tangan kanan meminta Rengganis untuk menerima ulurannya.

"Mohon maaf, Mas bisakah Anda membayar tagihannya?"

"Tentu," sahutnya dengan memberikan dua lembar uang berwarna merah kepada Rengganis.

"Terima kasih, kami tunggu kunjungan selanjutnya," tutur Rengganis seraya memberikan selembar uang lima puluh ribu untuk kembalian.

"Kalau kunjungan ke hati, Mbak boleh?" tanyanya dengan kerlingan mata jail.

Rengganis memutar kedua bola mata malas. Ini bukanlah kali pertama dia mendapatkan godaan dari costumer. Tidak akan mempan jika gombalan itu ditujukan untuk dirinya.

"Tidak. Terima kasih," ucap Rengganis mencoba bersikap ramah dan biasa saja.

"Kembali kasih, Sayang." Ucapan bernada godaan itu kembali hinggap di rungu Rengganis.

"Ini untuk, Mbak," kata laki-laki itu seraya memberikan sebuah kartu nama, "mungkin, Mbak ingin lebih mengenal saya," lanjutnya yang semakin membuat Rengganis kesal bukan kepalang.

"Sampai bertemu lagi di lain waktu dan kesempatan," ujar pria tanpa nama itu lalu pergi begitu saja dan tak menghiraukan tangan Rengganis yang masih mengambang di udara dengan selembar uang berwarna biru.

"Dasar aneh!" guman Rengganis menatap risih kartu nama dan uang kembalian yang masih berada di dalam genggamannya.

Rengganis kembali berkutat dengan beberapa orang yang memang sudah setia berjajar membentuk barisan. Dia sangat menyukai dan menikmati profesinya. Baginya dapat berinteraksi dengan banyak orang adalah hal yang sangat  mengagumkan, dan tidak semua orang bisa melakukannya. Karena memang ada beberapa orang yang sangat anti untuk berinteraksi bahkan kesulitan untuk beradaptasi.

"Kartu nama siapa tuh? Hati-hati matanya copot," canda rekan kerjanya yang bernama Rahmah.

"Ish, apaan sih. Becandanya gak lucu," sahut Rengganis dengan nada kesal dan malu karena sudah ketahuan tengah memikirkan orang pemilik kartu nama itu.

"Siapa emang?" tanya Rahmah dengan tingkat penasaran yang tinggi.

"Adiwijaya," gumam Rengganis saat membaca sebaris nama dalam kartu nama tersebut.

"Astgafirullah," pekik Rengganis kaget bukan kepalang saat membaca keseluruhan isi kartu namanya.

"Astgafirullah," pekik Rengganis kaget bukan kepalang saat membaca keseluruhan isi kartu namanya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.
Cinta Terikat Adat | OPEN PRE ORDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang