BAB 16 | Fitting Baju

97 23 13
                                    

"Berkali-kali berjuang untuk bertahan tetapi selalu ada hambatan yang membuat kita sulit beriringan."

☆☆☆

Tak terasa waktu begitu cepat berlalu. Rasanya seperti baru kemarin Rengganis pergi dari rumah untuk merantau ke Jakarta. Bertemu dengan Rahmah hingga sampai akhirnya bekerja di sebuah toko roti. Sungguh, dia tidak ingin kontrak kerjanya berakhir secepatnya ini. Ingin rasanya memperpanjang kontrak namun urung kala dia mengingat petuah dari ibu tercintanya.

"Sudah saatnya menikah, dan kamu akan diberi nafkah. Jadi untuk apa bekerja." Sungguh demi apa pun jika tak memikirkan tentang baktinya pada kedua orang tua dia akan mengikuti kata hatinya.

Sepenggal percakapan antara Adit, laki-laki pilihan sang ayah membuat Rengganis menggeram kesal, dan menyesali kebodohannya karena sudah berani membuka akses masuk untuk pria licik itu. Bisa-bisanya laki-laki tak tahu diri itu menyalahartikan kebaikan dia yang bersedia menjadi temannya.

"Bu, Pak, Adit sama Rengganis sekarang sudah semakin dekat. Lebih baik Bapak dan Ibu segera mempersiapkan lamaran." Kira-kira seperti itulah yang Rengganis dengar saat dia tak sengaja menguping obrolan singkat antara anak dan orang tuanya.

Apakah dengan cara seperti itu akan meluluhkan hati gadis pujaannya? Rengganis rasa itu tidak akan berdampak apa-apa. Justru hanya akan membuat dia semakin ilfeel dan tak mau melanjutkan perjodohannya. Menikah dengan orang yang sama sekali tidak dia cintai, malah membuat Rengganis ingin kawin lari bersama Adi, jika tidak bersama Adi lebih baik dia tidak usah menikah sama sekali. Lagi-lagi memikirkan perihal perjodohannya membuat kepala Rengganis pening bukan kepalang.

Pria yang menurut sang ayah baik luar biasa, berparas tampan bak pangeran berkuda putih dengan harta dan kekayaan yang tumpah ruah, ternyata tidak lebih dari seorang pria yang begitu berambisi dan terobsesi akan cinta yang tak seharusnya dimiliki. Meskipun Rengganis sudah sering kali menghabiskan waktu bersama dengan laki-laki itu tapi tak ada sedikit pun rasa suka atau sekadar empati untuk laki-laki itu.

☆☆☆

Dari dua minggu yang lalu Rengganis sudah tidak lagi bekerja dan sampai sekarang Rengganis pun tidak berjumpa dengan Adi barang sehari saja. Adi yang sibuk mengurusi usaha kecil yang dirintis di Ibu Kota membuat dia sulit mengatur waktu untuk berjumpa, hanya lewat sosial media saja mereka bertegur sapa.

"Rengganis, Ambu mau masuk, Nak," teriak Asih menginterupsi indra pendengaran Rengganis.

"Gak dikunci, Mbu. Masuk aja," sahut Rengganis tak bersemangat, pasalnya semenjak dia tidak bekerja lagi rumah bagai tempat yang membosankan.

Asih menghampiri Rengganis yang masih setia dengan posisi santainya. Tiduran di atas ranjang.

"Ada apa, Mbu?" tanya Rengganis saat Asih sudah mendekat.

"Siang ini ke butik sama, Nak Adit untuk fitting baju sekalian beli cincin untuk lamaran," ungkapnya membuat Rengganis melongo. Sebab dia tidak tahu menahu tentang lamaran itu.

"Malah bengong, mandi sana siap-siap dandan yang rapi," perintah Asih selanjutnya pada putri semata wayang.

"Lamaran?" seloroh Rengganis cengo. Otak cerdasnya sama sekali sulit untuk diajak kompromi.

"Jangan sok kaget gitu. Pasti, Nak Adit udah bicarakan ini sama kamu, 'kan? Dia bilang hubungan kalian sudah semakin membaik. Bahkan kamu merasa senang saat hari-hari terakhirmu bekerja ditemani oleh Adit," jelasnya dengan begitu berbunga-bunga.

"Hah?"

"Ha he ha he, bilang aja seneng. Udah yaa Ambu mau ngurusin yang lain," putus Asih karena masih banyak urusan yang harus diselesaikan, terutama masalah lamaran.

Cinta Terikat Adat | OPEN PRE ORDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang