BAB 10 | Membujuk

96 22 18
                                    

"Tidak semua pertemuan akan berakhir ke jenjang pernikahan."

☆☆☆

Sebagaimana obrolan via pesan singkat kemarin malam, akhirnya Adi memutuskan untuk pulang ke kampung halaman menemui kedua orang tuanya. Begitu pula dengan Rengganis, yang membedakan adalah mereka memilih jadwal keberangkatan yang berbeda. Adi yang memang sudah kepalang antusias memutuskan untuk langsung meluncur malam itu juga, sedangkan Rengganis menunggu hingga menjelang pagi.

Sesampainya di kediaman orang tua, Adi langsung mengistirahatkan tubuh lelahnya dan berniat mengutarakan bukti-bukti yang dia dapat esok hari. Dia harus pandai-pandai memilih waktu agar keputusan yang diambil nanti sesuai harapannya. Dia tidak mau ceroboh dan terkesan terburu-buru karena itu hanya akan membuat kedua orang tuanya marah besar.

Tepat saat di sepertiga malam terakhir Adi terbangun dari tidurnya. Berdoa serta meminta kepada Sang Maha Pencipta agar mempermudah dan melancarkan itikad baiknya. Adi percaya bahwa tanpa campur tangan-Nya dia tidak akan pernah bisa berjodoh dengan Rengganis, gadis yang telah bertahta di hatinya. Selepas melaksanakan salat malam dia memutuskan untuk tidak kembali terlelap dan lebih memilih membaca Al-qur'an seraya menunggu waktu adzan subuh berkumandang.

☆☆☆

Pagi datang mentari bersinar dengan begitu terang, cuaca yang sangat mendukung dan membuat siapa saja senang. Begitu pun dengan Adi yang menyambut paginya dengan banyak angan serta impian indah. Kebahagiaan serasa sudah ada di depan pelupuk matanya.

Melihat ayah dan ibunya tengah duduk santai di teras rumah, dengan dua cangkir teh serta beberapa camilan tersaji di meja kaca kecil. Suroso yang begitu santai membaca koran sedangkan Sri yang duduk manis berdampingan dengan sang Suami. Sungguh, keharmonisan yang tercipta di antara kedua orang tuanya membuat Adi tersenyum bahagia. Dengan nakal pikirannya berkelana memikirkan jika hal itu dia alami bersama Renganggis. Menua bersama itulah yang selalu hinggap di benaknya.

"Uwes tangi, Nak." Perkataan itu menyapa rungu Adi yang saat ini tengah bersandar ria di tiang yang menopang bobot rumahnya.

"Sampun, Bu," jawabnya dengan senyuman yang terukir apik di kedua sudut bibir.

"Kengingnopo akhir-akhir iki kowe sering teka mene. Padahal riyin kowe awis sanget ngunjungi kito. Nopo enten sangkut pautipun sami tangga ngarep umah?" Pertanyaan sederhana yang membuat Adi mati kutu seketika.

Adi melirik sekilas ke arah ibunya dan sang ayah yang masih saja fokus dengan ritual membaca koran. "Kok Ibu nanyanya gitu sih?"

Sri menghela napas pelan. Dia bangkit dari duduknya dan menghampiri sang putra yang begitu nyaman dengan posisi menyamping dengan kedua tangan yang dimasukan ke dalam saku celana. Dia menepuk pelan bahu Adi. "Jangan terlalu menaruh banyak harapan, Nak. Karena sampai kapan pun Ibu dan Bapak tidak akan memberikan restu."

Adi menoleh dengan kedua mata yang sudah melotot sempurna. Raut wajah terkejut dan tak suka sangat jelas di wajah tampannya. "Jodoh gak ada yang tau, Bu. Mau sekeras apa pun Bapak dan Ibu melarang jika Allah sudah berkehendak kita bisa apa?"

"Nanging kowe ya aja lali, angger ridho Allah kuwe tergantung ridho wong tuwa, Nak. Kowe mesti paham maksude." Ucapan Suroso begitu memukul telak kepercayaan diri Adi yang sudah sedari tadi dia bangun tinggi.

"Terlalu banyak hal yang harus kamu langgar jika masih saja memaksakan keadaan," kata Sri. Dia paham dan mengerti bahwa anaknya itu tengah dilanda asmara. Tapi dia tidak mau jika cinta sang putra malah menyalahi aturan yang sudah keluarga mereka junjung tinggi selama ini.

Cinta Terikat Adat | OPEN PRE ORDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang