Bab 11 | Mempertemukan Kembali

107 24 17
                                    

"Teruntuk hasil, tidak ada yang tahu. Setidaknya usaha sudah kami laksanakan, dari do'a dan tindakan."

☆☆☆

Malam ini bulan bersinar lebih terang, bahkan tanda-tanda akan adanya rintik hujan tidak terlihat sedikit pun. Dua sejoli yang sedang memperjuangkan cinta tengah dilanda kebahagiaan. Dengan rayuan maut mereka, keluarga masing-masing saling bertatap muka di rumah Rengganis tentunya. Semakin malam, suasana semakin mencekam. Rona bahagia di antara Rengganis dan Adi mulai meredup, namun antusias mereka untuk meyakinkan kedua orang tua tetap terpancar.

Mendengar penuturan serta bukti-bukti yang Adi paparkan membuat Suroso serta Asep sedikit melunak. Namun, penolakan dari Sri dan juga Asih tak kalah kuat, kedua perempuan beda suku itu kekeuh dan tak mau memberikan restu. Asih yang sejak awal membebaskan Rengganis untuk memilih, kini malah berbalik menentang tak setuju. Beliau mengatakan bahwa menikahi pria keturunan Jawa akan mendatangkan kesengsaraan dan umur pernikahan tidak akan bertahan lama.

"Tidak! Kalian tidak bisa menikah!" tegas Asih tak terbantahkan. Bukan tanpa sebab dia mengutarakan keberatannya.

Bayangan akan mendiang ibunya tiba-tiba saja datang menghampiri, dan membuat dia mau tak mengikuti kegelisahan hati. Dia memang paham dan mengerti akan adat dan kebudayaan. Namun, dia tidak mempercayai mitos yang mendiang sang ibu katakan sewaktu dia muda dulu.

"Kalau nanti cari jodoh, jangan orang Jawa, ya, Nak," ujar ibu Asih kala itu.

Asih yang tak ambil pusing perkataan ibunya hanya manggut-manggut saja. "Memang kenapa, Bu? Apa salahnya menikahi orang Jawa?"

"Bisi teu junun, jeung sangsara," katanya.

Sekelebat obrolan singkat itu menari-nari dalam otak. Awalnya memang dia tidak memusingkan hal itu bahkan jelas-jelas dia memberikan lampu hijau kepada putrinya. Namun, ketakutan serta kecemasan melanda, dia tidak ingin melihat rumah tangga putri satu-satunya tak bahagia. Lebih baik mencegah dari pada mengobati, itulah yang kini tengah dia lakukan untuk melindungi sang putri. Walau membuat putrinya sakit hati.

"Kenapa Ambu jadi berubah pikiran? Perihal jodoh dan kebahagian itu di tangan Allah. Tidak ada yang tahu ke depannya," sanggah Rengganis.

"Tidak bisa, Nak. Ini sudah menjadi keputusan Ambu," ucap Asih final. Raut kesedihan yang terpampang nyata di wajah sang putri sama sekali tak membuat Asih luluh begitu saja.

"Tidak akan ada pernikahan di antara kalian!" tegas Sri memperkuat penolakan yang dilayangkan Asih.

"Kenapa lagi, Bu?" sahut Adi dengan suara sedih lesu penuh kefrustrasian. Apa belum cukup penolakan yang calon mertuanya paparkan? Mengapa sekarang ibunya juga jadi ikut-ikutan?

"Posisi rumah yang saling berhadapan dilarang untuk melangsukan pernikahan," jelas Sri. Beliau sangat menjunjung tinggi adat dan kebudayaan yang sudah berkembang di lingkungannya.

"Ibu jangan mengada-ngada," sela Adi tak percaya.

"Untuk apa Ibu mengada-ngada. Itu memang benar adanya," kata Sri begitu jemawa.

Adi melihat ke arah ayahnya yang justru  diam membisu tak sedikit pun membantu. Dia memasang air muka memelasnya, namun itu sama sekali tak membuahkan hasil.

"Jika kedua calon mempelai tetap menikah, dikhawatirkan akan datang berbagai masalah di kehidupan rumah tangganya." Penuturan yang sangat mendukung asumsi Sri itu keluar dari mulut Suroso.

Pupus sudah harapan Adi dan Rengganis saat fakta-fakta baru itu terungkap. Dan mereka tak bisa berbuat banyak selain diam dengan perasaan saling berkecamuk.

Cinta Terikat Adat | OPEN PRE ORDERTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang